Mohon tunggu...
mahesa paranadipa
mahesa paranadipa Mohon Tunggu... -

medical doctor, like movies & travelling

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Regulasi Aborsi yang Menyandera Etika Profesi

17 Oktober 2014   20:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:39 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Beberapa minggu terakhir ini, terjadi polemik terkait dengan aborsi. Bukan karena kasus aborsi yang ditemukan oleh pihak berwajib, namun karena terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Bukan kesehatan reproduksi yang dijadikan subyek masalah namun lebih kepada bunyi Pasal 2 butir b yaitu “indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas larangan aborsi”. Tak ayal hal ini menimbulkan penolakan dari beberapa pihak, termasuk Ikatan Dokter Indonesia secara resmi menyatakan penolakan terhadap substansi PP 61 tersebut yang secara eksplisit menyatakan melegalkan aborsi di luar indikasi medis.

Ada baiknya kita bahas satu per satu alasan utama penolakan serta hal lain yang terkait dengan argumentasi penolakan aborsi.

Etika Sebagai Norma Tertua Kedokteran

Sebelum norma hukum mengatur dunia kedokteran melalui beberapa peraturan perundang-undangan, norma etik merupakan norma tertua yang mengatur komunitas kedokteran. Tercatat dalam sejarah 2500 SM adanya Kode Etik Hammurabi(Code of Hammurabi) yang dipegang oleh sebuah bangsa di lembah Mesopotamia (Babylonia). Kode etik Hammurabi memiliki aturan yang keras untuk semua aspek kehidupan, tidak terkecuali untuk kedokteran. Seorang dokter atau tabib akan kehilangan tangannya jika pasien yang ditanganinya meninggal dunia, tukang bangunan akan dihukum berat jika bangunan yang dibangun rubuh, dan masih banyak lagi aturan yang tertera dalam kode etik Hammurabi.

Menginjak abad ke-5 SM, dikenal adanya Sumpah Hipokrates, atau lebih tepatnya adalah Manifesto Phytagorean (Menurut Sofwan Dahlan). Pada masa itu, banyak dokter atau pengobat yang melakukan penipuan, euthanasia, dan aborsi. Sehingga masyarakat tidak lagi mempercayai dokter. Maka para murid Phytagoras mencanangkan sebuah janji atau sumpah, dimana Hipokrates banyak memberikan kontribusi terhadap bunyi sumpah atau janji tersebut. Salah satu bunyi sumpah tersebut yaitu “Juga saya tidak akan memberikan wanita alat untuk menggugurkan kandungannya,…”.

Sumpah Hipokrates juga yang memunculkan kata profesi yang berasal dari bahasa Latin (profession artinya sumpah atau janji). Sumpah Hiprokater pun menjadi rujukan sumpah yang diucapkan oleh seluruh dokter di seluruh dunia ketika lulus dari fakultas kedokteran. Di Indonesia isi Sumpah Kedokteran tidak sama persis dengan isi Sumpah Hipokrates, namun memuat hal-hal mendasar yang telah dicantumkan di Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).

Dari beberapa kode etik yang terbit sebelum masehi, tidak ada satupun yang memberikan celah bagi dokter atau pengobat untuk menggugurkan kandungan, dengan alasan apapun. Melakukan pengguguran kandungan dengan alasan tertentu baru ditemukan pada buku AL-Qanun yang ditulis oleh Ibnu Sina pada abad ke-10 sesudah masehi. Beliau menuliskan “terkadang pada kondisi tertentu dibutuhkan untuk melakukan pengguguran kandungan di antaranya ketika wanita yang hamil masih terlalu belia sehingga ditakutkan akan membahayakan apabila ia melahirkan. Juga ketika terdapat penyakit dalam rahim seperti penyakit kangker rahim sehingga menyusahkankeluarnya jabang bayi”

Pasca perang dunia ke-2, pada tahun 1949 dalam pertemuan World Medical Association (WMA) dirumuskan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode etik kedokteran internasional ini kemudian diikuti dengan beberapa deklarasi. Salah satu deklarasi yang khusus membicarakan tentang aborsi adalah Deklarasi Oslo pada tahun 1970. Butir utama deklarasi ini menyebutkan “Saya akan menghormati hidup insani sejak saat pembuahan; oleh karena itu Abortus buatan dengan indikasi medik, hanya dapat dilakukan dengan syarat-syarat berikut:

1.Pengguguran hanya dilakukan sebagai suatu tindakan terapeutik

2.Suatu keputusan untuk menghentikan kehamilan, sedapat mungkin disetujui secara tertulis oleh dua orang dokter yang dipilih berkat kompetensi profesional mereka.

3.Prosedur itu hendaklah dilakukan seorang dokter yang kompeten di instalasi yang diakui oleh suatu otoritas yang sah.

4.Jika dokter itu merasa bahwa hati nuraninya tidak memberanikan ia melakukan pengguguran tersebut, maka ia hendak mengundurkan diri dan menyerahkan pelaksanaan tindakan medik itu kepada sejawatnya yang lain yang kompeten.

5.Selain memahami dan menghayati sumpah profesi dan kode etik, para tenaga kesehatan perlu pula meningkatkan pemahaman agama yang dianutnya. Melalui pemahaman agama yang benar, diharapkan para tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya selalu mendasarkan tindakannya kepada tuntunan agama.

5.

Jika melihat poin 5 deklarasi Oslo di atas, merujuk kepada hokum di beberapa agama seperti Yahudi, Nasrani, Hindu, dan Budha, hampir seluruhnya melarang dilakukan pengguran kandungan tanpa melihat umur kehamilan. Sedangkan di dalam Islam banyak perbedaan sesuai dengan mazhab yang dianutnya. Beberapa mazhab memperbolehkan pengguguran kandungan sebelum Ruh ditiupkan ke janin, yang diyakini pada usia janin 40 hari.

Dokter atau pengobat telah ada selama berabad-abad sejarah manusia, dimana norma tertua yang dipegang dan berlaku pada komunitas dokter atau pengobat adalah etik, maka seyogyanya norma Etik menjadi norma yang harus dijunjung tinggi oleh komunitas kedokteran dan komunitas kesehatan lainnya. Dan jika melihat seluruh norma etik yang pernah ada maupun saat ini masih berlaku, pengguran kandungan dianggap melanggar etik kedokteran. Hal ini pula yang dipegang teguh oleh dokter-dokter yang memegang prinsip “Pro Life”.Meskipun di kalangan kedokteran terdapat kubu “Pro Choice” yang memberikan hak kepada sang ibu dan si dokter untuk bisa melakukan pengguguran kandungan.

Menurut Sofwan Dahlan, seorang professional dalam menjalankan profesinya harus berlandaskan kepada 3 H, yaitu by Head (ilmu pengetahuan), by Hand (keterampilan/skill), dan by Heart (hati nurani). Atas dasar itu makna profesi dibedakan dengan okupasi. Hal semakna dengan buti ke-4 syarat dilakuakn aborsi pada Deklarasi Oslo.

Manuver Redaksional Regulasi Aborsi

Polemik aborsi karena terbitnya PP no.61 tahun 2014 seharusnya tidak meletakkan seluruh kesalahan pada PP 61 atau pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan PP 61. Cikal bakal permasalahan sebenarnya berawal dari terbitnya Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

Sebelum terbitnya undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, ketentuan terkait Aborsi disebutkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada Bab XIV Pasal 346 hingga Pasal 350. Pasal-pasal tersebut menyatakan dengan tegas bahwa setiap aborsi termasuk tindak pidana tanpa melihat indikasi dilakukannya aborsi. Dengan kata lain, KUHP seratus persen memuat prinsip “Pro Life”.

Namun pada Undang-undang No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan pada Pasal 15 ayat (1) menyebutkan “Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan denganalasan apapun, dilarang karena bertentangan dengan norma hukum,norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan”. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkanjiwa ibu atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medistertentu.

UU Kesehatan tahun 1992 pada prinsipnya hampir sama dengan KUHP, namun menambahkan norma “darurat” pada Pasal 15 ayat (1). Sehingga beberapa pakar menyebutkan, diantara perseturan kubu “Pro Life” dan “Prof Choice”, undang-undang ini memberikan porsi yang hampir sama. Namun pilihan terhadap tindakan aborsi hanya dibatasi pada kondisi darurat medis saja.

Disayangkan dengan terbitkan Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, yang merupakan revisi dari UU No.23 tahun 1992, pembatasan dilakukannya aborsi, yang sebelumnya hanya diperbolehkan pada kondisi darurat medis (indikasi medis), ditambahkan indikasi akibat perkosaan. Melihat substansi baru ini, terlihat bahwa kubu “Pro Choice” telah mendapat porsi lebih banyak dalam UU Kesehatan baru.

Pada Pasal 76 UU No. 36 tahun 2009 disebutkan syarat dilakukannya aborsi yaitu :

a.sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung darihari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;

b.oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;

c.dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;

d.dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan

e.penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.

Dalam PP no.61 tahun 2014, syarat dilakukan aborsi menjadi:

a.dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar;

b.dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri;

c.atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan;

d.dengan izin suami, kecuali korban perkosaan;

e.tidak diskriminatif; dan

f.tidak mengutamakan imbalan materi.

Pada Pasal 75 ayat (2) butir b disebutkan ”kehamilan akibat perkosaan yang dapatmenyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan”. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan:

1.Apakah gangguan psikologis tidak termasuk dalam kondisi medis?

2.Jika Ya, mengapa dipisahkan dari butir a yang menyebutkan indikasi kedaruratan medis?

Pertanyaan lain yang mungkin muncul adalah, jika seorang perempuan mengalami gangguan psikologis akibat perkosaan, apakah terapinya hanya dengan dilakukan aborsi? Mengapa tidak dilakukan terapi psikologis terlebih dahulu?

Pertanyaan di atas harus bisa dijawab untuk mengatasi dilemi etik yang dialami oleh dokter yang mungkin tersandera dengan terbitnya regulasi tersebut. Pada intinya, penambahan redaksi indikasi dilakukannya aborsi selain indikasi medis menimbulkan tanda tanya besar mengenai kedaulatan dari keluhuran profesi kedokteran. Etika kedokteran telah tersandera oleh norma hukum yang telah mengalami maneuver redaksional. Pertanyaan terkahir, apakah norma tertua harus tunduk kepada norma baru yang menimbulkan dilematis bagi beberapa dokter?

Bagi saya, norma etik tetap merupakan norma yang menjaga keluhuran profesi kedokteran. Tanpa etika, kedokteran telah kehilangan nilai paling berharga yang telah dijaga berabad-abad lamanya. Tanpa etika kedokteran, maka bersiaplah generasi dokter mendatang menjadi sosok yang melayani pasiennya dengan tunduk hanya kepada norma hukum yang banyak dipengaruhi oleh kepentingan di luar kemurnian niat mengobati atau menyelamatkan. Upaya pengobatan dan penyelamatan yang berujung kepada ketentuan Illahi.

Atas dasar tersebut, keputusan untuk dilakukannya aborsi,sekalipun atas indikasi medis, tidak menjadi keputusan seorang diri dari dokter (spesialis kandungan dan kebidanan). Namun keputusan untuk dilakukan aborsi adalah keputusan tim (beberapa RS menyebut Tim Terminasi) yang terdiri dari beberapa komponen yaitu : dokter, psikolog/psikiater, tokoh agama, dan kepolisian. Aborsi bukannlah keputusan darurat (harus segera diputuskan), sehingga harus diberi ruang bagi sang ibu dan dokter untuk meyakinkan bahwa tindakan yang akan dilakukan ditujukan untuk kebaikan semua pihak (termasuk sang janin).

Sekali lagi, dokter terikat akan sumpah "Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan" yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pemilik Kehidupan, Allah SWT.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun