Komunikasi Antarbudaya memiliki konsep yang berbeda beda, namun dari banyaknya konsep yang ada di komunikasi antarbudaya memiliki keterkaitan satu sama lain. Konsep itu dibagi menjadi 3, komunikasi internasional, komunikasi antar etnis, dan komunikasi antar ras, komunikasi antarbudaya merupakan konsep yang lebih luas yang mencakup 3 bentuk komunikasi lainnya. Hubungan atau keterkaitan tersebut mungkin biasa terjadi di lingkungan kita sendiri, sepeerti halnya komunikasi antar etnis, komunikasi antar etnis terjadi di antara kelompok etnis yang berbeda baik dalam satu negara maupun dari luar negara. Setiap etnis mempunyai budayanya masing-masing termasuk bahasa, tradisi, dan niilai nilai yang khas. Contohnya antara etnis Jawa dan Bugis.
Sementara, komunikasi antar ras biasanya berkaitan dengan interaksi antara kelompok ras yang berbeda yang juga membawa aspek budayanya sendiri-sendiri. Meski itu fokusnya ada pada perbedaan fisik, aspek budayanya tetap melekat karena setiap ras yang memiliki latar belakang budaya tersendiri. Dan konsep yang terakhir ini lebih luas lagi, yaitu komunikasi internasional, itu terjadi ketika antara negara/bangsa yang berbeda, yang secara angsung atau tidak lagsung melibatkan perbedaan budaya. Misalnya komunikasi antara perwakilan Indonesia dan China kemarin, yang melibatkan banyak perbedaan mulai dari bahasa, nilai, norma, samai cara berkomunikasi.
Setelah kita tahu keterkaitan antara 3 konsep komunikasi dengan komunikasi budaya, biasanya Stereotipe, prasangka, dan etnosentrisme juga menjadi hambatan komunikasi, karena stereotipe membuat kita menilai seseorang berdasarkan kelompok/grupnya, bukan sebagai diri sendiri atau induvidu. Dan itu menjadikan ekspetasi dan asumsi yang keliru serta menghambat komunikasi yang lancar dan terbuka. Selain stereotipe, biasanya prasangka juga menjadi hambatan komunikasi, prasangka itu sikap negatif yangdimunculkan kepada kelompok/grup lain yang didasarkan pada generalisasi yang salah. Mejadikan persepsi itu bias dan cepat untuk menafsirkan pesan tanpa pikir panjang, yang paling buruk adalah meibulkan ketidakpercayaan dan penolakan. Etnosentrisme juga hambatan yag tidak bisa dianggap enteng, karena etnosentrisme sendiri adalah caramenilai budaya lain menjadikan standae budaya sendiri, yang dapat menghalangi pemahaman dan pengharaan pada keunikan budaya lain, ditambah bisa menimbukan sikap jumawa yang menghambat keefektifan komunikasi.
Biasanya saya pribadi mempunyai langkah langkah untuk memulai bertemu degan orang baru di dalam konteks antarbudaya. Hal yang cukup penting dalam melakukan langkah langkah untuk bertemu orang baru adalah, bersikap fleksibel dan lebih adaptif terhadap gaya komunikasi dan budaya yang berbeda, seperti contoh mahasiswa yang baru saja merantau yang masih mencari teman atau satu kelompoknya, sebaiknya prinsip idealis disini dihilangkan, karena orang tidak suka yang keras dan seakan akan membandingkan budaya sendiri dengan budaya lain. Langkah selanjutnya biasanya riset tentang latar belakang budaya yang akan kita temui dan memahami konteks budayanya. Seperti contoh mahasiswa baru yang baru merantau, di kota pelajar seperti ini (Jogja), yang dikenal dengan kentalnya budaya sopan santun, dicampur dengan lingkungan peajar yang makin maju di era digital ini, menjadikan bahasa seperti "GUE, LO" sudah menjadi kultur. Langkah berikutnya yang terakhir adalah Penyesuaian terhadap buadaya itu sendiri, maraknya kultur pergaulan yang makin menjadi, menjadikan kultur pergaluan itu memiliki "Kode" tersendiri. Gaya berpakaian, cara membangun relasi pertemanan, hingga kebiasaan nongkrong dari warkop sampai ke kafe, semua itu membutuhkan adaptasi. Semakin kalian bisa mengadaptasikannya, semakin besar juga jaring relasi pertemanan itu terbangun luas. Proses diatas adalah transformasi kompleks yang dimulai dengan membangun kesiapan mental untuk bersikap fleksibel dan adaptif terhadap budaya yang baru, sampai membiasakan penyesuaian terhadap buadayanya itu sendiri.dengan fokus utama pada sikap rendah hati, kesabaran, dan keterbukaan dalam menghadapi setiap tantangan perbedaan budaya, mulai dari cara berkomunikasi, kebiasaan makan, sistem pergauran kampus, hingga pola pikir kritis yang berbeda, sehingga pada akhirnya mampu mentransformasikan diri dari seorang anak desa dengan perspektif terbatas menjadi individu yang memiliki wawasan luas, kemampuan adaptasi tinggi, dan pemahaman mendalam tentang keberagaman budaya.
