Kemarin (Rabu, 20/1/2021), saya dan tim dari sekolah melakukan penyaluran sumbangan kepada warga terdampak banjir di kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan (Kalsel). Sejak terjadinya bencana banjir, OSIS sekolah kami merespon cepat dengan menggalang donasi.Â
Tak banyak yang kami kumpulkan memang, tetapi jumlah bukan menjadi tujuan kami. Yang lebih penting penggalangan dana ini bisa menjadi pembelajaran moral bagi para siswa. Pembelajaran akan pentingnya saling tolong-menolong, menumbuhkan rasa simpati dan empati kepada sesama.
Secara umum, kemarin banjir di Kalsel sudah memasuki hari ke-7. Meskipun di kabupaten Banjar beberapa hari ini cuaca bisa dibilang bersahabat, tetapi belum ada tanda-tanda genangan air akan surut dengan segera.
Kami berencana mengirimkan bantuan ke salah satu desa terpencil yang masih terdampak banjir yang sangat dalam. Menurut informasi salah satu alumni kami yang tinggal di desa tersebut, bantuan belum banyak sampai menyentuh desanya. Mungkin karena akses yang sulit ditempuh.
Karena sulitnya medan, kendaraan tidak bisa sampai ke lokasi. Untuk mengirimkan bantuan ke lokasi, kita harus menggunakan transportasi air, orang banjar menyebutnya jukung (perahu kecil terbuat dari kayu).Â
Bencana Sebagai Sunatullah
Desa itu memang sudah benar-benar terkepung banjir. Bicara tentang terkepung banjir, ada sebuah syair karya penyair sufi asal Turki Yunus Emre yang berbunyi, "Jalan ini panjang. singgahannya banyak, tak ada jalan keluar, dan terkepung oleh air bah yang dalam."
Syair ini memiliki makna yang dalam tentang bencana dan musibah yang menimpa manusia. Maknanya, bencana adalah sebuah ujian yang diterima manusia.
Ulama dan intelektual Muhammad Fethullah Gulen pernah berkata, "Sunnatullah mengharuskan manusia menghadapi berbagai ujian dan musibah dalam hidupnya. Ujian yang bisa membedakan antara manusia yang baik dan yang buruk. Sebagaimana mengekstrak intan dari batubara, emas dari batuan dan tanah."
Lebih jauh Gulen menjelaskan bahwa dengan adanya bencana, Tuhan ingin menunjukkan dan menampakkan kepada kita sesuatu yang telah Dia ketahui dengan Ilmu-Nya di zaman Azali, bagaimana sosok sebenarnya dari kita. Apakah kita tergolong manusia yang bersabar dan bertahan atas bencana tersebut, ataukah kita termasuk mereka yang mengeluh dan menentang ketetapan Allah?
Memaknai Bencana
Lantas bagaimana pandangan Gulen untuk memaknai sebuah bencana yang terjadi?