Duduk termenung dengan gerombolan pikiran yang kadang tidak karuan menjadi menu nalar kehidupan setiap hari. Tidak siang, tidak malam, ia datang silih berganti, seperti tidak ada baginya kata sepi.
Sesungguhnya dia hanya duduk sendiri. Tidak ada teman, tidak ada penganggu yang memecah interaksi dengan dirinya sendiri. Bercengkrama dari dalam hati dan pikiran adalah kesibukannya sehari-hari.
Itulah setitik gambaran tentang apa yang selalu dikerjakannya. Itulah yang membuatnya merasa menjadi manusia yang mengada.Â
Manusia yang tidak seperti mereka yang duduk dalam tampuk kuasa. Dia hanyalah orang tua biasa.
Dia menulis segala sesuatu yang ada. Dia menulis apa yang dilihat, apa yang didengar, apa yang diraba dan semua hal yang diolah melalui pancaindera. Tidak hanya itu, dia juga menulis semua yang diimpikan di saat tidurnya.
Kebohongan atau Kegagalan Pengetahuan
Untuk apa segala hal ditulis jika ternyata di sana sudah cukup ilmu pengetahuan yang bisa menjawab semua persoalan hidup di dunia ini. Tidak yakin, bahwa semua masalah hidup bisa diselesaikan dengan ilmu pengetahuan.
Jika tidak percaya, mari kita perhatikan di sekeliling kita. Berapa ribu sarjana, magister dan doktor dalam bidang ekonomi? Tetapi mengapa masih banyak ditemui orang yang kelaparan dan kekurangan.
Berapa tebal buku tentang politik? tetapi ternyata masih banyak peperangan dan pertikaian karena kekuasaan. Berapa hektar perpustakaan tentang ilmu pengetahuan? Tetapi masih saja ada kebodohan.
Itu bukan serangkaian gugatan terhadap kenyataan mandulnya pengetahuan manusia. Tetapi itu gambaran nyata bahwa ilmu pengetahuan tidaklah cukup untuk memuaskan semua orang dalam menyelesaikan masalah.
Pandangan demikian, bukan juga nihilisme yang menyepelekan nilai dari tiap upaya yang dilakukan orang. Tapi itu adalah kegagalan lainnya yang tidak semua manusia mampu menyelesaikannya dengan apa yang diketahuinya.