Muda, agamis, populis, intelek bahkan milenial bercita rasa "generasi anak zaman now". Demikian menurut sebagian media ketika menyebut kualitas, citra dan kapabilitas calon pendamping Gubernur Jawa Tengah pilihan PDI-P dalam kontestasi Pilkada di wilayah tersebut. Dia adalah Taj Yasin, putera seorang tokoh masyarakat dan Kyai kharismatik panutan umat KH Maimoen Zubair, yang secara resmi dipinang oleh PDI-P untuk memperkuat dan melanjutkan kiprah politik partainya di Jawa Tengah.Â
Ini seolah menjadi sebuah "pertunangan ideal" masa depan yang diharapkan bisa mewakili dua kelompok besar lapisan aspirasi yang berasal dari kalangan nasionalis dan kalangan agamis termasuk kaum muda religius di Jawa Tengah tanpa kita melihat latar belakang kiprah politik Taj Yasin sebelumnya di PPP. Kelompok yang secara historis sama-sama ikut memperjuangkan kemerdekaan di masa pergerakan dulu. Peristiwa ini seolah membangkitkan suasana nostalgia romantis ketika para pejuang kemerdekaan generasi tua dan generasi muda bersatu padu pada masa lalu tanpa memandang ideologi politik yang mereka usung yang akan berpotensi mengganggu cita-cita kemerdekaan. Demikianlah gambaran seperti yang diekspresikan oleh Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri.
Memasuki zaman generasi milenial seperti sekarang ini, tentunya partai-partai politik termasuk PDI-P mulai menyadari signifikansi perolehan suara dari kalangan generasi muda yang telah semakin tercerahkan dalam segala hal oleh adanya laju perkembangan dunia informasi. Generasi muda sekarang memang lebih cepat tumbuh dewasa dalam segala hal termasuk dalam menyuarakan aspirasi politiknya.Â
Tidak ada lagi sekat yang menghalangi dalam interaksi mereka dengan "golongan sepuh" atau pun interaksi mereka dengan kalangan muda sesama mereka. Wawasan politik, melek kebangsaan dan nasionalisme generasi muda di satu daerah akan mudah menular ke daerah yang lainnya, secepat jari-jari menyentuh tombol-tombol huruf yang mereka tuliskan di media sosial. Send, tweet, post, upload atau bahasa dan istilah lainnya yang dalam sekejap mata akan mengirimkan ide, pemikiran dan aspirasi dari setiap orang yang kemudian dalam hitungan detik pula merasuk ke dalam benak pikiran dan perasaan masing-masing mereka di mana pun mereka berada.
Kecerdasan politik kaum muda masa kini telah mendapatkan independensinya dari pengaruh kecerdasan politik kaum tua yang pada masa lalu mungkin masih mendominasi terutama di ranah-ranah publik di luar tembok gedung-gedung yang merupakan simbol kekuasaan politik. Lihat saja, dalam setiap aksi-aksi demonstrasi yang terjadi di beberapa daerah bahkan di tingkat nasional sekalipun, kaum muda sekarang ini sudah menjadi motor penggerak aksi-aksi yang tanpa merasa malu atau takut, bersuara lantang menyuarakan apa yang menjadi tuntutannya.Â
Bahwa pendidikan politik generasi muda zaman sekarang tidak lagi di dapatkan di tempat-tempat pendidikan formal semata-mata yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membuat mereka menjadi melek politik. Melalui berbagai media sosial yang semakin efektif dan efisien dalam mentransmisikan beragam informasi, mereka memperoleh pengetahuan dan pendidikan politik secara gratis. Mereka aktif juga memberikan respon dan melakukan reaksi baik itu positif atau negatif terhadap hampir setiap peristiwa politik yang terjadi di sekeliling mereka bahkan peristiwa politik yang ada di belahan bumi nun jauh di sana sekalipun yang tidak ada hubungannya dengan kondisi politik di dalam negeri.
Mengaitkan fenomena seperti di atas dengan rencana Pilkada di Jawa Tengah, barangkali inilah salah satu alasan mengapa PDI-P lebih memilih seorang figur politisi muda berusia 34 tahun sebagai calon mitra yang akan menjadi co-pilot dari "generasi tua" sang petahana yang sekarang masih duduk sebagai pimpinan di wilayah tersebut. Secara analisa serampangan, Ini bukan semata-mata penilaian dan penentuan calon pendamping yang bermotifkan "politik agama" atau membangkitkan romantisme sejarah tentang hubungan baik antara golongan nasionalis dan agamis pada masa lalu.Â
Ini adalah satu "manuver marketing politik" cerdas yang di dalamnya tersirat kesadaran akan adanya pengaruh kuat generasi muda di Jawa Tengah dalam penentuan masa depan PDI-P di sana. Generasi muda terutama golongan "santri milenial", pasti akan memiliki kecenderungan dan kecondongan hati ketika melihat Taj Yasin sebagai calon pemimpin mereka. Potensi kedekatan emosional generasi muda dari golongan santri di Jawa Tengah yang berdasarkan pada kesamaan identitas keagamaan inilah yang bisa saja diprediksi akan mampu mendulang suara emas pada saatnya nanti.
Mengapa demikian? Jika hanya mempertimbangkan motif-motif sosial keagamaan seperti selama ini menjadi "dagangan basi" di kalangan politisi di negeri ini, tentunya Jawa Tengah tidaklah kekurangan sosok-sosok calon pemimpin yang "lebih berumur" dan lebih matang dalam kiprahnya malang melintang di dunia politik. Tetapi sekali lagi, tampaknya telah terjadi peningkatan kesadaran, bahwa bukan hanya latar belakang sentimen sosial keagamaan saja yang bisa menjadi "umpan hati" untuk memenangkan pertarungan dalam pemilihan kepala daerah, namun juga style, profil generasi, dan citra budaya generasi milenial telah menjadi salah satu aspek penting yang patut untuk diperhitungkan.Â
Terkait citra ini, ingat saja dulu bagaimana Jokowi terpilih menjadi presiden dengan membawa citra diri yang selama ini belum pernah muncul pada sosok-sosok pimpinan negeri ini sebelumnya; merakyat, sederhana, tanpa sekat, populis atau citra diri lainnya yang sebelumnya tidak melekat pada calon-calon pimpinan yang dipertarungkan. Maka terjadilah peristiwa mengejutkan di mana seorang tokoh lokal yang selama ini tidak pernah terdengar gaungnya di pentas politik nasional, tiba-tiba menjadi pimpinan negeri ini setelah "uji coba" yang tidak selesai ketika menjadi gubernur DKI Jakarta. Momen yang tepat, sosok yang tepat, strategi politik yang tepat pada akhirnya mengantarkan PDI-P menjadi partai pemenang dan pengusung pimpinan negeri ini.
Jika disimpulkan, pada masa kebangkitan PDI-P, Jawa Tengah adalah basis konstituen nasional dan "markas pemilih" terbesar bagi PDI-P. Pada masa penyebaran Islam di Jawa masa  lalu, Jawa Tengah adalah wilayah di mana pusat-pusat kekuasaan Islam berada yang dibentuk oleh Walisongo. Kemudian, pada zaman milenial sekarang ini, Jawa Tengah juga merupakan tempat di mana anak muda melek politik berada dan saling terhubung dengan generasi muda di daerah lain bahkan di dunia berkat kemajuan era informasi dan era digital yang diimplementasikan dalam segala aspek kehidupan mereka.Â