"Pak Guru, anak saya ketika belajar online terkadang sambil bermain games." Itu laporan salah satu orang tua siswa di sekolah kami.
Sontak saya kaget. Yang saya tahu, semasa sebelum pandemi dulu, siswa-siswi sekolah kami sangat disiplin mengikuti kegiatan pembelajaran. Di dalam atau diluar kelas, jarang sekali ada yang melanggar aturan.
Kami beruntung masih ada orang tua yang mau melaporkan. Bayangkan, jika orang tua yang tak mau melaporkan atau bahkan tak peduli dengan kondisi ini, pastinya akan semakin runyam masalahnya.
Siswa Kecanduan Games
Jika mau jujur, inilah tantangan mengajar daring. Tak ada tatap muka, tak ada kedekatan hati, tak ada kedekatan emosional antara guru dan siswa.
Jadinya, siswa semakin sulit dikontrol, siswa cenderung lebih santai terhadap aturan, siswa cenderung seenaknya. Sebaik apapun aturan main dibuat sekolah, tetap saja mengontrolnya menjadi sesuatu yang sulit dilakukan.
Belajar menggunakan teknologi, memang membuat siswa semakin mudah terdistraksi. Salah satunya adalah siswa bisa terganggu dengan berbagai macam games yang menggiurkan, baik games online maupun offline.
Permasalahan games memang bukan permasalahan baru. Dulu ketika kecil, saya sempat juga terkena virus games ini. Mungkin bagi kita yang besar di era tahun 90-an seperti saya, pasti ingat dengan sebuah games permainan bangunan bernama tetris.
Pada zamannya dulu, tetris adalah primadona bagi anak-anak dari keluarga masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Tetris adalah games yang berharga relatif murah. Â Anak-anak yang lebih kaya biasanya bermain nintendo atau sega yang relatif lebih canggih. Sudah pastinya, kala itu harganya juga selangit.
Sekarang, siapapun bisa membeli gadget. Apalagi di era pembelajaran daring gadget adalah kebutuhan utama siswa. Dengan menjamurnya gadget, permasalahan semakin pelik.
Ada dua problem besar pada siswa berkenaan dengan gadget, yaitu media sosial dan games. Keduanya memiliki efek yang luar biasa pada kehidupan siswa jika tidak dikontrol dengan baik.