Pada saat umat muslim belum menaklukan kota Mekkah, saat perjanjian Hudaibiyah baru berjalan setahun. Rasulullah tentunya tidak ingin melanggar perjanjian tersebut di mana ketika itu Mekkah dan Madinah bersepakat untuk melakukan gencatan senjata selama 10 tahun. Oleh karena itu, tidak diperkenankan adanya peperangan atau tindakan buruk lainnya antara kaum Quraisy di Mekkah dan umat Muslim di Madinah. Karenanya, Rasulullah memfokuskan syiar dakwah Islam ke wilayah-wilayah kedudukan Persia dan Romawi.Â
Salah satu kunci utama lancarnya dakwah Islam di semenanjung Arab adalah negeri Syam yang kala itu tengah diduduki Imperium Romawi. Pada tahun 628 Masehi Rasulullah mengutus sahabatnya, Â al-Harist bin Umair untuk mengirimkan surat dakwah kepada gubernur Syam. Di tengah perjalanan al-Harist sudah dihadang pasukan Romawi. Setelah memberikan dan menjelaskan maksud dari surat tersebut, al-Harist dipegangi oleh beberapa tentara Romawi. Panglima Romawi menolak, mencela, dan merobek-robek surat dari Rasulullah, saat itu juga al-Harist terbunuh sebagai bentuk penolakan dan perlawanan bangsa Romawi kepada Rasulullah.
Beberapa saat berlalu, berita syahidnya al-Harist mulai terdengar oleh para sahabat dan akhirnya sampai juga kepada Rasulullah. Mendengar kabar tersebut Rasulullah tentu berduka dan marah terhadap sikap Romawi. Setelah berunding panjang dengan para sahabat, Rasulullah memberangkatkan 3000 pasukan sebagai bentuk perlawanan kepada Romawi.Â
Kabar mengenai perlawanan umat muslim terdengar oleh Imperium Romawi. Penguasa Romawi pada saat itu sadar betul mereka telah mengusik singa yang sedang tertidur. Mengetahui catatan kehidupan peperangan Rasulullah yang hanya mengalami kekalahan satu kali, yakni di perang Uhud. Walaupun merupakan bangsa yang besar, Imperium Romawi tentu tidak memandang remeh mangsanya ini. Oleh karena itu, Imperium Romawi merespons tindakan Rasulullah dengan mempersiapkan pasukan terbaik untuk menghadapi pasukan muslim.
Pasukan muslim mulai melakukan perjalanan ke medan perang pada hari Jumat tahun kedelapan perhitungan Hijriyah. Sebelum memberangkatkan para syuhada, Rasulullah menunjuk tiga panglima utama sebagai pemimpin perang, pertama Zaid bin Haritsah, apabila Zaid gugur, kepemimpinan dipegang oleh Ja'far bin Abu Thalib, dan apabila Ja'far gugur, kepemimpinan dipegang oleh Abdullah bin Rawahah. Karena penentuan panglima perang bersifat terbatas dan menyadari segala kemungkinan terburuk akan terjadi, para sahabat menanyakan perihal kepempinan perang apabila tiga panglima yang ditunjuk gugur. Maka dari itu, Rasulullah berpesan jika kemungkinan tersebut terjadi, Beliau meminta agar penentuan panglima selanjutnya dipilih berdasarkan perundingan umat muslim. Pesan terakhir Rasullullah meminta agar pasukan muslim dilarang menganiaya wanita, anak-anak, orang tua renta, dan orang-orang yang tidak berdaya. Pasukan muslim juga tidak diperkenankan untuk menebang pohon dan merusak bangunan milik siapapun.
