Makin tinggi seseorang menapaki jenjang pendidikan formal, makin sempit bidang keahlian yang dikuasainya. Walau demikian, katanya, sisi positif dari kenyataan tersebut adalah kepakaran dalam bidangnya makin diakui. Tampillah ia sebagai "ahli" bidang ilmu politik, ekonomi, agama atau ahli di bidang ilmu lainnya.
Tetapi, ada bahaya yang mengancam intelektualitas dari kepakaran dengan filosofi benteng seperti itu. Orang dengan kepakaran dalam bidang yang begitu sempit (tapi mendalam) itu, akan membuatnya teralienasi dari kenyataan dan keanekaragaman pengetahuan yang luas tak terhingga. Pengetahuannya justru akan membatasi penjelajahannya.
Sang pakar akan hidup dengan bayangan dan fokus paradigma sempit dari keahlian produk pendidikan formalnya. Ia terpojok oleh pengetahuan yang berpuluh tahun dipelajarinya. Misalnya, ketika ia ditanya komentarnya mengenai satu gejala, ia akan memasang benteng epistemologis dengan mengatakan: "maaf, itu bukan keahlian saya."
So what, ada apa dengan keahlian? Manusia hidup di dunia ini tidak harus selalu menjadi ahli dalam arti "pakar". Cukup manusia itu menjadi ahli dalam arti "mengetahui" dalam derajat dan kapasitasnya sendiri. Ahli dalam arti "ia ada dan hadir di sana". Ahli dalam arti bukan produksi terbatas lembaga pendidikan formal, tapi ahli dalam arti mau mengetahui dengan kebebasan berpikirnya.
Manusia tak harus menjadi "ahlinya ahli", "core of the core" (meminjam istilah Pak Ndul Wagu di Youtube) untuk menjawab masalah dan beropini. Karena, manusia punya hak juga untuk beropini sesuai keyakinannya, bukan sesuai pengetahuannya. Dan keyakinan tidak ada hubungannya dengan keahlian. Karena orang berkeyakinan tidak selalu harus punya argumen sesuai keahlian.
Misalnya, untuk memudahkan transportasi sehari-hari, orang awam cukup hanya sampai menguasai keterampilan jadi sopir. Dalam makna itulah sebenarnya kata "ahli" itu lebih berguna daripada kata "ahli" dalam arti "pakar". Dengan keahlian terbatasnya itu ia boleh beropini tentang transportasi, mobil, keterampilan dan opini lainnya.
Oleh karenanya, janganlah kata ahli, pakar, master, suhu didirtorsi maknanya sebagai seorang sosok yang dijejali, dicekoki oleh pengetahuan spesifik tertentu yang memenjarakannya dari bidang pengetahuan lainnya.
Kata ahli, pakar, master dan suhu lebih produktif dan enerjik jika menjadi label untuk kemampuan pemanfaatan akal sehat dan nalar sebagai sebuah perangkat, daripada sebagai produk pengetahuan dan pembelajaran dalam pendidikan formal. Kata-kata tersebut tidak boleh didistorsi dan "diperkosa" maknanya menjadi terbatas di dalam dinding bangunan lembaga pendidikan.
Singkat kata, keahlian dalam arti kepakaran pada dasarnya seperti pisau tajam di kedua sisinya. Sisi yang satu menajamkan bidang pengetahuan yang digelutinya, sisi lain mengasingkannya dari pengetahuan di luar keahliannya.
Jadilah "ahli" dalam arti "kau ada di sana" dengan kebebasan akal pikiranmu, bukan "ahli" dalam arti "kau jangan di sana" karena latarbelakang pendidikanmu.
***