Mohon tunggu...
Mahendra Paripurna
Mahendra Paripurna Mohon Tunggu... Administrasi - Berkarya di Swasta

Pekerja Penyuka Tulis Baca, Pecinta Jalan Kaki dan Transportasi Umum yang Mencoba Menatap Langit

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saat Kau Menua, Siapa yang Akan Merawat dan Mengantarmu di Kala Sakit?

4 November 2020   14:56 Diperbarui: 5 November 2020   20:42 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Minggu kemarin kebetulan saya terpaksa harus mengunjungi sebuah rumah sakit. Salah satu tempat yang sebenarnya sangat ingin saya hindari di saat pandemi karena rentan dengan penularan virus Covid 19. Tapi apa boleh buat, jika harus ditunda lagi sakit pada jari tangan ini rasanya sudah tak mungkin tertahan lagi.

Setelah paginya melakukan pendaftaran melalui telepon, saya diberitahu bahwa jadwal dokter yang saya tuju baru akan ada pukul 10 pagi. Pagi ini saya akan bertemu dengan dokter spesialis orthopedi untuk memeriksakan jari tangan kiri saya yang sudah sejak beberapa minggu yang lalu mengalami sakit jika untuk ditekuk dan jika berhasil ditekuk malah sulit jika harus diluruskan kembali.

Dengan berkendara sendiri, jam 10 kurang 10 menit saya sampai di sana. Setelah mengambil print pendaftaran saya menunggu di depan ruangan praktek dokter. Ternyata sudah banyak pasien yang menunggu di sana.

Tak berapa lama suster keluar dan menempelkan daftar nama pasien yang akan berobat. Dan saya berada di urutan 65, alamat bakal lama ini menunggunya. Dari susternya para pasien diberitahu bahwa dokternya masih belum datang

Saya baru sadar ternyata mayoritas pasien yang mengantri adalah pasien usia lanjut. Saya termasuk salah satu pasien yang berusia muda. Mungkin karena dokter spesialis ini memang banyak dikunjungi pasien usia tersebut yang sudah mulai mengalami masalah berkaitan dengan tulang mereka.

Pasien yang berusia muda bisa dihitung dengan jari. Seorang laki-laki yang duduk diujung pintu keluar kelihatannya habis mengalami kecelakaan. Terlihat dari perban yang melibat telapak kaki dan tangan kanannya. Terpincang-pincang ia saat berjalan di dampingi salah satu keluarganya.

Seorang wanita muda yang duduk tak begitu jauh menarik perhatian saya. Cantik. Dengan pakaian ketat berdada rendah yang sepadan untuk tubuhnya. Tapi bukan karena hal itu tentunya yang membuat saya tertarik membuka percakapan. Yah, lebih untuk mengurangi jenuh saja selama menunggu.

"Mau berobat juga ya Mbak. Sakit apa?"
Wanita muda itu menoleh, dari tarikan matanya sepertinya ia tersenyum di balik masker yang menutupi bibirnya.


"Eh. Nggak. Saya mau mengantar ayah saya berobat" ujarnya.


"Lho. Ayahnya?" saya menengok kanan kiri mencoba mencari yang mana kira-kira ayahnya. "Saya dari tadi rasanya tidak melihat Mbak datang berdua."


"Wah. Mas dari tadi ternyata memperhatikan saya ya" ucapannya membuat saya menggaruk kepala yang tidak gatal. "Saya memang tadi datang sendiri untuk mendaftarkan ayah saya sekaligus menunggu antrian. Kasihan Mas, ayah saya sudah sepuh kalau harus menunggu lama disini"

Wanita muda yang saya tahu kemudian bernama Dinda menerangkan semuanya. Rupanya ia menggantikan posisi ayahnya untuk mengantri. Jika nomer urutnya sudah dekat baru ia menghubungi ayahnya untuk datang ke rumah sakit diantar oleh salah satu keluarganya.

Termenung saya mendengarnya. Dinda begitu perhatian terhadap ayahnya. Rela menyempatkan diri mendampingi ayahnya untuk berobat di sela aktifitas hariannya. Kesulitan yang dihadapi para orang tua di usia senja adalah ketika ia sakit. Baik berada di rumah maupun jika harus berobat ke rumah sakit.

Seorang wanita tua masuk dengan kursi rodanya di dorong oleh seorang laki-laki berambut keperakan yang kuduga adalah suaminya. Langkahnya setengah tertatih namun mencoba untuk tetap terlihat mantap. Ia berdiri sejenak di depan pintu ruang dokter untuk melihat nomer urut pasien sebelum akhirnya mencari kursi kosong untuk duduk. Saya tak melihat ada orang lain yang mengantar keduanya.

Saya jadi teringat dengan ibu. Tahun ini memang menjadi tahun yang menyedihkan bagi kami sekeluarga. Di bulan April kemarin ibu telah pergi untuk selama-lamanya meninggalkan kami anak-anaknya setelah cukup lama menderita sakit pada tulang belakangnya.

Beberapa tahun belakangan memang saya dan adik-adik harus merawat ibu yang sakit. Beberapa kali kami bergantian mengantar ibu jika harus kontrol ke dokter untuk menjalani fisioterapi. Dan sempat juga bergantian menunggu ibu saat harus menginap beberapa hari di rumah sakit. Mungkin hanya kakak saya yang tidak bisa hadir karena tempat tinggalnya yang sangat jauh dari rumah ibu. Ibu saya tinggal bersama adik perempuan saya.

Jika hari libur kerja, saya selalu menyempatkan diri bersama keluarga mengunjungi ibu. Terkadang untuk sekedar berbincang dan bertukar fikiran dengannya untuk menemani selama sakitnya. Ada kebahagiaan tersendiri juga bagi saya selaku anak jika dapat merawat dan mengantar ibu selama pengobatan di sisa-sisa umurnya. Walaupun memang kami akhirnya harus rela saat Allah memanggilnya untuk berpulang selama-lamanya.

Andai bisa memutar ulang waktu. Rasanya ingin lebih banyak lagi bisa meluangkan waktu bersama ibu.

Selang sebulan kemudian di bulan Mei giliran ayah mertua saya yang tinggal di Wonogiri mengalami sakit kritis. Beliau memang sudah beberapa tahun mengalami sakit parah. Sehari-harinya hanya dapat berbaring di tempat tidur ditemani oleh ibu mertua saya.

Akhir tahun kemarin istri saya sempat pulang kampung sendirian menggunakan bus antar kota.  Karena ayah mertua sakitnya cukup mengkhawatirkan. Anak-anak kebetulan juga masih masuk sekolah sehingga saya berbagi tugas dan bertukar peran dengan isteri untuk menjaga rumah dan mengurus anak. Saat itu isteri saya masih berkesempatan merawat orang tuanya. Menyuapkan makanan dan minuman bahkan membasuh tubuh sang ayah yang memang sudah tidak bisa melakukan apa-apa.

Kondisi ayah memang kadang kambuh dan kadang kala membaik namun menurut dokter memang sudah tidak mungkin seratus persen pulih. Saat isteri saya meninggalkan kampung, ayah sudah lumayan membaik perdarahannya setiap kali buang air besar sudah berhenti.

Hampir persis sebulan setelah ibu meninggal ternyata ayah mertua saya setelah kritis selama beberapa hari akhirnya harus juga menghadap Sang Illahi. Di akhir bulan Mei kembali kesedihan itu datang.

Situasi pandemi yang memuncak dan larangan ketat pemerintah untuk tidak bepergian keluar kota. Membuat saya dan isteri tidak bisa menghadiri pemakaman ayah. Keluarga di kampung juga memang menyarankan hal yang sama untuk menjaga agar tidak ada penularan virus covid yang mungkin terbawa oleh kami dan mencegah resiko kami harus diisolasi jika memaksa untuk pulang.

Memang banyak alasan yang menyebabkan beberapa orang di usia senja harus memeriksakan diri tanpa didampingi sang anak. Ada yang merasa tak enak harus merepotkan anak atau ada juga yang memang anaknya kurang perhatian pada orang tuanya. Mungkin karena kenangan yang diwariskan oleh sang orang tua untuk sang anak kurang baik seperti pada tulisan saya sebelumnya.

wahai-ayah-kenangan-apa-yang-ingin-kau-wariskan-untuk-bekal-putrimu-bercerita


Perjalanan saya dari rumah ke tempat kerja dengan menggunakan bus transjakarta yang melewati RS. Cipto Mangunkusumo sering kali menemui orang-orang tua yang akan berobat ke rumah sakit tersebut tanpa di dampingi anaknya. Terkadang hanya berdua bersama pasangan suami atau isteri yang juga tak bisa dibilang baik kondisinya.

Mungkin ada juga anak yang menyediakan suster perawat untuk menjaga dan merawat orang tuanya. Walaupun rasanya pasti berbeda jika anak kandungnya yang menunjukkan kasih sayangnya secara langsung. Karena bagaimanapun kedekatan emosional yang terbangun sejak masih kecil tentu saja akan memberikan efek positif bagi kesembuhan sang orang tua.

Tiba-tiba sebuah pertanyaan seperti melintas di kepala.


Saat kau menua, siapa yang akan merawatmu di kala sakit dan mengantarkanmu untuk berobat?


Kegalauan sama yang mungkin juga dirasakan oleh beberapa pasien usia senja yang terpaksa harus mandiri untuk memeriksakan diri berobat di tempat ini.

Mampukah kelak tubuh ini menopang langkah kaki ini? 

Masih bersediakah isteriku menemani untuk memeriksakan diri dan merawatku? 

Apakah anak-anakku masih akan meluangkan waktu untukku?

Pertanyaan yang harus saya temukan sendiri jawabannya di masa depan.
Dari ruangan dokter, terdengar suster memanggil nama saya. Sekilas di ujung sana terlihat Dinda sedang berbincang hangat dengan seorang pria tua penuh wibawa.

Ah. Semoga saja kita semua kelak diberikan kesehatan di masa tua dengan ditemani anak-anak dan pasangan hidup yang selalu setia bersama kita.

Tangerang, Nopember 2020
Mahendra Paripurna

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun