Sesekali saya melempar guyonan kepada mahasiswa di sebelah yang ikut ngumpul. Beberapa yang lain, terutama mahasiswa "veteran" (semester lawas) datang menghampiri sekedar salim dan basa basi menanyakan kabar.
Awalnya situasi masih wajar, lalu berubah riuh setelah secara tiba-tiba salah seorang mahasiswa memutar lagu "genjer-genjer".
Kontan saja hal tersebut menimbulkan kegaduhan. Namun justru dari kegaduhan itulah diskusi singkat saya dengan beberapa mahasiswa di lokasi ratam berlangsung hingga pagi dan mengilhami tulisan ini.
Di masa Orde Baru, lagu genjer-genjer diasosiasikan dengan Partai Komuis Indonesia dan menjadi musuh bersama yang harus dilenyapkan atas sebuah jargon politik yang mereka bangun sendiri, yakni "bahaya laten komunis".
Saya mewanti mahasiswa bersangkutan agar berhati-hati memutar lagu itu di ruang publik.
Sebab, meski hari ini kita telah berada di jaman reformasi, tetapi manusia yang hadir sekarang masih tetap mewarisi mentalitas Orde Baru, termasuk pengkultusan bahaya laten komunisme.
Akibatnya akan mudah timbul gesekan-gesekan di dalam masyarakat. Pun demikian dengan ajaran-ajaran "kiri" yang telah dilucuti itu perlahan kehilangan panggungnya dalam memori kolektif bangsa.
Dunia pendidikan Indonesia kontemporer khususnya masih tetap mentabukan ajaran "kiri" seperti Marxisme (moyangnya komunis) di ruang-ruang kelas. Khususnya di dunia kampus yang regimeof truth nya adalah pendidikan, ajaran-ajaran Marx diharamkan.
Jangankan mengajar Marx, sastrawan Lekra yang karyanya melegenda seperti Pramoedya Ananta Toer saja jarang disebut. Alih-alih mempopulerkan Tetralogi Pulau Buru yang tersohor itu, mahasiswa saya lebih fasih dengan pemikiran Tere Liye dan Raditya Dika ketimbang Pramoedya. Â Â
Kemenduaan sikap dunia pendidikan kita ketika dihadapakan pada marxisme via literatur kiri mendapat sindiran keras dari Max Lane, seorang Indonesianis yang menaruh minat akademis khusus mempelajari Indonesia, dalam sebuah acara peluncuran bukunya, "Indonesia Tidak Hadir di Bumi Indonesia" (suara.com tertanggal 2 Juli 2018), bertempat di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Ia menyatakan bahwa banyak sarjana maupun kaum muda Indonesia yang fasih berbicara sejarah pemikiran Yunani Kuno hingga Eropa modern.
Namun, ketika membicarakan sejarah bangsanya sendiri, mereka "gagap" atau cuma mengikuti teks-teks historis maupun sastra arus utama sehingga gagal mengenali negerinya sendiri.