Dengan akal pikiran, manusia bisa "menjadi ada" dan "ada yang menjadi" di tengah-tengah kehidupan. Menjadi ada hanyalah berwujud di dunia ini tanpa ada karya dan kreasi. Sedangkan ada yang menjadi adalah gerak dinamis yang dimotori oleh kreativitas dan imajinasi positif yang berasal dari pemikiran dan rasio. Manusia tidak hanya cukup "meng-ada" di dunia ini, tetapi juga harus "menjadi".
Untuk bisa mengubah manusia dari "ada" ke tahap "menjadi", diperlukan beragam perangkat, sarana prasarana dan pranata. Akal dan pikiran adalah perangkat bawaan yang sudah melekat sejak kita lahir. Itu saja tidak cukup, pendidikan adalah salah satu pranata sosial yang berfungsi untuk mempercepat proses transformasi manusia agar bisa "menjadi". Menjadi lebih baik menjadi lebih etis dan menjadi lebih pintar tentunya.
Dalam proses yang dinamis untuk "menjadi" itulah peranan teknologi, modernisme dan tradisi amatlah penting. Ketiganya haruslah berjalan beriringan tanpa ada yang lebih berat antara satu dengan yang lainnya. Tanpa dukungan teknologi, hidup manusia hanya akan seperti zaman pra-sejarah dengan tingkat kemampuan teknis yang rendah. Tidak ada efisiensi, tidak ada efektivitas baik dalam waktu atau dalam pekerjaan.
Sedangkan tanpa tradisi, maka manusia hanya akan menjadi homogen sebagai hasil dari bentukan modernisme dan teknologi. Tidak akan ada keragaman budaya dan adat kebiasaan di antara manusia. Hidup menjadi sangat membosankan meskipun amat berkemajuan. Memasrahkan diri kepada hasil-hasil modernisme dan teknologi hanya akan membuat foto copy dari manusia-manusia yang mekanistik dan robotik.
Belakangan bahkan muncul arus teknologi yang dikenal sebagai artificial  intelligence (AI). Kecerdasan buatan yang sedang menuju ke arah menggantikan kecerdasan manusia. Tidak mengherankan jikalau seorang ilmuwan sekelas  Stephen Hawking mengkhawatirkan dampak dari AI ini. Kekhawatiran di mana AI akan menggantikan peranan manusia di masa datang.
Oleh karena itu, maka upaya kita untuk mengawinkan antara teknologi modern, tradisi dan pikiran merupakan salah satu cara bagaimana kita sebagai manusia tidak terperosok menjadi manusia mekanistik dan robotik yang sekedar "mengada". Tetapi dengan perkawinan tersebut, kita bisa menuju ke arah untuk bertransformasi dari sekedar "mengada" ke tahap "menjadi". Hanya dengan cara "menjadi" itulah manusia bisa terbebas dari cengkeraman teknologi dan dapat memfungsikan tradisi sebagai identitas diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H