Sangat menyedihkan saat melihat kondisi pendidikan indonesia di era sekarang ini. Banyak berita yang kurang mengenakan tersebar di media sosial. Mulai dari kasus guru yang dipukul orang tua murid yang anaknya dimarahi. Ada juga guru yang nyaris dipenjara karena dilaporkan dengan tuduhan “kekerasan dan penganiyayaan”. Pemberitaan di media membuat guru seakan merasa dikekang oleh hukum yang melarang tindak kekerasan terhadap para peserta didik. Hal ini menjadi alasan jitu bagi para guru untuk mengendorkan ketegasanya terhadap para murid. Kekendoran yang berujung pada merosotnya kualitas moral dan karakter para siswa.
Saya tidak pernah merasakan secara langsung bagaimana kondisi pendidikan Indonesia dimasa lalu. Tapi saya kerap kali mendengar cerita para guru tentang metode pendidikan tempo dulu, dimana guru dan orang tua merasa leluasa dalam menghukum seorang anak dengan mengatasnamakan “Pendidikan Karakter”. Terkadang saya muak mendengar cerita yang terdengar dilebih lebihkan seakan kekerasan adalah tindakan “Maha Benar” sebagai satu satunya jalan untuk “Membentuk Karakter”. Karakter yang bagaimana?, apakah mereka mengharapkan karakter siswa yang tangguh menghadapi pukulan dan kekerasan?
Atau mungkin mereka mengharapkan karakter siswa yang budiman dengan rasa hormat tinggi kepada guru?. Kalau memang itu yang diharapkan maka hal yang didapatkan akan jauh dari ekspetasi. Pendidikan yang penuh kekerasan hanya akan menghasilkan produk manusia manusia “Gagal Moral” yang lebih parah dari sekarang. Produk manusia yang karakternya telah dibunuh oleh apa yang gurunya sebut sebagai “Pendidikan Karakter”. Saya heran melihat banyaknya guru dan orang tua yang memiliki paradigma bahwa metode belajar dan mengajar tempo dulu dengan rotan dan kayu lebih “Efektif” dari pada sekarang. Maka dari itu semua orang perlu tau perihal bagaimana tindak kekerasan dalam pendidikan karakter melahirkan produk manusia gagal moral.
Bagaimana tindak kekerasan dalam pendidikan karakter melahirkan produk manusia gagal moral
Sedikit mengkutip perkataan dari Martin Luther King Jr:
Returning hate for hate multiplies hate, adding deeper darkness to a night alredy devoid of stars. Darkness cannot drive out darkness: only light can do that. Hate cannot drive out hate: only love can do that
Kutipan diatas telah menyingkap sebuah kebenaran yang seakan tenggelam dipikiran masyarakat yang masih bertahan dengan pendirianya yang mengatasnamakan pendidikan karakter untuk melakukan kekerasan. Kelompok masyarakat yang lebih memilih untuk membungkam anaknya dengan tamparan dan makian. Membalas kebencian dengan kembecian malah akan melipat gandakan kembencian tersebut. Anda tidak bisa melihatnya, karena kebencian ini ada didalam diri seorang anak yang jiwanya telah digelapkan. Sesuatu yang tidak keluar lewat kata kata, namun mengalir lewat air mata disertai dengan jeritan penuh derita.
Para komponen pendidik baik itu guru atau orang tua menganggap kekerasan sebagai media untuk membentuk kedisiplinan, namun perlu diingat bahwa saat seorang anak mengalami kekerasan rasa sakit yang mereka rasakan tidak hilang seiring dengan sembuhnya memar memar ditubuhnya. Rasa sakit itu akan terus tumbuh mengikuti pertumbuhan karakter yang sudah dirusak sejak awal. Masa kecil yang penuh dengan kegelapan akan membuat mereka memiliki pola pikir yang jauh dibawah rata rata anak anak pada umumnya. Pola pikir yang cenderung kearah radikalis.
Violence is the problem, not the solution
Ya, kekerasan adalah masalah, bukan sebuah solusi. Anda hanya akan menghadapi masalah dengan masalah apabila anda menganggap kekerasan sebagai solusi. Sudah saatnya semua komponen pendidik mengubah stigma negatif mereka tentang metode pendidikan yang mereka anggap “memanjakan” anak anak.
Mewujudkan metode pendidikan yang ideal