Untuk butir b, pemberlakuan cuti sesuai dengan ketentuan di mana sang dokter bekerja.
Â
Untuk butir c, jika sang dokter tidak diikutkan Jaminan Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan) tentu tidak mendapatkan jaminan pensiun dan jaminan hari tua. Untuk dokter yang berpraktik perorangan hal ini dapat dipastikan tidak diperoleh oleh sang dokter.
Â
Untuk butir d, seluruh dokter swasta bisa dipastikan tidak mendapat perlindungan dari pemerintah. Jika perlindungan yang dimaksud adalah perlindungan hukum, dokter swasta dan dokter PNS lebih banyak memperolehnya melalui organisasi profesinya (di dalam IDI ada Biro Hukum Perlindungan,dan Pembinaan Anggota-BHP2A). Meski tidak semua BHP2A IDI Cabang/Wilayah efektif berjalan di daerah, namun setiap kasus hukum yang dihadapi oleh anggota IDI, aparat hukum akan menghubungi IDI setempat. Dalam menjalankan fungsi perlindungan terhadap anggotanya, IDI tidak mendapat dana apapun dari pemerintah.
Â
Untuk butir e, dapat dipastikan hampir seluruh dokter swasta harus merogoh kocek sendiri demi menjaga dan mengembangkan kompetensinya. Hal ini pula yang selalu dikaitkan dengan isu kolusi dokter-farmasi. Padahal, di dalam kode etik kedokteran maupun GP-Farmasi, pembiayaan kegiatan ilmiah yang diberikan oleh farmasi kepada dokter selama memenuhi batasan-batasannya dianggap tidak melanggar etik. Organisasi profesi, baik IDI maupun perhimpunan dokter selalu mengupayakan kegiatan pengembangan kompetensi yang dapat dijangkau oleh seluruh anggotanya.
Â
Terkait hal ini, sebuah bentuk ketidakadilan sangat dirasakan oleh dokter, ketika dituntut untuk terus menjaga dan meningkatkan kompetensi demi menjaga mutu layanan kepada masyarakat, dokter seakan dibiarkan oleh Negara, dan yang terjadi adalah stigma kolusi dokter-farmasi selalu dikaitkan dengan mahalnya harga obat.
Â
Dari beberapa hal di atas, berdasarkan pemahaman hukum dan akademik saya, dokter swasta tidak dapat dikategorikan sebagai pegawai negeri.