Berbagai media publik baik media sosial, media massa daring, media cetak dan media elektronik akhir-akhir ini banyak yang gencar memberitakan wabah Covid-19. Di sisi lain, publik terus mengikuti perkembangan dari Covid-19, bahkan tak jarang ada yang turut menyebarluaskan informasi yang didapat melalui akun media sosialnya masing-masing.
Boleh jadi ini merupakan bentuk kesadaran publik terhadap bahaya Covid-19 untuk saling berbagi informasi atau karena merasa peduli satu sama lain. Ada yang mengunggah melalui instagram, twitter, facebook atupun youtube, ada pula yang membuat status kemudian menyebarkan melalui aplikasi whatsapp ataupun grup media sosial.
Tak sedikit juga yang hanya menyebarkan saja status orang lain. Celakanya, tanpa melakukan verifikasi apakah informasi pada status yang dibagikan tersebut benar atau tidak. Banyaknya informasi yang berseliweran dari berbagai media membuat penyaringan apakah informasi yang beredar benar atau tidak menjadi agak sulit.
Memang agak mengherankan bagi sebagian orang, ketika di tengah pandemi masih saja ada orang yang mau menghabiskan waktu untuk menciptakan dan menyebarkan berita bohong atau hoaks seputar virus tersebut dengan tujuan dan motif yang beragam.
Media Sosial seharusnya dimanfaatkan untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan menyebarkan konten-konten positif. Namun sayangnya, tidak sedikit yang memanfaatkannya untuk menyebarkan informasi yang mengandung konten negatif dan berita bohong.
Hoaks sengaja dibuat untuk memengaruhi opini publik dan kian marak lantaran faktor stimulasi seperti Sosial Politik dan SARA. Hoaks ini juga muncul karena biasanya masyarakat menyukai sesuatu yang heboh.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI, setiap hari nya menemukan puluhan bahkan bisa ratusan kasus penyebaran hoaks terkait virus corona yang beredar di berbagai platform baik di facebook, instagram, twitter ataupun youtube.
Fenomena hoaks atau penyebaran berita bohong secara meluas dan berdampak besar bukanlah hal baru dalam sejarah manusia. Hal ini sudah terjadi sejak masa Nabi Adam AS. Ketika itu, Nabi Adam mendapat kabar bohong dari Iblis sehingga terusir dari surga.
Padahal menyebarkan atau meneruskan berita bohong atau hoaks masuk tindakan pidana dengan ancaman hukuman yang tidak ringan. Bisa dijerat pasal berlapis dengan UU yang berbeda.
Ancaman hukuman tersebut adalah UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pasal 45, dengan ancaman pidana 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.
Selain itu, juga ada Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan ancaman pidana 10 tahun penjara dan Pasal 16 UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. (*)