Bulan Ramadan adalah bulan untuk melatih kesabaran. Selama sebulan penuh kita 'dipaksa' untuk mengendalikan diri terhadap segala nafsu yang melingkupi diri yang merupakan naluri dasar dari seorang manusia.
Kita dilatih untuk menahan lapar dan haus dari subuh hingga magrib tiba. Mengendalikan keinginan untuk menggunjing orang lain dan mengumbar hasrat birahi selama waktu berpuasa.
Selain itu memperbanyak amalan-amalan sunnah selain shalat yang wajib seperti melakukan tadarus Al Quran selepas Shalat Tarawih adalah sebuah kenikmatan tersendiri. Yang patut diingat pahala ibadah dalam puasa akan cacat nilainya jika kita tidak mampu mengendalikan emosi yang kerap timbul saat sedih, kesal ataupun marah.
Tetapi ternyata ujian Ramadan tidak selalu lurus-lurus saja. Baru saja tiba pagi tadi di tempat kerja, isteriku sudah mengirimkan pesan whatsapp untuk menelpon Simbok di kampung.
Awalnya aku menyangka mungkin mertuaku ini kangen karena sudah lama tidak bertemu denganku. Walaupun sebenarnya sering sekali aku menyempatkan meneleponnya untuk sekedar menanyakan kabar.
Aku langsung berusaha menghubunginya. Sinyal di kampung memang biasanya agak susah didapat. Tapi kali ini berbeda ternyata langsung terdengar nada panggil. Tapi 'tumben' panggilan teleponku tidak juga diangkat hingga beberapa menit.
Rupanya isteriku ada beberapa kali mengirimkan pesan whatsapp kepadaku yang belum sempat terbaca. Karena tadi aku langsung memutuskan untuk menelepon mertuaku jadinya tidak begitu paham jalan ceritanya.
Tengah malam sekitar pukul dua belas adalah saat orang sedang nyenyak-nyenyaknya terlelap dalam tidur. Apalagi kebiasaan di kampung isteriku memang selepas magrib tidak ada lagi penduduk yang keluar rumah. Semua sudah siap beristirahat setelah lelah seharian bekerja di ladang.
Tidak seperti malam-malam sebelumnya. Suasana sunyi dipecahkan oleh suara dering dari gawai 'jadul' milik Simbok. Dalam keadaan setengah sadar karena mengantuk Simbok menerima panggilan tersebut.
"Opo, Nduk?" Simbok yang menyangka salah satu anaknya yang menelepon langsung buka suara. Selama ini memang bisa dibilang hanya anak-anak atau cucunya yang menghubungi lewat gawai miliknya.
"Mbah, puteramu kecelakaan" suara seorang lelaki terdengar di ujung sana. Dia ternyata fasih berbahasa Jawa. Kebetulan Simbok memang tidak dapat berbicara bahasa Indonesia.