Mohon tunggu...
Mahfita Dwiyanti Rahayuningtyas
Mahfita Dwiyanti Rahayuningtyas Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

manusia biasa yang berusaha menjadi luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengamati Sampah Kos-kosan

14 Juli 2013   11:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:34 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai seorang anak kos, sejujurnya setiap hari saya merasakan kemirisan yang dalam. Setiap hari saya selalu membuang sampah dari kamar kos saya ke tong sampah bersama milik kos-kosan. Namanya orang kepo, kegiatan membuang sampah yang bagi orang lain yang biasanya hanya memakan waktu 3-5 menit, bagi saya membuang sampah membutuhkan waktu minimal 15 menit. Waktu selama itu biasanya terforsir untuk mengamati sampah-sampah warga kos-kosan yang saya huni ini.

Rata-rata sampah anak kos yang berhasil saya analisis dari kosan saya yang lama hingga kosan saya yang sekarang adalah produk-produk pabrikan yang banyak beredar di swalayan. Sampah yang ada dalam keranjang sampah tersebut merupakan indikator pola konsumsi warga rumah atau kosan tersebut serta mampu menjadi salah satu pengukur sebanyak atau sebesar berapa rupiahkan pengeluaran masing-masing penghuni.

Bungkus produk yang hampir setiap hari ada di tong sampah kos-kosan saya adalah bungkus minuman. Entah itu susu UHT, minuman rasa-rasa dalam kemasan botol, air mineral hingga gelas juss. Rata-rata harga dari produk tersebut berkisar antara 2000 - 6500 rupiah. Jika produk tersebut diminum setiap hari maka untuk sebulan bisa-bisa anak kos menghabiskan uang sekitar 70.000 - 200.000 rupiah dalam sebulan.

Sementara itu untuk makanan, rata-rata anak kosan membeli makanan dari kedai makanan tertentu atau makanan instant. Jika saya amati dari bungkusnya untuk yang berbungkus kertas minyak dengan remah-remah tulang ayam harga makanannya sekitar 8000 - 10.000. Jika ada remah-remah tulang berarti pengeluaran untuk membeli makanan tersebut sekitar 7000 - 10.000. Ada juga teman kos yang sesekali memesan makanan dari restoran kelas menengah ke atas dengan kisaran harga makanannya 15.000 - 25.000. Artinya dalam sehari seorang anak kos rata-rata akan menghabiskan 15.000 - 20.000 untuk makan. Jika sebulan maka teman-teman kos bisa menghabiskan dana 450.000 - 600.000 untuk makan.

Selain makanan pokok alias nasi. Anak kos tidak pernah lepas dari yang namanya makanan sampingan alias "camilan". Nah, kalau kita mau mengorek-ngorek sampah lebih dalam. Dengan mengamati bungkus-bungkus camilan, kita akan tahu gaya hidup anak kos tersebut. Beberapa teman kos, suka nyemil makanan yang bungkusnya berupa kemasan eksklusif seperti oreo, pillow pop, tango wafer dan kawan-kawannya. Ada juga yang suka nyemil makanan produksi industri rumahan dengan kemasan sederhana yaitu keripik singkong, kerupuk dan lain-lain. Rata-rata dalam sehari ada satu bungkus makanan ringan.

Dari uraian kasar di atas, maka bisa kita simpulkan bahwa mahasiswa dan anak-anak kos yang lainnya tidak pernah bisa lepas dengan apa yang disebut "perilaku konsumtif". Mungkin kita bisa memaklumi bahwa mahasiswa dan para pekerja yang ngekos adalah orang sibuk dengan sedikit waktu. Mahasiswa sibuk kuliah dan mengejar deadline numpuk tugas, laporan serta praktikum. Para koser juga sibuk dengan pekerjaannya.  Miris memang, dikala kegiatan mereka memerlukan stamina yang oke. Mereka justru menumpuk racun melalui makanan - makanan olahan yang mereka konsumsi sehari-hari.

Terkadang saya membahas gaya konsumsi anak-anak muda dan orang-orang dewasa ini. Jawaban mereka enteng-enteng saja "Kan zat-zatnya itu zat yang gak berbahaya kaya formalin dan arsenik. Palingan cuma pewarna dan pemanis buatan. Gak papalah dikonsumsi dikit-dikit". Dalam hemat saya, meski hanya sedikit tetapi jika itu telah menjadi bahan konsumsi setiap hari sama saja nantinya akan bertumpuk-tumpuk. Sebagaimana pepatah mengatakan "sedikit demi sedikit lama-lama akan menjadi bukit" Gak kebayang seberapa banyak zat aditif dan zat sintetik yang menumpuk dalam tubuh kita jika kita terus-terusan berperilaku seperti ini.

Solusi paling tepat adalah mengurangi konsumsi kita terhadap berbagai produk-produk tersebut. Susah memang, mengingat sajian yang beredar di pasaran merupakan produk yang disasarkan untuk meraih profit sebanyak mungkin sementara para penjual memiliki modal yang terbatas. Jika ada yang bilang lebih baik masak sendiri itu memang saran yang bagus, tapi tidak tepat jika disarankan pada mahasiswa maupun pegawai yang ngekos. Kalau saya boleh usul, hindari membeli makanan dan minuman yang bersifat instan, kalau hari libur atau senggang usahakan memasak. Banyak-banyak makan sayuran, dan memilih warung makan yang higienis dan halal.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun