Anak-Anak di Panti Asuhan:
Keterbatasan Akses Bantuan Sosial, Tanggung Jawab Kita Bersama
Oleh: IG Mahendra Kusumaputra
Di tengah hiruk-pikuk pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat di Indonesia, kita sering kali melupakan kelompok-kelompok marginal yang rentan dan membutuhkan perhatian khusus. Salah satu kelompok marginal ini adalah anak-anak yang tinggal di panti asuhan, yang meskipun memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan perlindungan dan pemeliharaan oleh negara, sering kali terpinggirkan dalam akses terhadap layanan sosial kesehatan dan pendidikan yang seharusnya menjadi hak mereka. Dalam Pasal 34 UUD 1945, negara diamanatkan dan ditegaskan bahwa "fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara," termasuk anak-anak yang tinggal di panti asuhan. Namun, realitas di lapangan sering kali jauh dari amanat ini. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa amanat konstitusi ini benar-benar diwujudkan untuk mereka yang paling membutuhkan?
Menurut data dari Kementerian Sosial RI pada tahun 2023, terdapat sekitar 450.000 anak yang tinggal di panti asuhan di seluruh Indonesia. Angka ini mungkin hanya sebagian kecil dari seluruh populasi anak di negara ini, tetapi mereka adalah bagian dari kelompok marginal yang rentan. Data menyebutkan, dari jumlah tersebut hanya sekitar 70% yang terdaftar dalam program BPJS Kesehatan melalui skema Pembayaran Bantuan Iuran (PBI). Artinya, sekitar 30% anak-anak ini masih belum memiliki akses yang memadai terhadap layanan kesehatan dasar yang disediakan oleh pemerintah. Kendala yang mereka hadapi tidaklah sepele; kurangnya informasi mengenai prosedur pendaftaran, persyaratan administrasi yang rumit, serta hambatan logistik dan teknis sering kali menjadi penghalang yang tidak mudah diatasi oleh pengelola panti asuhan yang memiliki sumber daya terbatas.
Teori Keadilan Sosial yang dikemukakan oleh John Rawls memberikan landasan yang kuat untuk memahami pentingnya menyediakan akses yang adil dan merata terhadap layanan sosial bagi semua warga negara, terutama mereka dari kelompok marginal dan dianggap rentan. Rawls menekankan bahwa dalam sebuah masyarakat yang adil, distribusi sumber daya harus diatur sedemikian rupa sehingga memprioritaskan mereka yang paling kurang beruntung (kelompok marginal). Dalam konteks ini, anak-anak di panti asuhan merupakan kelompok yang paling membutuhkan perhatian dan dukungan negara. Ketidakmampuan mereka untuk mengakses layanan kesehatan dan pendidikan yang disediakan oleh pemerintah melalui program seperti PBI BPJS Kesehatan dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) menunjukkan adanya kegagalan dalam mewujudkan prinsip keadilan sosial ini. Seharusnya, program-program tersebut dirancang dan diimplementasikan sedemikian rupa sehingga mereka yang paling rentan, termasuk anak-anak di panti asuhan, dapat menikmati manfaatnya tanpa hambatan.
Namun, realitas yang dihadapi oleh anak-anak di panti asuhan sering kali jauh lebih keras. Ketika seorang anak sakit dan membutuhkan perawatan di rumah sakit, tetapi belum memiliki BPJS Kesehatan, sering kali anak tersebut ditolak oleh rumah sakit. Situasi ini tidak hanya mengancam kesejahteraan anak, tetapi juga melanggar hak asasi manusia yang mendasar. Hal yang sama terjadi dalam konteks pendidikan, di mana anak-anak yang tidak memiliki akta kelahiran ditolak untuk bersekolah. Padahal, pendidikan adalah hak setiap anak, dan akses terhadap pendidikan tidak seharusnya bergantung pada kelengkapan administrasi yang mungkin tidak dimiliki oleh anak-anak yang berasal dari latar belakang yang kurang beruntung.
Dalam perspektif Teori Hak Asasi Manusia, setiap individu, termasuk anak-anak di panti asuhan, memiliki hak untuk mendapatkan akses terhadap layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Hak-hak ini tidak boleh disandera oleh kekurangan administrasi atau hambatan birokrasi. Menurut Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia), hak atas kesehatan dan pendidikan adalah hak asasi yang harus dijamin oleh negara. Pasal 25 deklarasi tersebut menyatakan bahwa setiap orang berhak atas standar hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraannya, termasuk perawatan medis yang diperlukan. Pasal 26 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pendidikan. Ini berarti bahwa rumah sakit dan sekolah seharusnya tidak menolak anak-anak yang membutuhkan layanan ini hanya karena kurangnya kelengkapan administrasi. Paradigma yang harus dipegang adalah "layani dulu, urus administrasi kemudian."
Panti asuhan seharusnya menjadi tempat perlindungan dan pemulihan bagi anak-anak yang terlantar atau berasal dari keluarga yang tidak mampu. Namun, kenyataannya, banyak panti asuhan yang berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan dasar anak-anak ini, terutama dalam hal kesehatan dan pendidikan. Pemerintah telah menyediakan program bantuan sosial yang ditujukan untuk kelompok marginal, seperti Pembayaran Bantuan Iuran (PBI) untuk BPJS Kesehatan dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk pendidikan. Program-program ini dirancang untuk memastikan bahwa tidak ada anak di Indonesia yang tertinggal dalam hal akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan. Namun, apakah program-program ini benar-benar mencapai tujuan tersebut?
Meskipun sekitar 70% dari anak-anak di panti asuhan telah menerima KIP, laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 menunjukkan bahwa hanya sekitar 50% dari mereka yang benar-benar mampu memanfaatkan dana tersebut secara optimal. Dana KIP sering kali tidak cukup untuk menutupi semua kebutuhan pendidikan anak-anak, terutama di daerah perkotaan di mana biaya pendidikan lebih tinggi, walaupun di beberapa kabupaten/kota yang kaya sudah membebaskan biaya pendidikan dasar dan menengah dan hanya untuk sekolah negeri saja. Selain itu, masih ada masalah dalam distribusi dana KIP yang tidak merata, tidak tepat sasaran dan kurangnya dukungan dalam memanfaatkan dana tersebut untuk kebutuhan yang lebih mendesak, seperti pembelian seragam atau buku pelajaran. Masalah-masalah ini menunjukkan bahwa meskipun program KIP telah membantu meringankan beban biaya pendidikan, akan tetapi masih banyak yang perlu dilakukan untuk memastikan bahwa semua anak-anak, termasuk mereka yang berada di panti asuhan, benar-benar mendapatkan manfaat dari program ini secara maksimal.
Hak ini sesuai dengan perspektif Teori Kapabilitas yang dikemukakan oleh Amartya Sen, kesejahteraan individu diukur tidak hanya dari pendapatan atau sumber daya yang mereka miliki, tetapi juga dari kemampuan mereka untuk memanfaatkan sumber daya tersebut untuk mencapai tujuan hidup yang mereka anggap berharga. Teori ini menekankan bahwa fokus pembangunan harus pada peningkatan kapabilitas individu untuk menjalani kehidupan yang mereka nilai berharga. Dalam konteks ini, meskipun pemerintah telah menyediakan KIP, tantangan yang dihadapi anak-anak di panti asuhan adalah kemampuan mengakses dan  memanfaatkan dana tersebut, kondisi ini menunjukkan bahwa program ini belum sepenuhnya dapat meningkatkan kapabilitas mereka. Hambatan administratif, kurangnya bimbingan, dan masalah distribusi adalah beberapa faktor yang membatasi kemampuan anak-anak ini untuk benar-benar mengakses dan memanfaatkan bantuan yang disediakan oleh pemerintah. Ini menandakan bahwa penyediakaan bantuan finansial saja tidak cukup; diperlukan dukungan yang lebih komprehensif untuk memastikan bahwa dana tersebut benar-benar dapat diakses dan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.