Mohon tunggu...
mahesa paranadipa
mahesa paranadipa Mohon Tunggu... -

medical doctor, like movies & travelling

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ribka Tjiptaning: Jiwa Klinikus atau Kritikus?

17 Maret 2014   23:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:49 781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Beberapa hari terakhir pasca pak Jokowi menyatakan dirinya mendapat mandat untuk maju sebagai capres dari PDIP, terjadi kegaduhan di sosial media terutama sosial media yang beranggotakan para dokter. Kegaduhan berupa penolakan sebagian besar dokter terhadap ibu Ribka yang konon kabarnya akan digadang-gadang menjadi menteri kesehatan jika pak Jokowi terpilih menjadi presiden selanjutnya. Hal ini ternyata diletupkan juga oleh pernyataan ibu Ribka di beberapa media beberapa bulan sebelumnya dengan pernyataan “Jika Menang Pemilu, Menkes Harus dari PDIP”.

Sepintas hal ini dilihat sebuah kewajaran, oleh karena beberapa kali Ibu Ribka melontarkan pernyataan yang secara umum menyinggung perasaan para dokter seperti “Dokter sekarang lebih jahat dari polisi. Kalau polisi nilang orang sehat, dokter nilang orang sakit”, ada lagi pernyataan yang menuduh dokter sebagai penyebab banyaknya pasien ditolak perawatannya di rumah sakit. Melihat pernyataan-pernyataan tersebut muncul pertanyaan akan sikap ibu Ribka, apakah pernyataan tersebut pantas diucapkan oleh ibu Ribka, seorang anggota dewan yang terhormat dan juga seorang dokter?

Menjawab pertanyaan di atas sebaiknya kita melihat dari dua sisi kedudukan ibu Ribka. Jika pernyataan tersebut dilontarkan dalam kapasitas beliau sebagai wakil rakyat (anggota DPR), maka sah-sah saja dengan mengedepankan peran sebagai kritikus. Namun jika beliau menyampaikan dalam kapasitas diri sebagai seorang dokter (klinikus) maka menjadi kurang etis jika diucapkan yang kemudian masyarakat tahu beliau juga seorang dokter, karena dalam Sumpah Dokter ada kalimat “Saya akan perlakukan teman sejawat saya seperti saudara kandung”. Sehingga pertanyaan selanjutnya, apakah beliau sebagai klinikus atau kritikus? Jika melihat aktifitas ibu Ribka yang sangat sibuk dalam dunia politik, maka dapat dilihat kemungkinan besar bahwa dunia klinikus tidak lagi digelutinya. Aktifitas politik menggiringnya lebih banyak mengkritisi situasi di sekitarnya termasuk profesinya sendiri.

Perbuatan yang tidak etis tentunya harus diberi sanksi. Penjatuhan sanksi etik terhadap profesi dokter dilakukan oleh Majelis Kehormatan dan Etik Kedokteran di tingkat IDI cabang (jika sudah dibentuk) atau di tingkat IDI Wilayah. Penjatuhan sanksi etik ditujukan untuk menegakkan keluhuran etika kedokteran sehingga seorang dokter tidak jatuh ke dalam pelanggaran yang lebih dalam yaitu hukum.

Dari kurang etisnya pernyataan ibu Ribka, profesi dokter bukanlah profesi anti-kritik. Bahkan seorang dokter harus selalu melakukan autokritik dan mawas diri. Melihat hal ini maka jika menempatkan Ibu Ribka dalam posisi kritikus, pernyataan-pernyatan beliau menjadi bahan kontemplasi bagi profesi dokter. Komunitas dokter harus melihat kritik sebagai kalori perbaikan mutu pelayanan kepada masyarakat serta citra keluhuran profesi dokter. Namun sekali lagi, jika terbukti ini sebuah pelanggaran maka harus diberi sanksi.

Kembali kepada penolakan Ibu Ribka sebagai Menkes, saya melihat terlalu prematur untuk menanggapi, karena kita belum tahu siapa pemenang dalam ajang pilpres mendatang.Sekalipun pak Jokowi yang akan memenangkannya, saya pun belum terlalu yakin Ibu Ribka yang akan dipilih karena yang dibutuhkan oleh dunia kesehatan sekarang bukanlah kritikus, namun seorang yang membawa setumpuk solusi dan berani mengatakan “tidak ada tawar-menawar jika bicara kesehatan”.

Saya menulis ini dalam kapasitas saya sebagai penulis yang melihat ibu Ribka sebagai kritikus. Ada kemungkinan besar tulisan ini justru mendongkrak popularitas beliau melalui media sosial, namun silahkan masyarakat dan kalangan profesi kesehatan menilai sendiri pantas atau tidak pantasnya.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun