Mentalitas seperti ini hanya mungkin tetap bertahan pada masyarakat yang telah sekian lama hidup dalam politik hipokrit konservatif permisif seperti yang tergambar pada kondisi masyarakat Indonesia era Orde Baru. Kasus penemuan fasilitas mewah bagi para terpidana koruptor di Lapas Sukamiskin dan adanya jalan yang lapang bagi mantan koruptor untuk mengajukan dirinya kembali sebagai anggota legislatif menjadi bukti bahwa mentalitas penyimpangan toleransi seperti ini masih sangat kuat pengaruhnya pada pola pikir sebagain besar masyarakat Indonesia.
Keempat, politisasi berbalut wajah agama. Tindakan intoleransi dalam bentuk kekerasan SARA merupakan warisan politisasi negara Orde Baru. Dalam bidang agama, sikap intoleran merupakan buah dari politisasi negara terhadap pelabelan "agama resmi" dan "agama tidak resmi" (baca : airan kepercayaan). Politisasi agama oleh negara diwujudkan dalam persekutuan untuk menghasilkan politik koersif, membredel aliran, sekte, dan bahkan buku-buku yang dianggap "sesat" dan "liar". Â Dalam perspektif teori konspirasi, Â negara berperan sebagai invisiblehand, dilakukan dalam bentuk yang lebih lunak dan kasat mata. Negara tidak lagi bertindak keras, melainkan diperankan oleh sekelompok massa tertentu.
Kelima, agama dipahami sebatas teks. Agama yang mengajarkan setiap manusia untuk berbuat santun dan jujur dan saling menghargai berakhir sebatas "mantra" teks yang gaungnya mengendap  di gedung-gedung sekolah dan pemerintah. Mantra-mantra itu segera menjadi mitos tanpa adanya aktualisasi nyata para penganutnya. Sebagian penganut agama pada kenyataannya  masih terjebak dalam pola dogmatik sehingga tidak semakin cerdas memaknai semantika keagamaan. Kebenaran dimaknai sekadar "teks" dan melupakan "konteks". Hasilnya, praktik  keagamaan menjadi serba kaku. Kebenaran pun menjadi serba tekstual dan tunggal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H