Proses itu semua pernah saya alami sebagai mahasiswa perantau dari Cilacap, yang saya pikir lingkungan saya akan sama seperti di SMA, tetapi setelah saya jalani banyak sekali culture shock yang saya alami sendiri. Dulu, pagi-pagi di Cilacap selalu diiringi suara ayam berkokok, suara orang menimba air dari sumur, dan bau harum dari tetangga yang memasak, kini berganti dengan dentuman musik dari kos-kosan mahasiswa, suara brisik motor yang silih berganti, sampai melihat orang ornag rapi yang berangkat di pagi buta. Perbedaan pertama yang langsung terasa adaah cara berbicara. Logat halus Jawa Tengah yang biasa kudengar di kampung bersama keluarga maupun di lingkup tetangga, kini bercampur dengan logat Jogja yang lembut nan cerdas. Setiap percakapan bahasa jawa dengan logat Jogja yang terdengar, saya semakin ingin mempelajari itu lebih cepat, agar saya bisa menyesuaikan dan adaptasi yang cepat dengan orang orang disini. Terlebih juga bahasa mahasiswa yang beragam di kampus, dari logat betawi,sunda,jawa timuran, luar jawa, bahkan sampai Timor Leste. Makanan pun menjadi tantangan tersendiri. Kalau di Cilacap, sarapan adalah nasi dengan lauk sederhana, di Jogja justru bermula dengan gudeg, bakpia, dan ragam jajanan yang membuat perutku bingung. Bahkan harga disini lebih terjangkau dan ramah dengan kantong mahasiswa perantau seperti saya sendiri, terkecuali ikan. Disini yang banyak saya temui adalah lauk ayam yang beragam, ada yang di goreng,bakar,geprek,opor, sampai di suir dicampur sambal, sampai sampai makanan dan lauk lauk lain tertutup dan jadi susah untuk dicari, mungkin alasan dari itu karena sebgian mahasiswa menyukai lauk ayam dan harga juga lebih terjangkau. Momen paling mengesankan adalah bisa mengenal teman teman dari berbagai daerah, untuk bahasanya dan gestur bicaraya pun berbeda beda, tetapi kita bisa mengatasi itu dengan adaptasi satu sama lain.
Â
Seandainya saya menjadi seorang jurnalis, urgensi dari komunikasi antarbudaya itu sangat penting karena konteks perkerjaan jurnalis berhadapan langsung dengan narasumber dan masyarakat yang beragam latar belakangnya, budayanya, sehingga pemahaman komunikasi antarbudaya menjadi skill kita yang baru untuk menghindari kesalahpahaman dalam penafsiran makna yang di terima, serta bisa juga membangun kepercayaan narasumber. Menurut saya, komunikasi antarbudaya tidak sekadar teknis melainkan skill awal dalam menjaga etika jurnalistik, mengembangkan empati yang profesional, menurunkan ego dari personal, dan menghasilkan narasi yang inklusif, berimbang, serta mendalam dalam menggambarkan realitas sosial yang kompleks dan beragam.
Mahessa Abdi Alfarizal
Ilmu Komunikasi
Universitas Aisyiyah Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H