Belakangan ini dunia medsos sempat dihebohkan oleh satu ungkapan yang merupakan ekspresi kekesalan dari seorang politisi. Kita tidak bisa memastikan apakah bentuk kekesalan tersebut sifatnya objektif atau subjektif. Tetapi ungkapannya seolah mencerminkan kondisi emosi seseorang mengenai sesuatu. Mungkin kita masih ingat dengan ungkapan tentang "mudik neraka".
Itu dia. Ungkapan yang sarat dengan muatan reaktif terhadap sesuatu. Terlepas dari benar apa tidak objek kekesalan tersebut, yang jelas dari sudut pandang publik, kalimat tersebut hampir saja atau bisa saja memancing reaksi. Salah satunya adalah laporan yang diadukan oleh seorang mahasiswa terhadap tokoh yang melemparkan ungkapan itu.
Sebagai bagian dari rakyat biasa, sepatutnya kita tidak mudah terpancing begitu saja dengan terseret ke dalam polemik yang tidak ada gunanya tersebut. Hal itu hanya akan menghabiskan energi massa rakyat Indonesia yang sudah cukup letih didera dengan beragam kenaikan harga seperti biasanya.
Namun demikian, kita juga boleh untuk mengomentari dari sudut pandang lain yang tidak harus diartikan sebagai hujatan atau sikap yang membuat suasana jadi tambah suram. Setidaknya kita bisa sekedar mengambil hikmah dan pelajaran dari kejadian tersebut.
Popularitas Bukan Segalanya
Hikmah pertama adalah urusan popularitas. Jika dilihat dari sisi tujuan mencapai popularitas, maka kita akan lebih elegan apabila berusaha menghindari bentuk popularitas yang sengaja atau tidak, bisa mencederai perasaan etis masyarakat. Menjadi populer boleh saja tetapi tidak harus dengan cara "mengorbankan" ketenangan yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Masyarakat tidak perlu dihebohkan oleh pancingan-pancingan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak pantas, hanya untuk membangunkan opini mereka. Masyarakat Indonesia sudah cukup pintar untuk bisa membaca dan menilai apa yang sekiranya layak menjadi populer secara positif konstruktif dan apa yang sebaliknya.
Ada sebuah pepatah Arab yang berbunyi: "kencingi saja sumur zamzam, niscaya Anda menjadi populer" yang dalam Bahasa Arabnya berbunyi "bul 'ala zamzam fatu'raf". Pepatah yang bernada sindiran tersebut sangat tepat untuk membaca upaya-upaya mencari popularitas dengan hal-hal yang "nyeleneh".
Tetapi kadar etika seseorang pasti akan bereaksi ketika melihat popularitas yang diperoleh dengan cara "nyeleneh" tadi. Beragam argumen akan muncul untuk menolak hal-hal yang dianggap sebagai menyimpang dari kelaziman tersebut. Standar yang digunakan bisa berupa pendekatan hukum positif atau sekedar pendekatan etis dan moral.
Apa pun pendekatan yang muncul dalam mereaksi atau merespons satu kejadian yang janggal, hal itu menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara rasa yang berkembang di masyarakat dengan kejadian yang terlanjur diketahui publik. Di sini barangkali gap tercipta secara tidak disengaja atau memang disengaja. Sehingga gap tersebut bisa menjadi salah satu problem harmoni di tengah-tengah masyarakat.
Oleh karenanya, mempopulerkan diri dengan ungkapan atau tindakan yang "nyeleneh" amat rentan dengan risiko penolakan dan bahkan hujatan publik. Sekiranya tidak siap dengan hujatan tersebut, maka tidak perlu mencoba-coba menempuh strategi demikian untuk mengejar popularitas. Popularitas bukan segala-galanya dalam hidup ini.