Mohon tunggu...
Mahfud Achyar
Mahfud Achyar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - I am a storyteller based in Jakarta, Indonesia.

Undergraduate in Linguistics Studies, University of Padjadjaran, Bandung | Postgraduate in Corporate Communication Studies, Paramadina Graduate School of Communications, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Analisis Kepemilikan Media Berdasarkan Perspektif Ekonomi dan Politik

22 Januari 2015   20:29 Diperbarui: 28 Januari 2020   14:53 13589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Studi Kasus: Media Televisi di Indonesia)

ABSTRAK

 Informasi yang cepat dan mampu menjangkau khalayak telah menjadi kebutuhan bagi masyarakat. Sementara media televisi merupakan salah satu di antara media massa yang memiliki jangkauan luas tersebut. Dewasa ini televisi, sebagai bagian dari komunikasi massa di asumsikan memegang posisi penting dalam masyarakat. Peranannya yang penting inilah membuat media televisi, berkembang pesat dalam 20 dasa warsa terakhir ini. Televisi hadir

sebagai alat sosial, politik, budaya, bahkan sebagai sebuah industri informasi dari sebuah perusahaan. Sebagai industri, televisi menjanjikan keuntungan cukup besar bagi pemiliknya, bersaing secara kompetitif.

 Kini televisi tidak lagi menjadi media yang berorientasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam hal informasi dan hiburan yang sehat, melainkan lebih dominan pada keuntungan ekonomi kapitalis, kekuatan pasar secara kompetitif. Dampaknya masyarakat ‘kering’ informasi yang ditampilkan secara both of side dan aktual. Pemberitaan media televisi dikemas sedemikian rupa dengan metode agenda setting. Hal ini menjadi dilematis tersendiri bagi para penggiat jurnalistik: antara publik atau kepentingan pemilik? Berita-berita yang disajikan dan ditayangkan oleh media televisi lebih berorientasi kepada pentingan pemilik, bukan kepentingan publik. 

 Sementara itu, kapitalisasi dalam industri media televisi terus menggurita. Ada pemilik tunggal untuk beberapa stasiun televisi yang menyalahi regulasi dari penyiaran di Indonesia. Kendati sudah diatur sedemikian baiknya, namun konglomerasi dalam industri pertelevisian di Indonesia belum dibenahi. Politik dan ekonomi menjadi alasan utama sehingga regulasi penyiaran di Indonesia belum mampu diterapkan seperti di Eropa dan Amerika Serikat. 

Kata Kunci: Media, Televisi, Industri Media, Regulasi, Politik dan Ekonomi

Media Massa

Media memiliki peran penting dalam kehidupan sosial dan kehidupan bernegara. McQuail (2002: 66) dalam bukunya “Mass Communication Theories” dalam Subiakto dan Ida (2012) mengatakan bahwa setidaknya ada enam perspektif dalam melihat peran media. Pertama, media massa dipandang sebagai window on events and experience. Media dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak “melihat” apa yang sedang terjadi di luar sana ataupun pada diri mereka sendiri.

 Kedua, media juga sering dianggap sebagai a mirror of events in society and the world, implying a faithful reflection. Yaitu, cermin berbagai peristiwa yang ada di masyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa adanya. Ketiga, memandang media massa sebagai filter atau gatekeeper yang menyeleksi berbagai hal untuk diberi perhatian atau tidak. Keempat, media massa acap kali pula dipandang sebagai guide, penunjuk jalan atau interpreter, yang menerjemahkan dan menunjukkan arah atas berbagai ketidakpastian atau alternatif yang beragam. Adapun kelima, melihat media massa sebagai forum untuk merepresentasikan berbagai informasi dan ide-ide kepada khalayak, sehingga memungkinkan terjadinya tanggapan dan umpan balik. Terakhir, keenam, media massa sebagai interlocutor, yang tidak hanya sekadar tempat berlalu lalangnya informasi, tetapi juga partner komunikasi yang memungkinkan terjadinya komunikasi yang interaktif.

 Beberapa jenis media massa antara lain televisi, radio, majalah, koran, dan juga internet. Dalam keseharian masyarakat Indonesia, televisi tetap menjadi media yang paling besar pengaruhnya karena mudah diakses dan memiliki jangkauan yang luas. Bahkan menurut survey MarkPlus pada tahun 2014, televisi masih menempati peringkat pertama sebagai “Most Frequency Accesed Media” di Indonesia. 

 Perkembangan Dunia Pertelevisian di Indonesia

 Secara harafiah, televisi berasal dari kata tele (jauh) dan vision (pandangan), dapat diartikan “melihat sesuatu dari jarak jauh”. Televisi sebagai suatu alat penyampaian informasi komunikator dari kepada komunikan, merupakan salah satu bagian dari sebuah sistem yang besar dan kompleks. Alat ini akan berfungsi dengan baik apabila ditempatkan dalam sebuah sistem yang saling bekerja sesuai fungsinya. Sistem ini disebut sebagai sistem penyiaran televisi yang meliputi: sistem produksi (pesan), pemancaran gelombang dan pesawat televisi itu sendiri sebagai media penerima siaran.

 

Di Indonesia, siaran televisi pertama kali ditayangkan pada tanggal 17 Agustus 1962 yaitu bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke XVII. Pada saat itu, siaran hanya berlangsung mulai pukul 07.30 hingga pukul 11.02 WIB untuk meliput upacara peringatan hari Proklamasi di Istana Negara. Namun yang menjadi tonggak Televisi Republik Indonesia (TVRI) adalah ketika Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games ke IV di Stadion Utama Senayan. Dengan adanya perhelatan tersebut maka siaran televisi secara kontinyu dimulai sejak tanggal 24 Agustus 1962 dan mampu menjangkau seluruh dua puluh tujuh propinsi yang ada pada waktu itu.

Sebagai satu-satunya stasiun televisi di Indonesia, TVRI mampu menjangkau wilayah nusantara hingga pelosok dengan menggunakan satelit komunikasi ruang angkasa kemudian berperan sebagai corong pemerintah kepada rakyat. Sebelum tahun 1990an, TVRI menjadi single source information bagi masyarakat dan tidak dipungkiri bahwa kemudian timbul upaya media ini dijadikan sebagai media propaganda kekuasaan.

Seiring dengan kemajuan demokrasi dan kebebasan untuk berekspresi, pada tahun 1989 pemerintah mulai membuka kran ijin untuk didirikannya televisi swasta. Tepatnya tanggal 24 Agustus 1989 Rajawali Citra Televisi atau RCTI mulai siaran untuk pertama kalinya. Siaran pada waktu itu hanya mampu diterima dalam ruang lingkup yang terbatas yaitu wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) saja kemudian daerah lain memanfaatkan decoder untuk merelay siarannya.

Setelah RCTI kemudian disusul berurutan oleh Surya Citra Televisi (SCTV) pada tahun 1990 dan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) pada tahun 1991. Siaran nasional RCTI dan SCTV baru dimulai tahun 1993 kemudian pada tahun 1994 berdiri ANTeve dan Indosiar. Hingga saat ini tercatat ada 11 stasiun televisiyang mengudara secara nasional, selain stasiun tersebut di atas ada Trans TV, Global TV, Lativi, Metro Tv dan TV7.

 Kepemilikian Media

 Daya tarik televisi yang sangat luar biasa menimbulkan pengaruh yang sangat kuat. Kekuatan televisi dalam membentuk opini masyarakat secara cepat dan menciptakan efek yang mampu memengaruhi perilaku publik, seharusnya diimbangi dengan lahirnya kebijakan maupun etika dalam mengatur televisi agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

 Sejak abad ke 20, kepentingan kapital telah menentukan arah tumbuhnya media, bahkan besar-kuatnya media. Pemilik media adalah para “businessman”; mereka merupakan pemilik modal yang mendirikan atau turut mendirikan usaha media dan berupaya untuk mencari keuntungan ekonomi melalui usahanya itu. Struktur organisasi media menjadi berkaitan dengan sistem ekonomi kapitalis yang membawa tujuan bisnis kompetitif dari pemilik industri media. Setiap media menghitung laba yang dikeluarkan dari tiap kerja pemberitaannya. Maka, item-item pemberitaan pun diseleksi dengan menggunakan asumsi riset pasar. Kerja pemberitaan bukan lagi dihitung hanya berdasar ongkos operasional liputan.

Dalam menjalankan usahanya, media atau pemilik media bersinggungan dengan kekuasaan. Para pemilik media kerap ditemukan sebagai elit-elit bisnis industri yang berhubungan erat dengan para elit pemegang kekuasaan. Bisnis mereka kerap terkait dengan kebijakan elite kekuasaan. Hal itu mengakibatkan “politik dagang” para pemilik media dituding ikut melestarikan status quo kekuasaan para tokoh politik yang menjadi rekanan mereka.

Seiring dengan terjadinya revolusi teknologi penyiaran dan informasi, industri media terbentuk dan menjadi besar dengan cara kepemilikan saham, penggabungan dalam joint-venture, pembentukan kerja sama, atau pendirian kartel komunikasi raksasa yang memiliki puluhan bahkan ratusan media. (Saverin dan Tankard, 2007). Lebih lanjut, Saverin dan Tankard mengatakan fenomena tersebut bukanlah semata-mata fenomena bisnis melainkan fenomena ekonomi-politik yang melibatkan kekuasaan. Kepemilikan media, bukan hanya berurusan dengan persoalan produk, tetapi berkaitan juga dengan bagaimana lanskap sosial, citraan, berita, pesan, dan kata-kata dikontrol dan disosialisasikan kepada publik (masyarakat). Contoh dalam korporasi media saat ini, khususnya televisi, di Indonesia seperti PT. MNC Group, PT. Trans Corp, dan lain sebagainya.  Jaringan televisi MNC (Media Nusantara Citra) merupakan yang terbesar di Indonesia menaungi stasiun televisi seperti RCTI, MNC TV, dan Global TV. Sementara itu, RCTI (Rajawali Citra Televisi) adalah stasiun televisi swasta pertama yang mulai mengudara pada bulan Agustus 1989. RCTI dengan cepat menjadi televisi swasta terbesar karena didukung oleh pemerintahan saat itu Presiden Soeharto.  Selama orde baru, bisnis media terkonsentrasi pada segelintir pelaku bisnis dan aktor politik yang mempunyai akses kuat ke lingkaran kekuasaan. Hal ini bertujuan untuk menghendaki upaya-upaya yang mengarah pada konsolidasi dan konvergensi dalam bisnis media modern. Konsentrasi semacam ini menimbulkan paradoks yang berkaitan dengan fungsi media sebagai ruang publik dengan sejumlah fungsi-fungsi sosial yang melekat di dalamnya. 

 Dalam pendekatan ekonomi politik, kepemilikan media (media ownership) mempunyai arti penting untuk melihat peran, ideologi, konten media, dan efek yang ditimbulkan media kepada masyarakat. Karena itu pertanyaan-pertanyaan mengenai “apakah perbedaan pemilik media akan juga berarti adanya perbedaan pada konten media?” atau “apakah perbedaan pemilik media dapat memberikan implikasi yang berbeda pula kepada masyarakat selaku audience media?” menjadi sangat relevan.

 Menurut Giddens, sebagaimana dikutip Werner A. Meier, para pemilik media merupakan pihak yang kuat yang belum dapat “ditundukkan” dalam demokrasi. Golding dan Murdock melihat adanya hubungan erat antara pemilik media dengan kontrol media sebagai sebuah hubungan tidak langsung. Bahkan pemilik media, menurut Meier, dapat memainkan peranan yang signifikan dalam melakukan legitimasi terhadap ketidaksetaraan pendapatan (wealth), kekuasaan (power) dan privilege.

 Kepemilikan media itu bersifat kapitalistik. Analisis kepemilikan media yang bersifat kapitalistik akan dapat dijumpai jika berada pada satu negara yang menganut sistem demokrasi, dimana campur tangan pemerintah sangat sedikit dalam mengatur media dan pasar memegang kendali dalam semangat kapitalisme. Para peneliti, baik liberal maupun Marxis, sama-sama sepakat bahwa analisis kepemilikan media berhubungan erat pada kapitalisme. Kepemilikan media juga menjadi sebuah term yang selalu dihubungkan dengan konglomerasi dan monopoli media.

 Pembatasan dan Regulasi KepemilikanDewasa ini kecenderungan industri media sebagai alat  kapitalisme menjadi semakin nyata. Bentuknya menjadi semakin menggurita, menjangkau ke mana-mana, cenderung ingin memonopoli dan bahkan melintasi batas negara. Tetapi kontrol pemilikannya justru makin terkonsentrasi hanya pada beberapa orang saja.  Dalam menjelaskan fenomena tersebut Peter Gollding dan Graham Murdoch mengatakan “Media as a political and economic vehicle, tend to be controlled by conglomerates and media barons who are becoming fewer in number but through acquisition, controlled  the larger part of the world’s mass media and mass communication” (2000: 71). Menurut Feintuck, regulasi penyiaraan mengatur tiga hal yakni struktur, tingkah laku, dan isi. Regulasi struktur (structural regulation) berisi pola-pola kepemilikan media oleh pasar, regulasi tingkah laku (behavioural regulation) dimaksudkan untuk mengatur tata-laksana penggunaan properti dalam kaitannya dengan kompetitor, dan regulasi isi (content regulation) yang menjadi batasan material siaran yang boleh dan tidak untuk disiarkan. 

Mengatur atau membatasi pemusatan kepimilikan media massa, khususnya penyiaran yang menggunakan ranah publik (public domain) perlu dilakukan untuk menjamin adanya keragaman kepemilikan (diversity of ownership), keragaman isi (diversity of ownership), dan kebergaman pendapat di media (diversity of voice). Menurut Giddens, sebagaimana dikutip Werner A. Meier, para pemilik media merupakan pihak yang kuat yang belum dapat “ditundukkan” dalam demokrasi. Golding dan Murdock melihat adanya hubungan erat antara pemilik media dengan kontrol media sebagai sebuah hubungan tidak langsung. 

Pada dasarnya kebijakan soal pembatasan Monopoli, Konglomerasi, dan Kepemilikan Silang (Media Penyiaran) sesungguhnya telah diatur dalam peraturan hukum, yakni UU Penyiaran nomor 32 tahun 2002 ayat 1, pasal 18. Di sana disebutkan: “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siar maupun beberapa wilayah siar, dibatasi.”

Selanjutnya Peraturan Pemerintah nomor  50 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta menyebutkan tentang pembatasan kepemilikan dan pen­guasaan atas jasa penyiaran radio dan televisi dikatakan:Pasal 311)      Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio oleh 1 (satu) orang atau 1 (satu) badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, di seluruh wilayah Indonesia dibatasi sebagai berikut:

1.      1 (satu) badan hukum hanya boleh memiliki 1 (satu) izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran ra­dio;

2.      paling banyak memiliki saham sebesar 100% (se­ratus perseratus) pada badan hukum ke-1 (kesatu) sampai dengan ke-7 (ketujuh);

3.      paling banyak memiliki saham sebesar 49% (empat puluh sembilan perseratus) pada badan hukum ke-8 (kedelapan) sampai dengan ke-14 (keempat belas);

4.      paling banyak memiliki saham sebesar 20% (dua puluh perseratus) pada badan hukum ke-15 (kelima belas) sampai dengan ke-21 (kedua puluh satu)

5.      paling banyak memiliki saham sebesar 5% (lima perseratus) pada badan hukum ke-22 (ke dua puluh dua) dan seterusnya).

6.      badan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, berlokasi di beberapa wilayah kabupaten/kota yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

2)      Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e, memungkinkan kepemilikan saham sebesar 100% (seratus perseratus) untuk Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio yang berada di daerah perbatasan wilayah nasional dan/atau daerah terpencil.2)  Kepemilikan1)      Kepemilikan badan hukum sebagaimana dimak­sud pada ayat (1) berupa saham yang dimiliki oleh paling sedikit 2 (dua) orang sesuai dengan keten­tuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.2)      Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan informasi masyarakat. Paragraf 2Jasa Penyiaran TelevisiPasal 321)      Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi oleh 1 (satu) orang atau 1 (satu) badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, di seluruh wilayah Indonesia dibatasi sebagai berikut:

1.      1 (satu) badan hukum paling banyak memiliki 2 (dua) izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran televisi, yang berlokasi di 2 (dua) provinsi yang ber­beda;

2.      paling banyak memiliki saham sebesar 100% (seratus perseratus) pada badan hukum ke-1 (kesatu);

3.      paling banyak memiliki saham sebesar 49% (empat puluh sembilan perseratus) pada badan hukum ke-2 (kedua);

4.      paling banyak memiliki saham sebesar 20% (dua puluh perseratus) pada badan hukum ke-3 (ketiga);

5.      paling banyak memiliki saham sebesar 5% (lima perseratus) pada badan hukum ke-4. (keempat) dan seterusnya;

6.      badan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, berlokasi di beberapa wilayah provinsi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

2)      Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e, memungkinkan kepemilikan saham lebih dari 49% (empat puluh sembilan perseratus) dan paling banyak 90% (sembilan puluh perseratus) pada badan hukum ke-2 (kedua) dan seterusnya hanya untuk Lembaga Penyiaran Swasta yang telah mengoperasikan sampai dengan jumlah stasiun relai yang dimilikinya sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini. 3)    Kepemilikan4)      Kepemilikan Lembaga Penyiaran Swasta seba­gaimana dimaksud pada ayat (1) berupa saham yang dimiliki oleh paling sedikit 2 (dua) orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.5)      Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali untuk disesuaikan  dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan informasi masyarakat. Bagian KeduaPembatasan Kepemilikan SilangPasal 33Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta, perusahaan media cetak, dan Lembaga Penyiaran Berlangganan baik langsung maupun tidak langsung dibatasi sebagai berikut:

1.      1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan 1 (satu) Lembaga Penyiaran Berlangganan dengan 1 (satu) perusahaan media cetak di wilayah yang sama; atau

2.      1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi dan 1 (satu) Lembaga Penyiaran Berlang­ganan dengan 1 (satu) perusahaan media cetak di wilayah yang sama; atau

3.      1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi dengan 1 (satu) Lembaga Penyi­aran Berlangganan di wilayah yang sama.

 Namun UU yang mengatur cross ownership ini ditentang bahkan mendapat penolakan keras dari pemilik media dan praktisi. Mereka bergabung dalam berbagai organisasi, di antaranya Asosiasi Televisi Seluruh Indonesia (ATVSI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), serta Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI). Dasar dari penolakan terhadap larangan cross ownership ini dilakukan atas nama kebebasan pers, revolusi teknologi informasi dan wacana demokrasi yang sedang dibangun Indonesia.

Sekilas alasan penolakan pemilik media dan praktisi di atas tampak rasional dan sulit terbantahkan, terutama untuk alasan kebebasan pers. Namun tampaknya penolakan itu bukanlah semata-mata keinginan untuk mendapatkan kebebasan berusaha seiring dengan makna kebebasan pers. Namun, juga ada alasan lain, yaitu bagaimana pemilik media dengan kekuatan modalnya melalui free trade memperoleh keuntungan yang sebesar-besar dari bisnis ini. 

Di Indonesia, peraturan hukum tentang anti monopoli, pemusatan, dan kepemilikan silang media penyiaran sudah ada dan jelas berlaku sejak diundangkan, namun dalam praktiknya hingga saat ini, indsutri media penyiaran masih dikuasai kelompok tertentu. Dengan kata lain, penegakan hukum (law inforcement) tidak berjalan dengan baik, dan “kebijakan” penegakan hukum inilah yang perlu diprioritaskan oleh pemerintah dalam rangka menciptakan industri penyiaran yang demokratis.

Dalam sistem demokrasi, menurut Siregar (2008: 40), regulasi terhadap media pada dasarnya dipilah menjadi dua bagian besar, yakni media yang tidak menggunakan ranah publik (public domain) dan media yang menggunakan ranah publik. Media yang tidak menggunakan ranah publik, misalnya, buku, majalah, suratkabar ataupun film (kecuali jika disiarkan melalui tv) maka regulasinya menggunakan prinsip self-regulatory. Dalam konteks Indonesia, di bidang pers misalnya, Dewan Pers dibentuk untuk mengatur pers dari segi etika jurnalistik baik etika jurnalistik media cetak maupun elektronik, sedangkan hal-hal yang menyangkut pemusatan kepemilikan dan persaingan usaha, berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Regulasi Media di Negara LainBen Bagdikian, dalam artikel yang ditulis oleh Iwan Awaluddin Yusuf (2010), meneliti perkembangan industri media di Amerika Serikat sejak pertengahan tahun 1980-an. Ketika itu ia menggambarkan bahwa pada tahun 1980-an di AS terdapat 50 perusahaan besar yang menguasai jaringan bisnis media di seluruh Amerika. Beberapa tahun kemudian ia membuat penelitian yang sama, jumlah perusahaan media besar tinggal setengahnya. Terakhir pada tahun 1997, ia meneliti lagi dan jumlahnya tinggal 5 grup media yang menguasai 60% dari seluruh media di Amerika, yakni the big five: Time Warner, Disney, Murdoch’s News, Viacom, dan Bertelsmann (Bagdikian, 2004: 27). Dalam rentang masa 20 tahun, dari 50 media telah berada di bawah lima konsentrasi media. Melalui ulasan Bagdikian yang kemudian menjadi kritik klasik bagi analisis korporasi media, terungkap bahwa gejala tersebut akhirnya menjadi fenomena global yang disinyalir merupakan sisi gelap dari kebebasan pers. Liberalisasi media takterkendali yang bersinergi dengan pasar bebas akhirnya menciptakan pemusatan kepemilikan media hanya pada segelintir kelompok tertentu yang menguasai modal.Temuan bagdikian ini senada dengan analisis Herbert Schiller (1996: 249-264), salah seorang tokoh dalam ilmu komunikasi yang menggambarkan bahwa perkembangan signifikan dalam industri media dan komunikasi global terjadi setelah Perang Dunia II. Makin lama terlihat bahwa perusahaan-­perusahaan yang dominan di Amerika maupun dunia terkonsolidasi dalam perusahaan-perusahaan besar dengan aset yang mencapai nilai milyaran dollar. Di antara mereka sendiri terjadi merger antara satu perusa­haan dengan perusahaan lain sehingga kekuatan kapital mereka makin lama makin terkonsentrasi di tangan sejumlah perusahaan baja, sementara itu trend lain yang juga terjadi dalam industri media global adalah tren konvergensi kepemilikan silang yang terjadi antara satu industri dengan idustri lainnya.  Lebih jauh Edward S. Herman dan Robert W. McChesney dalam bukunya The Global Media: A New Missionaries to Corporate Capitalism (1997) menunjukkan bahwa sejak pertengahan tahun 1980-an, industri media global menunjukkan perkembangan terjadinya kapitalisasi dan industri media yang makin lama hanya dikuasai oleh beberapa pelaku industri. Pada buku yang lain, McChesney (1997; 1998; 2000) menyindir konglomerasi ini sebagai kondisi Rich Media Poor Democracy, meski menguntungkan secara ekonomi, konglomerasi merupakan ancaman bagi iklim demokrasi. Demokrasi menghendaki adanya akses kepemilikian media yang merata dan tidak terpusat segelintir orang atau sekelompok orang dengan agenda kepentingan masing-masing. Di negara demokrasi manapun, jika suatu media menggunakan public domain,maka regulasinya sangat ketat. Ini karena ketika seseorang atau suatu badan telah diberi frekuensi maka sebenarnya is telah diberi hak monopoli oleh negara untuk menggunakan frekuensi tersebut dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian, berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, yaitu peraturan perundang-undangan di bidang penyiaran. Dalam kaitan ini, regulasi terhadap radio dan televisi berlangsung sangat ketat (“highly regulated”). Di Amerika Serikat, regulatornya adalah“Federal Communications Commission”, di Afrika Selatan adalah “Independent Communication Authority of South Africa” (ICASA), dan banyak lagi lembaga semacarn itu di negara demokrasi di dunia. Regulator di negara-negara demokrasi ini adalah badan independen negara yang bersifat “quasi yudicial”. Untuk Indonesia, regulatornya adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berhubungan dengan isi, dan Pemerintah, dalam hal ini Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo), yang berhubungan dengan penggunaan frekuensi dan pemberian izin penyiaran (Siregar, 2008: 40).Menurut Dominick (2001: 214), ada beberapa alasan penting mengapa media yang menggunakan public domain regulasinya berbeda dengan media yang tidak menggunakan public domain. Pertama, alasan utama jelas karena media tersebut menggunakan public domain, barang publik. Oleh karenanya, harus diatur secara ketat. Pengaturan tersebut ditujukan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.Kedua, public domain mengandung prinsip scarcity (scarcity theory). Di Jakarta, misalnya, jumlah televis terestrial yang ada sepuluh, tidak mungkin bisa lebih kecuali terdapat teknologi digital. Meskipun demikian, jumlahnya tetap akan terbatas. Ini akan sangat berbeda dengan koran dimana keberadaannya tidak mungkin bisa dibatasi, dia bisa saja seratus, dua ratus, atau bahkan tiga ratus buah jumlahnya. D sini, jumlah koran atau majalah eksistensinya hanya menyangkut ukuran-ukuran ekonomi. Namun, media yang menggunakan public domain sangat berbeda karena keberadaannya yang sangat terbatas.Ketiga, sifatnya yang pervasif (pervasive presence theory), meluas dan tersebar secara cepat ke ruang- ruang keluarga tanpa kita undang. Ketika seseorang membaca koran, misalnya, maka kontrol atas apa yang dibaca dan dimana membacanya akan sangat tergantung pada si pembaca. Namun, media-media yang menggunakan public domain karena sifatnya yang pervasif, muatan isi media hampir tidak bisa terkontrol oleh siapapun. Media ini jugs hadir dima­mana dalam ruang dan waktu yang tidak terbatas. ­Oleh karena itulah, perlu ada regulasi untuk media-media yang menggunakan public domain.

Media televisi merupakan media siar yang menggunakan frekuensi yang sebenarnya milik publik. Amerika dan Erope memiliki cara yang berbeda dalam penataan media televisi. Dalam menyikapi public broadcasting (termasuk televisi), Amerika menyerahkan sepenuhnya kepada pihak swasta dengan pertimbangan meningkatkan nilai ekonomi, meningkatkan kualitas produksi, meningkatkan perkembangan industri media, dan mendukung industri cosumer goods. Barulah pada tahun 1960an, AS mengembangkan Public Broadcasting Service (PBS).

Sementara itu, Eropa menilai bahwa penyiaran merupakan media yang membawa produk budaya. Sejak awal, Eropa menilai bahwa lembaga penyiaran publik dianggap sebagai format penyiaran terbaik agar tidak terjebak dalam jebakan orientasi keuntungan yang memaksa lembaga penyiaran menyajikan muatan kebudayaan rendah. Ide ini bermula di

Inggris ketika lahirnya BBC. Di Eropa, lembaga penyiaran publik tidak menjadi alat propaganda pemerintah walaupun didanai oleh negara. Namun, lembaga penyiaran publik haruslah menyajikan keragaman informasi dan muatan yang sehat bagi publik. 

Untuk penataan atas media penyiaran, Eropa dan Amerika membentuk badan regulasi khusus, disebut juga State Auxliary Body yang bukan merupakan bagian dari pemerintahan yang berkuasa. Di Amerika dikenal dengan FCC (Federal Communications Comission) dan Eropa dikenal dengan OfCom (Office of Communication). Lembaga regulator tersebut menjami bahwa pemberian izin penggunaan frekuensi publik (dalam hal ini misalnya televisi) dilakukan dengan memperhatikan kepentingan publik.

 Kewajiban OfCom antara lain:

a)      Menjami pemanfaatan optimal spektrum elektromagnetik.

b)      Menjami bahwa seluruh jasa komunikasi elektronik tersedia.

c)      Menjami hadirnya beragam jasa TV dan radio yang berkualitas tinggi dan memiliki

daya tarik luas.

d)     Mempertahankan keberagaman dalam penyiaran.

e)      Menerapkan perlindungan memadai bagi khalayak dari materi yang ofensif dan

berbahaya.

f)       Menerapkan perlindungan memadai bagi khalayak dari muatan yang tidak fair dan

pelanggaran privacy.

Sementara itu, FCC bertanggungjawab mengatur semua penggunaan spektrum radio termasuk radio, TV, telekomunikasi antar-negara bagian (kabel atau satelit) yang berasal atau yang ditujukan ke Amerika Serikat. Dari segi isi siaran, FCC dapat menetapkan bahwa industi penyiaran harus berkompetisi secara sehat dan efesien. FCC dapat memberikan sanksi dan denda bagi industri penyiaran yang melanggar aturan, bahkan dapat mencabut izin penyiaran dan tidak memperpanjang izin siaran.

 Menurut pandangan saya, model penataan industri penyiaran di Eropa cocok diterapkan di Indonesia. Hal ini berkaca dari kondisi saat ini, dimana industri penyiaraan (televisi) di Indonesia hanya dikuasai oleh segelintir orang saja. Misalnya MNC Group yang meliputi RCTI, Global TV, dan MNC TV dikuasai oleh Hary Tanoesoedibjo. Dampaknya pemberitaan yang disampaikan oleh tiga stasiun televisi tersebut seringkali tidak berpihak pada kepentingan publik. Dalam banyak kasus, justru kepentingan owner-lah yang lebih diutamakan. Sebagai contoh, melalui program Kuis Kebangsaan di RCTI, pemilik media yang juga seorang politisi memanfaatkan saluran publik untuk mengkampanyekan dirinya agar dipilih orang masyaraat pada saat Pemilu.

 Dalam teori komunikasi massa, hal tersebut dinamakan teori agenda setting. Teori agenda setting berangkat dari asumsi “menciptakan apa yang menurut publik dianggap penting.” Media menata (men-setting) sebuah agenda terhadap isu tertentu sehingga isu itu dianggap penting oleh publik yang salah satunya karena isu tersebut berhubungan dengan kepentingan publik, baik secara langsung atau tidak. Caranya, media dapat menampilkan isu-isu itu secara terus menerus dengan memberikan ruang dan waktu bagi publik untuk mengkonsumsinya, sehingga publik sadar atau tahu akan isu-isu tersebut, kemudian publik menganggapnya penting dan meyakininya. Sebetulnya, dengan kata lain, isu yang dianggap publik penting pada dasarnya adalah karena media menganggapnya penting.

Dua asumsi dasar agenda setting adalah; (1) Media dan pers tidak merefleksikan realitas; media memfilter dan mempertajam realitas itu. (2) Media berkonsentrasi pada beberapa isu atau subjek yang membawa publik untuk memperhatikan hanya pada isu-isu tersebut sebagai isu yang lebih penting dari isu-isu lain. Salah satu yang paling penting dari konsep agenda setting di dalam komunikasi massa adalah “time frame” untuk fenomena ini.

Masing-masing dari tiga agenda dalam definisi luas agenda setting merupakan variabel yang terpisah dan dependen, namun saling memiliki hubungan. Meski ada yang mengatakan bahwa agenda media yang mempengaruhi munculnya agenda publik atau sebaliknya, tapi kesimpulan yang muncul setelah penelitian McCombs dan Shaw’s menggarisbawahi bahwa agenda media dan agenda publik memiliki hubungan yang lebih bersifat resiprokal atau timbal balik. Kemudian kedua variabel agenda tersebut akan diikuti oleh variabel agenda kebijakan.

Maka kekuasaan pemilik media, meski secara etik dibatasi dan secara normatif disangkal, bukan saja memberi pengaruh pada konten media, namun juga memberikan implikasi logis kepada masyarakat selaku audience. Pemberitaan media menjadi tidak bebas lagi; muatannya kerap memperhitungkan aspek pasar dan politik. Produk pemberitaan menjadi margin komoditas laba ekonomi sekaligus margin kepentingan politik. Hal itu, pada banyak kasus, telah mereduksi kemandirian institusi media. Akibatnya, terjadi kasus-kasus dimana liputan media harus berhadapan dengan kepentingan politik dan bisnis. Tema-tema liputan disesuaikan dengan orientasi tersebut.

Dampak lainnya ialah perubahan arah pemberitaan. Area pemberitaan “hard journalism” berubah jadi “soft journalism”. Kisah-kisah soft news dan human interest menjadi buruan wartawan. Liputan politik, seperti korupsi dan manipulasi serta nepotisme, menjadi fleksibel dan adaptabel. Berita-berita tersebut tidak segera atau bahkan terkadang tidak dapat disiarkan. Tapi, kerap dihambat, difilter, diatur, atau dikontrol.

Di Indonesia, pengaruh media berkembang sejak reformasi pada tahun 1998. Perkembangan yang signifikan adalah dipertegasnya kebebasan pers dalam konstitusi (UUD 1945) dan Undang-undang Pers, serta semakin kokohnya liberalisasi ekonomi. Kebebasan atau liberalisasi media juga memberikan keleluasaan dalam pemilikan media yang oleh pemodal kesempatan tersebut bergegas dimanfaatkan karena menjadi bagian dari strategi bisnis yang sangat menguntungkan.

 Sumber:

Subiakto Henry & Rachmah Ida. 2012. Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi. Jakarta: Kencana. 

Suryo, RM Roy. 1996. Televisi Sebagai Fungsi Media Komunikasi Massa. Yogyakarta. Bahan Diktat Pendidikan Audio Visual Reguler LPM MANDIRI Yogyakarta

Istanto, Freddy H. Peran Televisi Dalam Masyarakat Citraan Dewasa Ini Sejarah, Perkembangan Dan Pengaruhnya. NIRMANA Vol. 1, No. 2, Juli 1999 Jurnal Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petra

McQuail, 1987, Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Erlangga: Jakarta

Milana, Robby. (2010). Kepemilikan Media: Perspektif Ekonomi dan Politik. [Online] diakses pada tanggal 16 Januari 2015 at: http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2010/06/21/kepemilikan-media-perspektif-ekonomi-politik-173487.html 

Yusuf, Iwan Awaluddin. (2010). Pentingnya Regulasi Terhadap Monopoli dan Konglorasi Media. [Online] diakses pada tanggal 16 Januari 2015 at: https://bincangmedia.wordpress.com/2010/05/31/pentingnya-regulasi-atas-konglomerasi-dan-monopoli-kepemilikian-media/ 

Yusuf, Iwan Awaluddin. (2011). Menakar Biaya dan Manfaat Ekonomi atas Pembatasan Monopoli, Konglomerasi, dan Kepemilikan Silang Industri Media Penyiaran. [Online] diakses pada tanggal 16 Januari 2015 at:  https://bincangmedia.wordpress.com/2011/05/03/menakar-biaya-dan-manfaat-ekonomi-atas-pembatasan-monopoli-konglomerasi-dan-kepemilikan-silang-industri-media-penyiaran/ 

Subiakto, Hendry. Prinsip Pengaturan Kepemilikan Media Penyiaran. [Online] diakses pada tanggal 16 Januari 2015 at: https://mejikubirubiru.wordpress.com/2014/03/23/prinsip-pengaturan-kepemilikan-media-penyiaran/ 


 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun