Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak - kanak menuju tahap dewasa. Umumnya, masa ini dikenal dengan masa mencari jati diri. Anak remaja akan banyak mengeksplor dirinya dan mencari kecocokan dengan apa yang mereka senangi. Mereka akan melakukan apapun untuk mencari jati diri mereka sendiri. Â Pada tahap ini, remaja akan menemukan circle mereka sendiri yang mereka yakini cocok untuk perkembangan mereka, walaupun tak jarang mampu untuk merusak diri mereka sendiri. Contoh konkretnya adalah terjerumus dalam geng klitih.
Apa itu Klitih?
Permasalahan klitih ini sudah menjadi masalah sosial yang kerap kali terjadi di Yogyakarta. Anggota klitih merupakan anak-anak remaja dengan yang masih dibawah umur. Diantaranya merupakan siswa SMP dan SMA. Mereka melakukan klitih ini karena untuk mencari eksistensi. Mereka merasa ingin disegani oleh kakak kelas ataupun adek kelas mereka. Cara mereka memperoleh eksistensi tersebut adalah dengan melakukan klitih. Sosiolog Kriminal UGM Suprapto mengkaji bahwa tindakan klitih merupakan ajang rekrutmen yang dilakukan oleh kelompok geng muda. Agar mampu diterima sebagai anggota kelompok, para calon anggota baru ditantang untuk membuat onar dengan melukai pengguna jalan.
Para remaja anggota geng klitih akan membawa senjata tajam sambil mengendarai sepeda motor. Biasanya mereka melakukannya berboncengan, yang satu mengendarai sepeda motor dan yang satu membawa sajam untuk melukai korban. Korban yang disasar pun tidak memandang usia, baik dari usia muda hingga tua. Mereka tidak mengincar harta atau benda apapun melainkan hanya ingin melukai dan meninggalkan korban begitu saja. Biasanya klitih ini dilakukan pada dini hari kisaran pukul 00.00 ke bawah dan biasa dilakukan di tempat tempat yang sepi.
Bagaimana klitih bisa terjadi?
Klitih memiliki cukup banyak makna. Disebutkan, klitih berasal dari bahasa Jawa yang berarti aktivitas untuk mencari angin di luar rumah. Ada pula kata "klitih" diambil dari sebutan "Pasar Klitikan" Yogyakarta yang diartikan sebagai kegiatan santai sembari mencari barang bekas yang dalam bahasa Jawa berarti "klitikan". Pada mulanya klitih ini merupakan kegiatan positif yang menggambarkan kegiatan seseorang mengisi waktu luang. Namun seiring berjalannya waktu, kegiatan ini mulai dinilai negatif.
Fenomena klitih ini bermula pada awal tahun 1990-an ketika kepolisian mengumpulkan geng remaja di Yogyakarta. Menurut informasi yang ada, mereka diketahui melakukan tindak kejahatan. Setelah orde baru, Wali Kota Herry Zudianto mengancam para pelajar yang terlibat tawuran akan dikeluarkan dari sekolah. Dari hal itu, para pelajar kemudian berkeliling dan mencari musuh dengan cara berkeliling kota untuk melakukan aksi klitih.
Rusaknya pola relasi yang sehat bagi remaja
Pola relasi yang tidak sehat akan menjerumuskan anak ke dalam tindakan yang negatif. Tentunya tidak hanya dalam lingkungan eksternal melainkan juga dalam internal keluarga. Keluarga sebagai sosok utama dan pertama dekat dengan anak harus mampu membangun iklim yang sehat agar anak tidak terjerumus dalam hal negatif. Perlu dibangun relasi dan kepercayaan baik dari orang tua dan anak.
Selain itu, pola relasi yang ditumbuhkan oleh anak dengan teman-temannya. Tidak bisa dipungkiri bahwa diluar sana cukup banyak anak anak yang akhirnya terjerumus dalam hal-hal negatif karena pola relasi yang tumbuh disekitarnya. Salah satu hal yang paling dekat adalah dari teman. Ketika salah seorang remaja terjerumus dalam hal negatif, ketika dia tidak mampu mengontrol maka akan terus terjebak dalam lubang tersebut. Hal ini akan menjadi hal negatif dan menjadi habitus negatif bagi siswa tersebut. Hal ini juga didukung dengan sifat remaja yang labil dan mudah untuk dipengaruhi.
Upaya meminimalisir tindakan kriminal pada remaja