Kasus kekerasan terhadap jurnalis terus meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Menurut Aliansi Jurnalis Indonesia atau AJI, dalam tahun 2020 saja terdapat 84 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis di berbagai daerah di tanah air. Lalu dari LBH Pers menyatakan bahwa peningkatan kekerasan terhadap jurnalis meningkat 32 persen selama 2020, Â yaitu sampai menyentuh 117 kasus. Kasusnya pun beragam, mulai dari intimidasi, kekerasan fisik, perusakan, perampasan alat dan data hasil liputan hingga ancaman atau teror. Meski mendapat perlindungan dari UU Pers no.40 tahun 1999 yang dengan jelas mengatur mereka yang melakukan kekerasan terhadap wartawan atau menghalangi kerja jurnalistik harus dituntut secara pidana, jurnalis masih saja terancam akan bayang-bayang kekerasan ketika menjalankan tugasnya. Pelakunya pun beragam, didominasi oleh aparat kepolisian, disusul oleh warga, TNI, orang tidak dikenal, pejabat pemerintah, ormas, kader parpol, aparat pemerintah pusat, maupun akademisi.
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan terhadap jurnalis. seringkali terjadi karena ketakutan seorang narasumber terhadap informasi yang dibeberkan wartawan melalui media massanya. Bisa juga dikarenakan pihak-pihak yang beranggapan pemberitaan di media dapat merugikan kepentingannya atau kelompoknya. Ada juga pihak yang menganggap lembaga pers atau jurnalis dapat menyudutkan mereka sehingga menyebabkan pihak-pihak tersebut bertindak di luar aturan hukum dan perundang-undangan. Selain itu, terdapat pula faktor-faktor internal yang dapat mempengaruhi kekerasan terhadap jurnalis. Diantaranya ialah inkompetensi, pelanggaran berat etika jurnalistik, kualitas sumber daya manusia (tidak layak Standar perilaku), kecerobohan, terlalu percaya diri dan interaksi dengan media dan berita.
Kasus-kasus terbaru mengenai kekerasan teerhadap wartawan di paruh waktu awal tahun 2021 sendiri sudah banyak bermunculan. Diantaranya ialah kasus Nurhadi, seorang jurnalis Tempo yang mengalami penganiayaan saat melakukan reportase di Gedung Samudera Bimimoro pada 27 Maret lalu. Selain mengalami penganiayaan, pelaku juga merusak sim card milik Nurhadi dan menghapus seluruh data miliknya.
Tidak hanya itu, pada Rabu 21 April lalu, pemimpin Umum Tabloid Jubi Victor Mambor mengalami teror berupa perusakan pada mbobilnya dari orang tidak dikenal. Ia menyatakan bahwa ini merupakan rentetan dari sejumlah serangan terhadap Victor maupun Tabloid Jubi yang terjadi sebelumnya, mulai dari doxing dan konten digital yang menyudutkan, dan ancaman pemidanaan.
Dewan pers sendiri selalu mengutuk keras segala segala bentuk tindak kekerasan, intimidasi verbal dan perusakan alat kerja wartawan yang sedang melakukan kerja jurnalistik. Kekerasan merupakan sebuah tindak pidana dan dalam menjalankan tugasnya jurnalis telah mendapatkan perlindungan hukum yang sudah sangat jelas terdapat dalam Pasal 8 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Namun, sayangnya dari pasa 8 UU Nomor 40 Tahun 1999 ini ketentuannya bersifat represif (penindakan) tidak bersifat preventif (pencegahan), Seharusnya ada aturan pelaksanaan yang secara tegas memberikan jaminan perlindungan terhadap wartawan dalam arti yang preventif, yaitu yang dapat mencegah ataupun meminimalisir terjadinya tindak kekerasan atau pelanggaran hukum terhadap wartawan.
Kekerasan pada jurnalis yang kian marak terjadi menuntut media untuk lebih serius memperhatikan keamanan dan keselamatan jurnalis ketika bekerja. Ketika mengalami tindak kekerasan, pada umumnya jurnalis atau wartawan melakukan pelaporan pada badan atau organisasi wartawan baik itu PWI, AJI ataupun Dewan pers. Upaya yang dilakukan oleh instansi pers sebagai tempat wartawan bernaung sendiri adalah yaitu dengan melakukan pendampingan kepada wartawan yang mengalami tindak kekerasan saat melakukan pelaporan.
Solusi dari masalah ini ialah bagi para pelaku teror wajib untuk dihukum dengan sebagaimana mestinya sesuai dengan pasal 18 ayat (1) UU Pers No 40 Tahun 1999. Dewan Pers juga perlu membuat Satgas Anti-Kekerasan guna memastikan kepolisian mengusut kasus kekerasan terhadap kekerasan pada insan media. Perlunya pengusutan tuntas kasus-kasus kekerasan pada jurnalis yang selama ini luput dari pendataaan.
Perlu pula membangun budaya taat hukum bagi masyarakat sehingga perlindungan hukum terhadap wartawan dalam menjalankan profesi jurnalistik dapat dilakukan secara maksimal paling tidak dapat dihindarkan tindak kekerasan yang mengancam keselamatan jiwa wartawan dalam menjalankan tugasnya. Sebab, bagaimanapun perlindungan terhadap jurnalis merupakan aspek penting dalam kebebasan pers sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan kemerdekaan pers.
Ditulis Oleh  Mahdaniyah, Mahasiswi Ilmu Komunikasi - Universitas Muhammdiyah Malang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H