Ini tentang kisah seorang pasien saat saya sedang menjalani masa Dokter Muda (baca : koas) di bagian Ilmu Saraf dulu. Seorang wanita paruh baya. Sudah 60 tahunan kalau tidak salah ingat. Si ibu terkena serangan stroke ke 3 dengan Diabetes Melitus tipe II yang telah lama ia derita.Â
Kau tahu kawan, 2 kali serangan stroke saja sudah mampu membuatmu hanya tinggal nama, apalagi 3 kali dengan usia yang telah senja. Maka pantaslah ia terbaring di brankar tanpa mampu melakukan apapun atau sekedar berpikir sempurna.
Kala itu adalah jadwalnya saya jaga malam dan waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam lewat. Si ibu telah selesai diperiksa dan mendapat penanganan awal, maka saya dapat kembali ke nurse station untuk meluruskan punggung sejenak. Sembari memilah-milah kopi yang ingin saya pesan di aplikasi online delivery, datanglah seorang laki-laki dan bertanya apakah ada tempat untuk beristirahat bagi keluarga penunggu pasien.Â
Saya hanya mampu menjelaskan bahwa tempat yang ada bagi keluarga ialah di samping pasien. Lantai di samping pasien. Rumah sakit tidak menyediakan tempat khusus untuk keluarga menginap dan mengingat si ibu merupakan pasien kelas tiga, fasilitas kamar bangsal yang tersedia adalah 6 pasien per kamar. Suasana kamar tentu akan semakin sesak bila keluarga berkumpul di dalam. Jika pun mau, boleh tidur di koridor tapi hanya jika malam hari.
Laki-laki itu mengucap syukur dan berterimakasih, dia bilang yang penting ada tempat bagi suami sang ibu untuk tidur. "Begini dok, bapak tidak mau jauh dari ibu. Kebetulan bapak juga sedang sakit, jadi tidak bisa kami tinggalkan dirumah terus-menerus. Bapak cuma ingin dekat dengan ibu."
Untuk beberapa detik, saya terdiam. Mungkin sedikit terenyuh. Ah. Romantika macam apa ini? Mereka sudah sangat sangat berumur untuk berindu-rindu ria layaknya kita. Kita? Iya kita. Muda. Ah mari kita kembali saja. Singkatnya, sang suami dipersilahkan tidur di koridor jika malam hari.Â
Jujur, malam itu saya tidak tahu yang mana suami si ibu. Saya hanya tahu laki-laki yang bertanya itu ternyata anak kandungnya dan seorang lagi, menantu yang selalu menemani di samping si ibu setiap saya datang mengobservasi.
Esoknya barulah saya bertemu dengan sang suami. Kaget. Iya. Saya cukup terkejut. Laki-laki paruh baya yang duduk di kursi roda. Kebetulan bapak itu sedang menghabiskan sarapan rotinya. Saya hanya tersenyum menyapanya dan meminta izin memeriksa sang istri. Tidak ada yang aneh saat itu. Beliau hanya memperhatikan saja saya memeriksa si ibu.Â
Tapi semakin ke sini, semakin saya menyadari sesuatu. Ibu ini harus di observasi setiap 2 jam (sebelumnya per jam), otomatis saya pasti bolak-balik mendatangi ibu ini untuk diperiksa. Dan setelah beberapa kali memeriksa si ibu, saya menyadari si bapak selalu duduk mendampinginya.Â
Beliau hanya duduk saja di kursi roda. Terkadang memegang tangan si ibu, terkadang mengelus rambutnya, terkadang pula saya temui beliau sedang mengobrol dengan si ibu. Tentu saja obrolan itu satu arah karena si ibu tak bisa merespon apapun selain membuka mata dan bersuara sedikit-sedikit.
Sudah tiga malam si ibu terbaring, si bapak masih setia menemani di rumah sakit. Tidak pernah pulang. Si bapak ini ternyata juga menderita stroke dan setiap pagi berlatih jalan di koridor dibantu oleh anaknya.Â