Pasukan muslim bergerak ke arah utara. Setelah sampai di Mu'an, Syam, mereka mendirikan tenda-tenda dan beristirahat. Saat itu juga pasukan muslim mendapatkan informasi bahwa pasukan Romawi telah berada di Ma'an dan mempunyai pos-pos penjagaan. Pasukan muslim juga diuji mentalnya ketika mengetahui bahwa Raja Heraklius telah mempersiapkan kurang lebih 200.000 pasukan dengan baju zirah lengkap berbalut logam dan besi. Heraklius menangani serius peristiwa ini, ia tidak ingin memandang sebelah mata lawannya.Â
Setengah dari pasukan muslim mulai kehilangan kepercayaan diri, bentrokan argumen pun mulai terjadi. Beberapa di antara mereka meminta untuk mengirim surat kepada Rasulullah agar mengirimkan bala bantuan dari Madinah, ada juga yang hilang arah tidak keruan berpasrah pada takdir, ada juga yang menyarankan  agar pasukan muslim segera mundur. Melihat kondisi yang kalang kabut, Abdullah bin Rawahah naik mimbar. Ia berseru mengenai semangat perang dan keistimewaan mati syahid. Seni retorika yang ia lakukan berbuah manis, pasukan muslim sepakat untuk melaksanakan peperangan seraya menunggu bala bantuan dari Madinah.
Pada akhirnya pertempuran pun berlangsung di sebuah kampung yang bernama Mu'tah. Sekitar 3000 tentara muslim tanpa rasa gentar menyerbu 200.000 tentara Romawi yang di belakangnya juga ada pasukan cadangan yang jumlahnya tidak sedikit. Di belakang umat muslim, mereka tidak ada apa-apa, hanya sekadar harapan kecil pasukan dari Madinah sampai ke sana. Walaupun begitu, harapan kecil tersebut menjadi semangat yang membara.Â
Zaid yang menjadi komandan pertama mengerahkan pedangnya, menembus begitu banyak tubuh-tubuh pasukan Romawi yang dibaluti logam dan besi. Zaid menari-nari, semangat perangnya tak padam-padam, tanpa menyadari bahwa tubuhnya sudah dipenuhi tombak dan anak panah yang panas. Walaupun jiwa yang kuat, namun raga tentunya melemah. Zaid dengan kekuatan terakhirnya memanggil Ja'far untuk segera mengambil panji perang yang ia pegang. Seseorang yang memegang panji perang adalah simbol kepemimpinan. Zaid tidak ingin panji tersebut terjatuh, terhina, tergeletak pada sekumpulan jasad dan noda darah. Panji perang pun masih kokoh berdiri, namun berpindah tangan kepada Ja'far. Walaupun panji tetap berdiri, sayangnya raga Zaid tidak demikian. Dengan segenap keberanian dan tumpah darahnya, ia pun tumbang dan pada saat itu juga dinyatakan gugur.
Ja'far mulai berseru, menyatakan bahwa Zaid gugur dan komando perang ia ambil alih. Mendengar kabar Zaid gugur, pasukan muslim sedikit gentar. Namun kondisi tersebut mulai terkendali ketika Ja'far memulai kepemimpinannya dan menggerakkan pasukan untuk kembali menyerbu lawan. Ja'far terlalu bersemangat, ia terus berlaju menuju barisan tengah pasukan lawan. Ia pun terkepung, santapan mewah bagi pasukan yang berada di barisan tengah. Tak ada mimik wajah ketakutan pada diri Ja'far.Â
Dalam kondisi terkepung, ia tetap melayangkan pedangnya ke arah lawan hingga ketika pedang ia layangkan, salah satu pasukan Romawi yang berada di sisi lain tebasan pedang Ja'far berhasil mengarahkan pedangnya kepada tangan Ja'far, sampai-sampai tangan Ja'far putus dan jatuh bersama pedang genggamannya. Sedangkan tangan kirinya yang memegang panji perang pun menjadi korban berikutnya. Ja'far pun kehilangan kedua tangannya, namun sekali lagi panji perang tetap berdiri. Pada detik-detik kematiannya, Ja'far bersikeras memeluk panji perang dalam posisi berlutut. Melihat Ja'far yang tak kunjung tumbang, tentara Romawi mendekati kemudian memastikan gugurnya Ja'far. Melihat Ja'far tersungkur, Abdullah berlari dengan kudanya dan mengambil panji perang yang hampir saja tumbang. Sebagaimana Ja'far, ia pun berseru. Memberitahukan kepemimpinannya kepada pasukan muslim.