Aku seorang murid SMA tahun akhir di sebuah SMA swasta DKI Jakarta. Di sini, aku akan mencoba mewakili suara murid-murid yang terdampak pandemi COVID-19 sehingga harus melaksanakan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh).
Sejak dirumahkannya siswa sekolah pada semua tingkat di DKI Jakarta pada 16 Maret lalu, pembelajaran digelar secara PJJ. Awalnya kami kira pembelajaran melalui PJJ ini akan berlangsung hanya dalam waktu 2 minggu. Awalnya kami mengira keadaan akan kembali seperti semula 2 minggu kemudian. Kami optimis bahwa dalam 2 minggu, kami akan kembali sekolah
Waktu itu kami sangat naif, sangat polos, dan bodoh. Tiada harap-harap cemas yang muncul pada saat itu. Kami tidak mengira "libur" 2 minggu itu akan berlanjut dan menjadi "libur kronis" yang bertahan lebih dari 1 semester.
Kami tidak mengira bahwa realita dan keadaan yang dulu kami nikmati dapat hilang dalam sekejap.
Pembelajaran Jarak Jauh yang hingga kini kami jalani tentu tidak seefektif metode pembelajaran tatap muka. Sekolah kini kami lakukan dari rumah masing-masing.Â
Pembelajaran kami jalankan dari kamar masing-masing. Semua tugas dari sekolah pun menjadi PR (Pekerjaan Rumah). Pelajaran yang disampaikan lewat aplikasi video conference dan video pembelajaran online tidak seperti pembelajaran tatap muka.
Ketika pembelajaran tatap muka, kami dibimbing langsung oleh guru-guru dalam mengerjakan tugas yang mereka berikan. Tidak jarang mereka menghampiri kami di tempat duduk masing-masing untuk memastikan ilmu yang Ia sampaikan kami peroleh dan kami pahami dengan baik.
Kemewahan itu hilang dari genggaman kami sekarang.
Sekarang, kami harus lebih siap menerima pelajaran yang disampaikan. Kami harus berinisiatif dalam belajar. Kami harus belajar mengontrol diri untuk tidak bermain-main selama proses pembelajaran.Â
Karena, sebelumnya kami pasti mendapatkan pengawasan langsung dari guru-guru kami yang konsisten untuk selalu mengingatkan kami di waktu pembelajaran. Kami harus lebih antisipatif mengenai tugas-tugas dan deadline yang diberikan guru kami.