Kak...kok...kak...kok..kuang..kong..kung..kong, atau apa pun bunyi kodok yang sering kita dengar. Kita mendengarnya di siang hari atau di malam hari. Kita mendengar di samping rumah, di pinggir kali atau di sawah. Tetapi bunyi itu hanya sering kita dengar ketika musim hujan.
Sangat amat jarang kita mendengar kodok bernyanyi di musim kemarau. Paling-paling kita mendengarkan nyanyian tersebut ketika membuka Youtube atau rekaman lagu anak tentang kodok. Begitulah adanya dan kenyataannya dari Sang Kodok.
Kodok adalah makhluk amfibi. Dia bisa hidup di darat atau di air. Tuhan telah membuatnya demikian. Tidak peduli hujan atau kemarau, sifat kodok tetap Istiqomah dan konsisten seperti demikian.
Kodok dan Kejujuran Berterima Kasih
Di saat musim kemarau, kodok tidak banyak berbunyi. Ia diam menghayati dan merenungi kemarau panjang. Ia tidak protes atau melakukan salat meminta hujan. Baginya, pergantian musim sudah amat dimengerti dan dihayati.
Keadaan demikian tidak membuatnya mengeluh untuk terus melompat ke sana kemari mencari makan. Lompatan yang akan membuatnya tetap bisa bertahan dan melanjutkan kehidupan. Istimewanya kodok ini seakan tidak pernah lelah untuk melompat.
Ketika musim hujan tiba, kodok tahu diri terhadap penciptanya. Sesegera dia mengucapkan terima kasih dengan bahasa yang dikuasainya; bahasa kodok tentunya. Berdengunglah suara kodok hampir di setiap sudut tanah yang basah terkena air hujan.
Mereka bergembira ria menyanyi tak kenal lelah. Mengucapkan rasa syukur atas hujan dan berkah air melimpah. Sesekali mereka diam untuk mengumpulkan tenaga dalam rangka melanjutkan pujian-pujian kepada Tuhan.
Manusia tidak harus sombong jika merasa diri banyak zikir di masjid atau wiridan setelah sembahyang. Manusia terkadang harus ada undangan pengajian jika ia mau hadir. Manusia terkadang harus ada amplop jika dia ingin bertausiyah dalam pengajian.
Tidak demikian halnya dengan kodok. Tidak ada undangan tidak menjadi masalah untuknya mengumandangkan pengajian ala kodok. Tidak ada amplop tidak menjadi masalah baginya untuk naik ke mimbar pematang sawah dalam rangka memimpin pujian kepada Tuhannya.
Kodok tidak terikat dengan kepentingan ekonomi, jabatan atau popularitas dalam menjalankan peranannya sebagai makhluk Tuhan. Makhluk dengan segala sifat, perilaku dan nilai-nilai kekodokan.
Intinya di masa sulit musim kemarau, kodok bersabar diam dan tidak melakukan demonstrasi kepada Tuhan menuntut turunnya hujan. Tetapi di saat makanan dan air melimpah di musim hujan, kodok tidak berlebihan atau ogah-ogahan untuk mengucapkan nyanyian dan zikir-zikir pujian.
Kodok dan Lompatan Kuantum
Saya belum pernah melihat kodok selamanya berjalan lemah gemulai. Kaum kodok selalu melompat jika mereka ingin berpindah tempat. Mengerahkan energi dan tenaga secara optimal untuk melangkah ke target dan tujuannya.
Jika kita melihat kodok berjalan santai sambil mendendangkan musik, mungkin itu sesekali saja. Itu bukan merupakan tabiat dan karakter kodok. Kodok selalu hidup penuh semangat untuk melompat bukan berjalan lunglai.
Kodok tidak menghiraukan seberapa jauh dia bisa melompat. Tidak ada desain perencanaan ketika dia hendak meloncat. Pokoknya melompat saja. Urusan apakah nanti akan terperosok ke got atau terpelintir ke kali, tidak pernah mereka pikirkan.
Beda halnya dengan manusia. Kekhawatiran melangkah menuju target dan tujuannya sering malah membuatnya terdiam. Hanya membayangkan saja situasi dan keadaan di sana jika dia berhasil melangkahkan kakinya. Tetapi yang bersangkutan tetap terdiam.
Kehati-hatian yang berlebihan pada akhirnya membuatnya tidak bergerak ke mana-mana. Terkungkung dengan keinginan dan terpenjara dengan keengganan dan kekhawatiran yang diciptakannya merupakan akibat yang diterimanya.
Padahal manusia di samping dibekali dengan kaki dan tangan untuk melompat lebih jauh menuju harapannya, manusia dibekali dengan otak dan pikiran untuk menciptakan beragam peralatan penunjangnya. Tetapi kenapa terkadang manusia terus saja terdiam dalam satu keadaan?
Pernahkah kita melihat kodok memakai sepatu roda atau sepeda untuk mempercepat langkah dan lompatannya? Mereka cukup menggunakan kaki-kakinya saja untuk mengejar tujuannya.
Mereka tidak dibekali oleh Tuhan akal pikiran untuk mengubah benda-benda di sekitarnya menjadi alat bantu melompat. Alat bantu yang bisa mempercepat dan meninggikan lompatannya. Mereka menerima apa adanya pemberian Tuhan sembari memanfaatkannya sebaik mungkin.
***
Begitulah kodok yang kita ketahui dalam kehidupan sehari-hari. Satu jenis makhluk ciptaan Tuhan yang kecil mungil tetapi sarat dengan sabda dan firman kebenaran. Kebenaran yang bisa diteladani manusia dalam menjalani kehidupannya.
Sekarang kita mungkin menyadari, mengapa keluarga Presiden Jokowi amat suka memelihara kodok dan anak kodok (kecebong) di pekarangan rumahnya bahkan mungkin di istananya. Melalui tradisi memelihara kodok ini, mungkin dia mendapatkan hikmah dan pelajaran.
Bahkan saking populernya fenomena kodok yang melekat pada keluarga Presiden Jokowi, publik dan masyarakat Indonesia memiliki sebutan tersendiri bagi para pendukungnya; kecebongers. Sebuah sebutan yang sebenarnya tidak mencerminkan kodok itu sendiri. Namun ia merupakan sebutan untuk generasi muda kodok yang akan menjadi kodok sejati di masa depan.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H