Bermula dari saling sindir-menyindir antar pendukung pemilihan presiden pada tahun 2014. Pendukung Joko Widodo digelar sebagai "Cebonger" (anak katak), sedangkan pendukung Prabowo Subianto dipanggil "Kampretos" (anak kelelawar).
Mereka terus bersaing meskipun pasca Pilpres diumumkan. Labelisasi dan pemanggilan kata tersebut terus menjadi fenomena. Peperangan di dunia maya semakin sengit, dan tak mengenal kata rekonsiliasi. Tak ada istilah gencatan saling sindir, apalagi setelah Capres/Cawapres 2019 diumumkan.
Pendukung pro Jokowi seringkali mengatakan dirinya diserang dengan isu ras dan agama. Menguntungkan visi misi Komunis dan antek Aseng serta asing.
Sedangkan pendukung pro Prabowo mendakwa diri mereka dikriminalisasi atas penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah. Kurang liputan media arus utama atas segala aktivitas yang dilakukan.
Pertelingkahan dua kubu ini, tidak hanya berlaku di dunia maya. Bahkan dalam dunia nyata, pergesekan mereka semakin meresahkan. Saling lapor ke polisi, saling ejek ketika dua kumpulan bertemu, bahkan kian terpolarisasi dalam struktur masyarakat arus bawah.
Naasnya, para elit politik sengaja membiarkan dan menikmati politik labelisasi ini. Pengelompokan perbedaan politik masyarakat arus bawah, terus dihangatkan untuk menjaga momentum masing-masing kelompoknya.
Namun sayang, ide-ide kritis dan perang gagasan belum kelihatan lagi daripada para Capres dan Cawapres beserta Tim suksesnya. Bahkan partai politik pendukung keduanya, saat ini hanya menjadi pengekor dan membela mati-matian apa yang dilakukan calon pemimpin yang diusungnya.
Kedewasaan dalam berdemokrasi masih abu-abu lagi, pertarungan ide, gagasan dan kebijakan yang ditawarkan masih belum kedengaran lagi. Mereka semua masih mengedepankan konten identitas dan labelisasi.
Konten bernuansa kebencian dan hoaks yang diproduksi oleh pendukung kedua belah pihak, semakin memperparah pengelompokan masyarakat. Konten- konten tersebut juga disebarkan di dunia maya tanpa batasan dan tanpa disaring isinya.
Lihatlah di media sosial, banyak masyarakat di luar dua kelompok tersebut semakin menyuarakan kegerahannya. Banyak individu yang tidak memihak kedua kelompok tersebut merasa bosan, dan ingin pesta demokrasi ini segera melabuhkan tirainya.
Namun apakah akan menjadi jaminan, apabila pasca Pilpres 2019 nanti, kegaduhan dan polarisasi akan berakhir ? Apakah kedua kelompok tersebut akan melakukan rekonsiliasi, seiring sejalan membangun negeri secara bersamaan? Tanyakan hati pribadi masing-masing, tepuk dada Tanya selera.