Salah satu ciri khas yang identik dengan pulau Madura adalah sebuah tradisi dan kebudayaanya adalah Kerapan Sapi. Kerapan sapi adalah perlombaan adu kecepatan sepasang sapi yang menarik kereta kayu ( Kaleles) sebagai tempat berdiri jokinya (Tokang tongkok) untuk mengendalikan pasangan sapi tersebut dalam jarak trek sekitar 100-120 meter tergantung jenis kejuaraannya.
Menurut sejarahnya, Kerapan sapi adalah salah satu bentuk budaya yang dilakukan masyarakat Madura setelah musim panen atau pesta panen. Yang mana sapi adalah binatang penting dalam membantu petani Madura untuk menggarap lahan pertaniannya. Lama-kelamaan, karena banyaknya para petani yang menggunakan tenaga sapi untuk menggarap sawahnya secara bersamaan, maka timbullah niat mereka untuk saling berlomba dalam menyelesaikannya. Dan, akhirnya perlombaan untuk menggarap sawah itu menjadi semacam olahraga lomba adu cepat yang disebut kerapan sapi. Jenis-jenis Kerapan Sapi. Esok tanggal 23 Okober 2011, merupakan hari kemuncak kompetisi kerapan sapi setelah terjadi penyeleksian dari tiap kecamatan seluruh kabupaten di Madura. Biasanya hari kemuncak itu di laksanakan di Karesidenan Madura yaitu di Stadion R. Sunarto kabupaten Pamekasan. Setiap kabupaten seluruh pulau Madura berhak mengirimkan 4 pasangan terbaiknya untuk memperebutkan Piala Presiden. Adapun jenis- jenis kerapan sapi tersebut adalah:
- Kerap kene' (kerapan kecil), Kerapan sapi ini di selenggarakan dalam tingkat kecamatan saja, yang mana jaraknya biasanya kurang lebih 100-110 meter saja. Yang menang dalam seleksi ini berhak untuk mendapatkan tiket ke seleksi selanjutnya yaitu Kerap Rajheh.
- Kerap Rajheh (kerapan Besar) Kerapan ini adalah di selenggarakan dalam tingkat kabupaten saja, yang mana jaraknya adalah sekitar 120 meter. Dalam seleksi ini para pemilik pasangan sapi berusaha untuk mendapatkan tiket ke acara yang lebih bergengsi yaitu tingkat Karesidenan Madura.
- Kerap Gubeng (Piala Presiden) Ini adalah kerapan terbesar atau sebagi kemuncaknya dari segala seleksi. Dalam 4 kabupaten di Pulau Madura berhak mengirimkan 4 pasangan terbaiknya untuk memperebutkan piala presiden. Selalunya even ini di adakan di ibukota Karesidenan Madura yaitu Kabupaten Pamekasan.
- Kerap Onjangan (kerapan undangan) Kerapan sapi ini adalah pesertanya yang di undang saja atau layaknya hanya sebagai sistem arisan saja. Biasanya di adakan setengah bulan sekali atau untuk memperingati hari-hari tertentu saja.
Setipa pemilik Sapi kerapan yang sering memenangi kejuaraan akan mendapatkan nama/terkenal dan juga harga sapinya akan melambung tinggi, dari puluhan juta sampai ratusan juta. Di samping perawatan sapi kerapan membutuhkan biaya yang besar, salah satu contohnya adalah setiap bulan atau menjelang kejuaraan untuk satu sesi jamu saja di butuhkan sampai 400 butir telur sepasangnya. Lain lagi jenis peawatan lainnya seperti urutan dan jenis pemakanannya. Fatwa MUI melarang kerapan sapi Seperti mana di laporkan dalam harian Kompas baru-baru ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengirim surat ke kantor Bakorwil IV Pamekasan Madura , selaku panitia pelaksana Festival Kerapan sapi Piala Presiden yang akan di laksanakan pada tanggal 23 Oktober agar melarang penyiksaan terhadap binatang dalam festi val itu. Dalam empat tuntutannya itu MUI diantaranya adalah:
- MUI meminta praktek penyiksaan dalam kerapan sapi di hapuskan Bukan Rahasia lagi kalau Setiap sapi yang akan di adu penuh penyiksaan secara fisikal, di antaranya:
- Menggunakan kayu yang berisi puluhan paku tajam yang di torehkan di pantatnya sapi
- Memberikan balsem/rhemason di sekitar kedua mata sapi tersebut.
- Meletakkan sambal cili/cabe di sekitar dubur sapi
- mengoleskan spiritus di sekitar tempat luka yang di toreh tadi.
- Dan mencambuk beberapa kali sebelum di adu.
- MUI meminta Praktek Perjudian dalam kerapan sapi di hapus Setiap perlombaan pasti identik dengan perjudian, seperti mana halnya juga dalam kerapan sapi di penuhi unsur judi di antara pemilik sapi kerapan atau para penontonnya.
- MUI meminta agar masyarakat tidak mengabaikan sholat lima waktu Setiap perlombaan biasanya bermula pukul 10.00 dan biasanya berakhir menjelang Maghrib. Tidak menutup kemungkinan para penggemar kerapan sering meninggalkan sholat di dalamnya.
- Para Ulama menentang hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam.
Sekiranya MUI langsung memutuskan kerapan sapi adalah di larang, apakah itu tidak akan membunuh budaya di Indonesia dan Madura pada umumnya karena bertentangan dengan syariat. Apakah tidak diperhalusi saja dulu dan meminimalkan hal-hal yang berbau penyiksaan terhadap binatang. Karena saya yakin banyak tradisi dan kebudayaan di Indonesia yang bertentangan dengan syariat Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H