Uhuk uhuk,
Beberapa kali lelaki tua itu terbatuk
Merubah dinginnya malam dan rasa kantuk menjadi sebuah kutuk
Sesak, dan tenggorokannyapun tak henti bergerak sibuk
"Kapan saya boleh pulang,"
Ratusan kali ucapan itu terngiang
Setiap kali perawat menghantarkan hidangan di pagi, siang dan petang
Mengusik setiap telinga hingga liang-liang menabuhkan genderang
Jendela adalah satu-satunya alat pengukur waktu
Tuk memastikan matahari setia memutari sumbu
Mengawasi bahwa kendaraan tetap menebarkan asap debu
Sembari menatap gerobak tempat pembeli yang nikmat menyantap semangkuk bakso berkuah kaldu
Kesepian adalah musuh sekaligus teman
Menyelusup di setiap heningnya pikiran
Berloncatan mengisi setiap kekosongan alam khayalan
Adakah yang lebih setia dari bertemankan kesepian ?
Tensi darah
Temperatur
Saturasi oksigen
Gula darah
Ventilator
Infus
Jarum suntik
Beragam deretan angka yang seolah tak henti memusingkan kepala
"Kapan saya pulang,"
Pandemi mengikat raganya tak mampu tuk pulang ke desa
Kala ayah tercinta yang tlah renta harus pulang meninggalkan dunia
Pada siapa harus berbagi duka dan cerita?
Kesembuhan dan kematian seolah sahabat pena
Mereka saling bersurat membagikan bait-bait tangis dan tawa
Aksara saling mengukir kata
Berujar tentang suka cita dan karangan bunga berisikan syair duka cita
*****
"Suster, kemana bapak tua di sebelah. Sudah boleh pulang dia rupanya" aku bertanya pada perawat yang mengunjungi kamarku. Pagi ini tak kulihat sosoknya.
"Ia sudah berpulang" katanya singkat sembari membereskan tempat tidur pak tua.
"Kapan saya pulang"
adalah sebuah misteri
Kelak kesepian akan menjadi musuh dan teman abadi
Tangerang, Januari 2021
Mahendra Paripurna
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H