Sekarang ini, ketegasan menjadi oposisi itu seolah menjadi kabur antara ruang pribadi dan ruang kebijakan publik. Suara-suara yang keluar dari mereka dinilai tidak ada kaitannya dengan kepentingan masyarakat. Suara yang hanya mewakili kegalauan atau kegundahan pribadi atau golongannya.
Kekaburan ini ditandai dengan seringnya keluar pernyataan-pernyataan dari seseorang atau kelompok yang terkesan "menyerang" tindakan pribadi yang dilakukan oleh kelompok yang berkuasa. Pernyataan di atas hanyalah merupakan satu dari sekian banyak ungkapan kritis dari oposisi terhadap lawan politiknya yang tidak pada tempatnya.
Membandingkan pernyataan seorang tokoh politik wakil rakyat di atas terhadap "lawan politiknya" dengan pemahaman yang sebenarnya mengenai oposisi ini rasa-rasanya sangat tidak sejalan. Pemahaman yang pada mulanya berkisar di dalam bingkai-bingkai kebijakan publik dipaksa menjadi berada atau termasuk di dalam ruang pribadi.
Ada orang yang menikahkan keluarganya yang kebetulan sebagai penjabat publik, dikritisi. Ada orang menjadi imam salat sebagai salah satu bentuk ketaatannya kepada Tuhannya berdasarkan keyakinan yang dipegangnya dikritisi. Kritikan-kritikan itu jika dinilai sebenarnya sudah menyimpang dari kemestiannya sebagai wakil rakyat.
Dari sudut pandang dan kacamata rakyat biasa, hal ini sangat tidak etis dan tidak kondusif dalam menciptakan suasana sejuk dan menentramkan. Rakyat sebenarnya harus dididik untuk bisa berdemokrasi dan berpolitik secara baik dan etik, bukan dididik dengan cara-cara yang tidak simpatik.
Fakta "pernyataan kritis" di atas tidak perlu dibawa ke dalam urusan yang lebih rumit praktik pengamalan keyakinan dan kepercayaan seseorang. Pernyataan tersebut cukup di letakkan sebagai masalah dalam kerangka sikap seseorang yang katanya mewakili sebagian rakyat Indonesia.
Sikap Kritis atau Relativisme?
Seseorang yang meletakkan dirinya di arah yang berlawanan dengan orang lain dalam konteks bernegara dan berbangsa, boleh saja bahkan harus mengkritisi pihak yang dianggapnya berseberangan. Itu juga yang diharapkan oleh rakyat pemilihnya.
Rakyat menitipkan kepercayaan kepada orang-orang yang secara kualitas dianggap lebih baik darinya. Rakyat mencoblos gambar seseorang untuk dijadikan wakil dalam mengawasi dan membawa aspirasinya ke panggung politik itu kepada mereka yang diyakini konsisten dengan amanat dan aspirasinya.
Rakyat mempercayakan mandat dan keterwakilannya kepada seseorang itu bukan dalam ranah-ranah yang terkait dengan masalah-masalah pribadi. Namun mereka mewakilkan mandat tersebut dalam ranah kepentingan bersama dan kepentingan umum. Urusan pribadi yang bersangkutan sebenarnya tidak dalam porsinya untuk dibicarakan.
Betapa naif rasanya seorang yang duduk mewakili rakyat dalam urusan-urusan politik harus begitu jauh bersikap reaktif terhadap lawan politiknya. Seolah-olah tidak mampu lagi untuk membedakan perannya sebagai wakil rakyat dan sebagai pribadi yang memiliki "masalah" dengan orang yang dikritiknya.