Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,12% pada September 2024 dikutip dari sumber Badan Pusat Statistik (BPS), merupakan deflasi kelima berturut-turut selama pertengahan hingga menuju akhir tahun 2024 dan menjadi yang paling parah dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Perlu diketahui bahwasannya deflasi pada bulan September 2024 ini lebih parah jika dibandingkan Agustus 2024 yang hanya sebesar 0,03%. Lebih lanjut deflasi berturut-turut selama tahun 2024 pertama kali terjadi pada bulan Mei sebesar 0,03% MoM, lalu berlanjut pada Juni 0,08%, dan justru lebih dalam pada Juli dengan 0,18%. Deflasi mulai membaik pada Agustus yakni kembali ke level 0,03%. Tapi justru kembali terpuruk pada bulan September. Dalam lima bulan terakhir memang secara luas deflasi disumbang oleh penurunan harga komoditas bergejolak.
Seperti Bahan Bakar Minyak (BBM) yang mengalami penurunan harga pada bulan September adalah BBM khusus non-subsidi, komoditas bensin dan solar mengalami deflasi masing-masing sebesar 0,72% dan 0,74%. Adapun makanan, minuman, dan tembakau juga menjadi penyumbang deflasi tercatat sebesar 0,59% per September. Lain daripada itu BPS juga mencatat hampir semua provinsi di Indonesia mengalami deflasi, dan hanya 14 provinsi yang malah terjadi inflasi secara bulanan. Perlu diketahui deflasi terdalam 0,92% MoM terjadi di Papua Barat. Sementara itu inflasi tertinggi terjadi di Maluku Utara sebesar 0,56% MoM."
Deflasi secara singkat merupakan kondisi ketika terjadi penurunan harga-harga barang dan jasa secara terus - menerus dalam kurun waktu tertentu. Sekilas deflasi terlihat menguntungkan bagi masyarakat karena harga-harga barang dan jasa jadi lebih murah dan terjangkau oleh konsumen. Namun di satu sisi, deflasi yang terjadi saaat ini dapat jauh lebih membahayakan, karena deflasi secara beruntun ini menjadi tanda bahwasannya pendapatan atau uang di masyarakat sudah semakin sulit untuk dimiliki. Jadi masyarakat yang memiliki uang akan semakin sedikit, bukan karena masyarakat tidak ingin berbelanja, tapi karena memang pendapatannya sudah turun.Â
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan deflasi ini terjadi. Per 1 Oktober 2024 sebanyak 53.993 tenaga kerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dikutip dari Kementerian Ketengakerjaan, Sebagian besar berasal dari sektor manufaktur dan tiga provinsi dengan angka PHK terbesar adalah Jawa Tengah, Banten, dan Jakarta. Namun pengamat ekonomi memprediksi akan mencapi 70.000 tenaga kerja untuk PHK hingga akhir tahun 2024 yang dapat mengenai semua industri domestik. Tidak lepas dari banyaknya perusahaan dinyatakan pailit atau justru pindah ke daerah lain dengan tujuan pembayaran upah minimum yang lebih kecil. Di samping itu tercatat sebanyak 2,07 juta klaim Jaminan Hari Tua (JHT) pada bulan Agustus 2024 turut memperkuat pernyataan sebelumnya. Pencairan JHT biasanya dilakukan ketika pekerja mengundurkan diri atau terkena gelombang PHK, yang jika terus membesar pastinya dapat menurunkan pendapatan masyarakat kelas pekerja. Dampaknya pekerja akan lebih hati - hati dan sedikit mengeluarkan uang hanya untuk kebutuhan prioritas. Klaim JHT yang besar tentunya menggambarkan banyak orang kehilangan pekerjaan.Â
Selanjutnya kecilnya lapangan kerja di sektor padat karya dalam lima tahun terakhir juga nyaris tidak ada, padahal sektor ini menjadi ruang tumpu utama untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar sehingga diharapkan bisa mencipatakan apa yang kita kenal sebagai warga kelas menengah. Tetapi data BPS terakhir menunjukkan 9,48 juta warga kelas menengah Indonesia justru turun kelas dalam lima tahun terakhir, menjadi hanya 47,85 juta jiwa.Tercatat 101 Ribu pekerja di PHK pada tahun ini, imbasnya jumlah para pekerja sektor informal kian membludak, Ditunjukkan ada sekitar 60,12% atau lebih dari 83 juta tenaga kerja yang bekerja di sektor informal bersumber data BPS bulan Februari 2023. Hal tersebut tentunya mereka tidak bisa mendapat jaminan sosial, beban itu bertambah ketika mereka harus menghadapi urusan ekonomi rumah tangga yang semakin berat seperti kesulitan mengakses layanan pendidikan dan memiliki rumah sendiri yang berdampak akhir pada kompleksitas seperti terjerat pinjol dan masalah sosial kemanusiaan lainnya.Â
Beratnya beban kelas menengah tercermin dari pengeluaran biaya hidup yang semakin bertambah di tahun 2024 misal untuk makanan naik jadi 41,67% dari total konsumsi. Di lain sisi bersamaan biaya perumahan juga naik dari 27,6% di tahun 2019 menjadi 28,52% di tahun 2024, ditambah pengeluaran untuk biaya - biaya transportasi listrik bahan bakar dan juga komunikasi yang terus naik, di tahun 2019 berkisar angka 6,04% dan di tahun 2024 ini membesar jadi 6,48%. Kelas menengah yang sebelumnya terbiasa menikmati kemudahan transportasi online, sekarang harus mencari alternatif transportasi yang lebih ekonomis . Menurunnya pendapatan yang dibarengi bertambahnya pengeluaran membuat daya beli kelas menengah kian melemah, hal ini menyebabkan mereka bersikap menahan diri atau lebih selektif ketika membeli barang atau jasa. Jadi salah satu faktor kenapa pendapatan masyarakat turun, karena dari sektor yang krusial melahirkan kelas menengah sedang terpuruk. Hal ini tentu tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang lebih berfokus pada investasi di sektor padat modal seperi tambang ketimbang padat karya yang membuka lapangan kerja baru. Di lain sisi, tingginya suku bunga Bank Indonesia (BI) yang akhirnya dipangkas pada September 2024 menjadi 6% dari sebelumnya 6,25%. Suku bunga tinggi itu dipertahankan Bank Indonesia demi menjaga penguatan atau stabilitas nilai tukar rupiah. Tapi di sisi lain, dampaknya uang yang beredar di masyarakat akan jadi lebih mahal. Meskipun suku bunga sudah dipangkas, tidak berarti bisa "mengurangi lonjakan deflasi" di bulan-bulan yanga akan datang. Karena PHK massal dan tak adanya lapangan kerja baru belum sepenuhnya teratasi, yang pada akhirnya daya beli masyarakat juga belum mampu untuk pulih kembali. Diprediksi menurut para ekonom deflasi di Indonesia akan terus berlanjut sampai akhir tahun, meskipun Bank Indonesia sudah menurunkan suku bunga dan akan dipangkas di bulan-bulan selanjutnya, tetap saja akan susah untuk memulihkan deflasi seperti semula. PHK massal ini tidak bisa ditangani dengan tingkat suku bunga yang turun, tapi merupakan masalah struktural dan konsekuensi dari investasi yang tak berpihak pada masyarakat. Di lain sisi lapangan kerja yang ada sangat terbatas jumlahnya untuk bisa meningkatkan kembali penghasilan masyarakat, jadi memang akan lebih sulit menaikkan deflasi ketimbang menurunkan inflasi yang disebabkan oleh penurunan daya beli masyarakat. Dalam hal ini pihak pemerintahan Prabowo Gibran akan mencoba meninjau kembali kebijakan-kebijakan yang dapat mengganggu konsumsi kelas menengah seperti penerapan PPN 12% pada awal tahun 2025. Selanjutnya akan mencoba memperbanyak pelatihan untuk pelatihan skill vokasional bagi anak-anak muda, baik untuk pekerjaan - pekerjaan mekanik, industri, hingga berbagai jasa. Dan tentu pastinya menggunakan standarisasi yang terukur untuk peningkatan produktivitas tenaga kerja.
Salah satu cara yang bisa diambil adalah dengan menncoba membuka akses lebih banyak investasi terutama di sektor-sektor yang padat karya yang mampu menciptakan banyak lapangan kerja seperti contohnya manufaktur yang menyumbang pendapatan besar pada GDP Indonesia, jika investasi masuk dengan lancar akan lebih banyak lapangan pekerjaan yang terbuka dan keuangan kelas menengah bisa kembali stabil. Di sisi lain pemerintah juga perlu untuk membantu mengurangi beban-beban yang kini ditanggung oleh masyarakat di kelas menengah seperti pemerintah menghindari langkah menaikkan pajak atau mengurangi subsidi, yang hal itu sangat membantu meringankan beban kaum kelas menengah yang masih kesulitan mendapatkan pekerjaan. Selajutnya diharapkan pemerintah bisa menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok seperti bahan bakar dan transportasi, di lain sisi juga bisa menekan biaya pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Jika memang perlu merumuskan kebijakan yang dapat mengatasi tingginya biaya sekolah atau biaya UKT pendidikan tinggi, serta mempermudah akses pada kepemilikan rumah. Bertumpu pada semua itu optimis daya beli kelas menengah dapat kembali menguat, dan roda perekonomian negara akan mampu untuk berputar lebih baik dan penerimaan pajak juga bisa naik. Di lain pihak para pebisnis juga bisa menikmati, karena situasi kembali stabil dan terkendali, mereka tidak perlu lagi sibuk menekan harga jual produk barang dan jasa atau menghemat biaya operasional secara berlebihan. Negara ini perlu memperkuat kaum kelas menengah supaya bisa mendapatkan capaian masa depan kelas menengah, bukan hanya sekedar kaum yang mendorong kenaikan konsumsi. Kaum kelas menengah merupakan kaum yang berperan penting dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional dalam jangka panjang, karena  mendukung pertumbuhan ekonomi dengan daya beli yang konsisten dan terjaga serta mendorong investasi baik nyata maupun modal dan menciptakan pasar yang lebih fleksibel dan dinamis dari waktu ke waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H