Mohon tunggu...
Mahesa Ervyn Jenar
Mahesa Ervyn Jenar Mohon Tunggu... -

Tidak ada yang perlu dideskripsikan mengenai saya, pendeskripsian adalah kecongkakan pikiran manusia.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bulan Purnamaku

13 September 2010   23:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:16 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Malam, gelap, sunyi, bulan bersinar terang, aku melihatnya kembali tapi aku tak lagi mengerti akan siapa dirinya kini, berubahkah dia? -bulanku yang purnama- memandang dunia secara berbeda, yang dulu sering dilihatnya terang kini dalam kegelapan, cahaya itu dinikmatinya, kegelapan malam itu juga dinikmatinya, aku tak mengerti apa dunia yang dia harapkan, dunia yang ingin dia jadikan ke-satu-nya.

Dia berubah, melihatku seperti tak lagi mengenal siapa aku, aku yang menjadikannya malaikat kecil dalam pikiran ini! Lupakah dia tentang kata yang dulu pernah ku ucapkan padanya, jika hanya dialah nama yang akan selalu ada dalam batin ini? meski aku tak akan lagi memilikinya jika satu saat nanti tak lagi terpilih dalam hatinya nama seorang aku, yang karena itu aku memilihnya, dunianya kini terlalu rumit untuk pengertianku, terlalu susah untuk mengikuti jalan pikirannya, meski aku tahu itulah dirinya sejak dulu, namun saat ini aku sungguh terlalu kekurangan pikiran untuk membuatnya dimengerti oleh akal ini.

Apa yang dia cari? ke-dunia-an? aku tak mampu melihat ini semua, aku selalu membuang muka untuk melihatnya, takut untuk mengerti, aku membutakan diri atas dirinya dan semua itu, dia yang telah menjadi Salma-ku dalam cerita Sayap-Sayap Patah Gibran dan Kemegahan Dunia-ku dalam puisi-puisi Rumi, tak mengertikah ia –Bulan Purnamaku–

Aku ingin menjadikannya lagi keindahan seperti dulu lagi, seperti keindahan nama yang disandangnya –Bulan Purnama– yang akan sayu menerangi gelapnya malamku dengan cahaya yang dibiaskannya dari telaga jiwa ini, aku ingin membuatnya se-patuh api yang berkobar membara, se-bengal air dalam cawan, seperti itu agar tercipta lagi keindahannya seperti dulu.

Kertas putih yang dibawa bersamanya dulu masih kosong dalam sepengetahuanku, namun entah kini apa yang dituliskannya di atas kertas itu, entah dengan tinta apa dia goreskan pena itu, namun andai aku diperbolehkan lagi untuk melihat kertas itu, aku akan meminta agar aku dapat menuliskan satu kata saja dalam kertas itu, dengan tinta hitam yg tebal akan kutuliskan di atas kertas itu sebuah kata ” CUKUP “, agar dia mengerti saat itu tak ada aku dalam setiap goresan-goresan penanya sebelum aku menuliskan kata itu, dan aku akan memohon padanya agar tak lagi mencari kata lain untuk dicoretkannya lagi, karena akupun tak mampu menambahkan meski hanya beberapa kalimat yang akan sama saja seperti gelas retak terisi penuh air.

Untukmu –Bulan Purnamaku– aku akan menuduhmu sebagai malaikat kecilku lagi seperti dulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun