Hal ini yang membuat kue ini begitu dirindukan. Baru pada tanggal 27 Ramadan kue ini dibuat. Pada hari itu, hampir semua rumah di kampungku membuat kue ini.Â
Ibu-ibu pun membawa kue yang mereka buat ke masjid ketika berangkat shalat tarawih. Setelah tarawih, kue abuk menjadi penganan menemani jamaah yang ingin menghidupkan malam Ramadan dengan berbagai macam ibadah.
Ada anekdot lucu terkait kue abuk ini. Saking inginnya mencicipi kue abuk setelah shalat tarawih, konon katanya anak-anak mengucapkan suara amin ketika berdoa disamarkan dengan suara abuk.
Meskipun ini hanya anekdot, namun ada makna di dalamnya. Bagiku, ini merupakan ucapan syukur anak-anak akan rezeki kue abuk yang akan segera mereka dapatkan selepasa shalat tarawih.
Simbol Rasa Syukur
Bukankah rasa syukur menjadi salah satu hikmah puasa Ramadan?Â
Ya, di bulan Ramadan kita akan sangat merasakan betapa nikmatnya segelas air putih dalam kehidupan kita. Di bulan ini juga, kita menyadari betapa baiknya Tuhan kepada kita.Â
Tuhan tidak membiarkan kita haus dan lapar. Tuhan selalu memberikan rezekinya kepada kita, tanpa pernah bosan. Rezeki yang tidak pernah kita duga-duga darimana datangnya.Â
Oleh karenanya, jika kita renungi, apakah elok jika kita tidak bersyukur kepada-Nya atas segala nikmat yang telah diberikan kepada kita hamba-Nya?
Ya, kue abuk adalah simbol rasa syukur kita sebagai hamba. Menurut para tokoh masyarakat pun, kue abuk memang sangat relevan dengan rasa syukur.Â
Rasa syukur karena telah memasuki fase akhir Ramadan. Oleh karenanya, di kampungku kue ini hanya bisa ditemukan di malam ke-27 Ramadan.Â
Sebenarnya dalam tradisi betawi, kue abuk ini tidak hanya dibuat di malam ke-27 Ramadan. Dilansir dari laman encyclopedia.jakarta-tourism.go.id, kue abuk ini menjadi sajian istimewa di sepertiga bulan Ramadan. Sepertiga malam akhir Ramadan dikenal dengan malam ketupat.Â