Jauh sebelum semuanya nampak jelas aku pernah memberikan segala sabar, kasih sampai kpercayaan kepada seseorang yang awalnya menyakinkan, sebelum semuanya ditampakkan. Aku pernah begitu hebat mencintai seseorang sampai aku lupa mengenal diriku sendiri, sempat aku berfikir ia akan menjadi yang terahir. Namun kenyataannya salah aku ditampar kenyataan, diseret kekecewaan hingga jatuh sedalam dalamnya dalam lubang penyesalan, cinta yang ia katakan untukku baginya hanya sekedar kata-kata, tak seharipun aku tinggal dalam hatinya
Setelah sekian lama kita bersama, ia lebih memilih untuk pamit undur diri dan pergi dengan tanpa lambaian tangan, tangan yang dulu ku genggam erat-erat kini menggenggam erat erat tangan lain, bukan tanganku lagi, langkahnya kini tak bisa kutemui, bayangnya pun tak terengkuh lagi, sehebat ini aku kehilangan, sehebat ini juga aku kesakitan
Aku bertanya-tanya, salahku apa? Sampai aku harus dihukum dengan kehilangan sesakit ini, sempat terlintas penyesalan mengapa harus sejatuh ini aku menjatuhkan hati, aku pernah berusaha keras menjadi yang terbaik untuk dirinya! Tapi baginya? Selamanya aku tidak pernah bernilai apa-apa. Dulu bagiku mencintaimu itu menyenangkan, namun sekarang. Untuk merindukanmu telah kujadikan sesuatu yang haram.
Apakah ada sakit yang lebih sakit dari menerima kenyataan ini?
Namun begitu, tetap saja kamu pernah menjadi sosok yang berhasil memporak-porandakan keteraturan hidupku, menjadi resah sebelum tidurku, menjadi doping dalam lelahku, bohong!. Jika aku kehilanganmu baik-baik saja, kehilanganmu sama saja kehilangan separuhku, namamu masih kusebut dalam doa, semoga semesta menyimpan keajaiban mempertemukan kita kembali dalam ketidaksengajaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H