Mohon tunggu...
mahesa paranadipa
mahesa paranadipa Mohon Tunggu... -

medical doctor, like movies & travelling

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Inspeksi Awal “Makhluk” Dokter Layanan Primer

19 Maret 2014   01:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:46 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Sejak terbitnya Undang-undang Nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran pada Agustus 2013 silam, beberapa isu mulai banyak dibicarakan, antara lain tentang internsip, uji kompetensi, dosen, dokter layanan primer dan masih banyak lagi. Dari semua isu tersebut yang paling banyak diperbincangkan adalah konsep dokter layanan primer. Bahkan beberapa pihak bahkan berencana mengajukan yudisial review ke Mahkamah Agung terkait hal ini.

Mari kita kupas satu per satu hal-hal tentang dokter layanan primer yang disebutkan dalam UU Pendidikan Kedokteran (UU Dikdok) :

1.Pada Pasal 7 disebutkan pendidikan kedokteran terdiri atas pendidikan akademik dan pendidikan profesi. Untuk pendidikan profesi sendiri terdiri atas Program Profesi Dokter, Program Dokter Layanan Primer, dan Program Dokter spesialis-subspesialis.

2.Pasal 8 menyebutkan program dokter layanan primer (DLP), spesialis dan subspesialis hanya dapat diselenggarakan oleh FK yang memiliki akreditasi kategori tertinggi untuk program studi kedokterannya, atau bisa dikatakan hanya diselenggarakan di FK dengan akreditasi A. Namun untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan DLP, FK dapat bekerjasama dengan FK dengan akreditasi setingkat lebih rendah (akreditasi B). Dalam ayat (3) disebutkan program DLP merupakan kelanjutan program profesi dokter dan program internsip yang SETARA dengan program dokter spesialis.

Penjelasan Pasal 8 ayat (2) disebutkan “Program DLP ditujukan untuk memenuhi kualifikasi sebagai pelaku awal pada layanan kesehatan tingkat pertama, melakukan penapisan rujukan tingkat pertama ke tingkat kedua, dan melakukan kendali mutu serta kendali biaya sesuai dengan standar kompetensi dokter dalam system jaminan kesehatan nasional.”

Ketentuan tentang program DLP diatur dengan Peraturan Menteri

3.Pada Pasal 19, mahasiswa program DLP melakukan tahap mandiri pendidikan di RS pendidikan atau RS lain setelah dilakukan visitasi.

4.Pasal 31 disebutkan mahasiswa program DLP berhak memperoleh insentif di RS pendidikan, perlindungan hukum, dan waktu istirahat sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Beberapa pertanyaan muncul mengenai konsep DLP ini, antara lain:

1.Bagaimana kewenangan dokter yang tidak mengikuti program DLP? Apakah masih dapat melakukan praktik kedokteran dan dapat dikontrak oleh BPJS dalam program JKN?

2.Bagaimana target pemenuhan DLP jika bertumpu kepada keberadaan FK yang memiliki akreditasi A? Sedangkan jumlahnya hanya 16 FK dengan Akreditasi A, dan 23 FK dengan akreditasi B (sumber: BAN PT).

3.Berapa lama masa studi program DLP? Bagaimana pelayanan kepada masyarakat jika banyak dokter harus menempuh pendidikan lanjutan?

4.Apa yang dimaksud “setara dengan program spesialis”?

5.Jika program DLP ini untuk menciptakan dokter yang memberi pelayanan di tingkat pertama, lalu mengapa pendidikannya di RS yang merupakan fasilitas tingkat kedua?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut saya sendiri pun sulit menemukan jawabannya. Namun kita tidak perlu untuk memaksa hadirnya jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, karena “makhluk” DLP sendiri belum matang untuk lahir menjadi konsep yang siap implementatif, dalam kata lain DLP menurut saya masih merupakan embrio ketika pembahasan RUU Dikdok. Hingga saat ini banyak pihak yang menyatakan DLP dalam perspektif masing-masing, sedangkan kehadiran DLP harus disepakati para pemangku kebijakan. Pertanyaan selanjutnya, mengapa harus ada konsepsi untuk menghadirkan “embrio DLP” dalam pembahasan RUU Dikdok?

Jawaban pertanyaan di atas menurut saya hampir sama dengan pertanyaan ketika memunculkan level kemampuan 4B di dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tahun 2012. Keinginan besar dari beberapa pemangku kebijakan untuk berusaha meningkatkan kemampuan dokter di layanan primer yang dirasakan masih menimbulkan keraguan beberapa pihak akan mutu pelayanan. Mengapa muncul keraguan? Dari beberapa pihak memberikan jawaban akan keraguan proses pendidikan di institusi pendidikan dengan mutu yang beragam, masa studi yang makin dipersingkat, banyaknya peserta didik (ditambah jumlah residen yang terus bertambah)menyebabkan kemampuan yang diperoleh ketika pendidikan profesi menjadi dipertanyakan. Belum lagi laporan beberapa center pendidikan yang menyebutkan bahwa mahasiswa kedokteran dibatasi dalam menyentuh pasien.

Walaupun menurut saya jawaban ini agak kurang tegas, mengingat masih diterapkan uji kompetensi ketika akan lulus di FK, tentunya mekanisme ini merupakan proses penyaringan lulusan FK untuk terjun ke masyarakat dengan kemampuan yang diyakini dapat memberikan pelayanan yang bermutu. Ditambah adanya program internsip selama 1 tahun, meskipun di beberapa lokasi program ini lebih banyak mengekploitasi dokter lulusan baru dibandingkan memberikan “pemahiran” yang sebenarnya.

Kembali ke awal, perdebatan tentang program DLP harus dikembalikan kepada pengusung ide dan para pencetus konsepsi. Kita tidak dapat mengatakan “makhluk DLP” akan merugikan atau menguntungkan jika kita sendiri belum melihat jelas “makhluk” yang akan lahir tersebut. Atau minimal gambaran akan DLP yang disepakati para pemangku kebijakan.

Niat baik untuk menghadirkan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat tetap harus di dukung oleh semua pihak, namun niat yang dijalankan dengan mengorbankan banyak hak juga harus dipertimbangkan terlebih dahulu. Terutama hak masyarakat dan hak dokter yang kelak melayani masyarakat.

Semoga bermanfaat. Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun