Mohon tunggu...
Ismun Faidah
Ismun Faidah Mohon Tunggu... lainnya -

seorang penulis lepas yang sangat lepas menuangkan ide dalam sebuah cerita hingga lepas, tuntas. menuju sebuah karya yang..ia biarkan mencari jalannya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Indahnya Hutan Bakau di Perbatasan Singapura-Malaysia

4 April 2014   04:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:06 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1396534420271074267

Sebenarnya sudah lama saya mendengar tentang Sungei Buloh Wetland Reserve. namun baru hari Minggu kemarin saya mengunjungi lahan basah seluas 130 hektar yang terletak di barat laut negara Singapura. lahan basah itu ditetapkan pertama kali pada tahun 2002. Selain itu, Wetlan International memasukkannya dalam Australasian Sorebirt Site Network karena lahan basah yang ditumbuhi pohon jenis bakau itu sangat penting sebagai pemberhentian burung migran.

Saya berangkat jam tujuh pagi dari Bukit Batok MRT ke Kranji MRT station yang hanya memakan waktu tak lebih dari lima belas menit. Setelah sarapan ala kadarnya di kopitiam yang tak jauh dari statiun saya menyetop bus 925C lalu turun di Neo Tiw Crescent bus stop untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan sekitar lima belas menit ke lokasi yang saya tuju.

saya pergi ke bagian informasi. pegawainya yang kebetulan bisa berbahasa melayu memberi arahan dan brosur yang berisi informasi seputar Sungei Buloh sekaligus peta. Ya! peta merupakan hal terpenting bagi orang yang senang menjelajah sendiri seperti saya :)

sambil mempelajari dan menentukan rute mana yang akan saya ambil, saya melihat-lihat habitarian Sungei Buloh yang terangkum dalam poster dua dimensi di art galerry. Jenis tak jauh beda dengan habitarian hutan bakau yang pernah saya kunjuungi di Indonesia, mungkin karena letak Indonesia dan Singapura yang berdekatan sehingga ada similarisasi jenis hewan. terutama jenis kepitingnya.

Setelah puas di art gallery, saya memilih menjelajahi Mangrove Broadwalk yang jauhnya tak lebih dari satu kilo meter. Broadwalk itu terbuat dari kayu keras yang lebarnya cuma satu setengah meter. bentuknya seperti dermaga yang menjorok ke laut. hanya saja broadwalk itu di desain untuk pengunjung yang ingin menikmati indahnya hutan bakau tanpa harus membuat kaki belepotan lumpur.dari atas dermaga, saya bisa melihat kepiting-kepiting kecil berlarian juga mud skipper yang berendam di atas cekungan air.

saya berhenti di MB 3. menikmati semilir angin laut yang berhawa garam. hawa yang selalu mengingatkanku pada pesisir utara laut jawa. semilir yang menambah kangen pada kampung halamanku. dari atas shalter, saya bisa melihat dengan lepas kapal-kapal barang yang menyauhkan jangkar. juga kapal-kapal navi Singapura yang menjaga wilayah perbatasan.

Saya kembali melanjutkan perjalanan. untuk mengambil rute satu sampai tiga saya harus menyeberangi jembatan utama. di tengah jembatan terdapat shalter bagi pra pengunjung. saya berhenti sejenak untuk melihat buaya-buaya yang sepertinya menyambut kedatangan para pengunjung.

Hari merambat siang dan sinar matahari jam setengah dua belas siang terasa menyengat. namun naluri menjelajahku seperti tak memedulikan peluh yang mulai menetes dan persediaan air minum yang mulai menipis. aku kembali berjalan meninggalkan main bridge untuk menjelajahi rute satu. rute satu tak begitu jauh. hanya memakan satu setengah jam perjalanan. sedang rute dua dan tiga bisa mencapai tujuh jam perjalanan.

perjalanan cukup melelahkan karena mungkin tak ada yang saya ajak ngobrol untuk membunuh kejemuan. tapi kejemuan itu terbayarkan saat berpapasan dengan sekawanan biawak yang berjalan santai di atas jalan berkoral itu. mereka cukup bersahabat. ketika tahu ada pengunjung yang datang mereka berjalan menepi atau bersembunyi di semak-semak kiri kanan jalan.

sekitar satu kilo meter dari main bridge saya berhenti di salah satu shalter. saya hanya duduk mengurut kaki sambil menikmati semilir angin, mendengar cericit burung, menyatukan diri dengan alam.

Ya! perjalanan ini mengingatkan bahwa kadang kita musti berhenti di satu titik ketika kita benar-benar lelah. sekedar berjeda atau menyerah dan kembali ke titik awal adalah pilihan setelah energi kita cukup untuk membuat keputusan. dalam hidup, kadang kita memaksakan diri untuk menempuh perjalanan sepanjang mungkin, sejauh yang kita bisa namun kita tak benar-benar menikmati perjalanan itu. kita hanya menemu lelah, stressful dan berkompetisi dengan  waktu. hanya itu!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun