Sebagian kalangan heboh dalam beberapa hari ini mengenai UU MD3. kehebohan ini terutama dalam tiga hal; imunitas anggota DPR, DPR bisa memaksa siapa saja untuk menghadirkan institusi atau perorangan ke dalam rapat dan persidangannya dan tentang akibat hukum yang akan timbul karena menghina DPR atau anggota DPR.
Reaksi ini wajar saja terjadi. Masyarakat selalu menanggapi hal-hal yang baru di dalam dua kutub berbeda. Ada yang pro dan ada yang kontra. Sama-sama keduanya punya argumen.
Salah satu hal menarik terkait dengan UUD MD3 ini menurut saya adalah pasal tentang seseorang atau institusi bisa diperkarakan apabila ditengarai menghina atau melecehkan DPR atau anggotanya.
Polemik ini kemudian mengandung beragam tafsir. Ada yang mengatakan DPR anti kritik, ada yang mengatakan DPR membunuh demokrasi, ada yang mengatakan DPR menjadi super body yang tidak bisa salah.
***
Menurut satu media massa online (Viva, 12,14/02/2018), Fadli Zon selaku Wakil Ketua DPR mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kandungan pasal mengenai penghinaan DPR atau anggotanya itu adalah kriminalisasi terhadap fungsi DPR sebagai lembaga dalam mengkritisi pemerintah.
Kata kuncinya adalah kriminalisasi tupoksi DPR. Jadi bukan berarti DPR anti kritik namun jangan melakukan kriminalisasi terhadap tugas dan tanggung jawab DPR sebagai lembaga yang mengontrol pemerintah.
Kriminalisasi itu apa? Menurut KBBI kata itu berarti "proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat."
Berarti ketika anggota DPR melakukan fungsi kritis terhadap pemerintah, maka jangan sampai hal tersebut diopinikan dan diolah sedemikian rupa menjadi seperti tindakan yang bermuatan kriminal kepada pemerintah. Hal itu sudah merupakan upaya kriminalisasi terhadap anggota DPR yang sedang menjalankan tugasnya.
Misalnya saja, ketika DPR atau anggota DPR mengkritisi kebijakan dan kinerja Jokowi, itu tidak boleh dinilai sebagai tindakan selain melakukan kritik terhadap Jokowi. Ini disebabkan karena yang bersangkutan sedang melakukan fungsi kritis dan kontrol terhadap pemerintah.
Barangkali demikian alur logikanya. Jadi terkesan ada satu upaya untuk lebih menguatkan dan membuat DPR leluasa dalam rangka mengkritisi kinerja pemerintah. Intinya di sana. Jangan sampai tupoksi DPR sebagai "tukang kritik" terhadap pemerintah dikriminalisasi oleh institusi atau perorangan.