Orang Bali sering kali dianggap manusia yang sangat religius. Penilaian ini wajar mengingat bahwa orang Bali memiliki banyak tempat ibadah seperti pura sehingga Bali disebut "pulau seribu pura". Begitu pula intensitas ritualnya sangat tinggi sehingga dikatakan  kehidupan orang Bali tiada hari tanpa ritual. Kereligiusan ini menandakan orang Bali memiliki spiritualitas agama yang tinggi.Â
Meski demikian, beberapa fenomena sosial yang berkaitan dengan kasus pengerusakan alam berlabel pariwisata satu dekade belakangan ini membuat tagline "manusia Bali sangat religius dan spiritualis" perlu dikaji kembali. Â Tidak semata-mata karena spiritualitas manusia selalu mengalami perubahan, tetapi juga karena ia berkaitan erat dengan dengan agama dan pencarian kepuasan psikis. disorientasi tersebut nampak dari adanya pergeseran mental orang Bali dari teosofistik ke teknosofistik, lalu berlanjut ke libidosofistik.Â
Gambaran masyarakat Bali yang teosofistik dapat kita lihat pada akhir abad XIX dan awal XX melalui tulisan para pelancong Barat. Jan Poortenaar dalam laporan perjalanannya menyatakan bahwa "agama yang indah ada di Bali. Mereka yang suka keluyuran di Bali akan menemukan rumah kecil untuk para dewa di berbagai tempat". Louis Copernicus (1863-1923), seorang novelis yang terkenal berkat karyanya de Stille Kracht menceritakan bahwa "di Bali segalanya adalah seni. Berbeda dengan Surabaya, kota kelam yang angkuh dan materialistik, Bali adalah sebuah syair Asia yang tiap baitnya terdengar sangat indah dan berwarna". Gregor Krause yang bercerita tentang pesona tanah Dewata menyatakan bahwa masyarakat desa bekerja dan mengelola tanah, tetapi para dewa-lah pemiliknya. Ini merupakan ungkapan betapa besar rasa hormat mereka terhadap alam sekitar yang agung dan betapa kuat kesederhanaan manusia yang taat beragama".
Pada sisi yang lain, mentalitas teknosofistik merupakan transisi menuju masyarakat libidosofistik yang ditandai oleh persinggungan Bali dengan modernitas Barat yang dimulai sejak abad XVII. Titik kulminasi sentuhan Barat terhadap Bali terjadi sejak dekade pertama abad XX yang dimulai dengan penerapan kebijakan politik "Baliseering". Ledakan pariwisata Bali sejak era 1980-an menambah intensitas persentuhan Bali dengan dunia global. Â Neoliberalisme yang bersembunyi di balik wajah pariwisata berintikan pada konsumerisme, materialisme dan moneytheisme memiliki pengaruh yang kuat. Diseminasi Neoliberalisme tidak saja dilakukan melalui tekologi komunikasi dan media, tetapi juga teknologi komputer dan transportasi, sehingga jarak dan keruangan menjadi sempit. Globalisasi mengakibatkan Indonesia termasuk Bali menjadi bagian integral dari Kampung Global (global village) sehingga internalisasi berbagai gagasan global tidak terhindarkan.
Neoliberalisme yang menyatu dengan globalisasi mengakibatkan masyarakat Bali mengalami perubahan dari masyarakat tradisional (pra-modern) ke masyarakat modern (pos-modern). Ia menjadikan homoeconomicus sebagai status ontologi manusia, sedangkan epistimologinya adalah homo consumenicus. Seluruh bidang kehidupan adalah komoditas, sedangkan relasi manusianya adalah untung rugi. Efektivitas dan efisiensi diukur berdasarkan kinerja ekonomi pasar, sedangkan manusianya dikuasai oleh etika konsumsi. Persaingan bebas pada tipe masyarakat kapitalistik menghasilkan pemenang sekaligus pecundang. Pemenang adalah orang yang kuat secara finansial, ekonomi, politik, budaya dan intelektual disertai kemampuan beradaptasi secara sosial budaya. Sebaliknya pecundang adalah orang yang lermah karena miskin modal dan tidak mampu beradaptasi dalam lingkungan sosial budayanya sehingga sudah sewajarnya tersingkir.
Penempatan hasrat sebagai pusat dunia, bukan Roh Agung atau agama sebagaimana yang berlaku pada masyarakat pra-modern, melahirkan sekulerisme spiritualitas. Akibatnya, orang Bali tidak lagi menganggap Tuhan beserta manifestasinya sebagai yang ultima, melainkan ada ultima-ultima lain, yakni uang dan benda-benda konsumsi. Dalam terminologi Hindu, kondisi ini merupakan cerminan dari zaman kaliyuga, yakni sebuah zaman di mana uang dan materi tidak lagi sebagai alat pemenuhan hastrat, melainkan "raja" yang menguasai akal budi dan roh atau jiwa manusia.
Beberapa kasus pengerusakan alam berlabel pariwisata bukanlah tindakan spontan, melainkan dilatarbelakangi oleh ideologi neoliberalisme di atas. Orang Bali yang mengadopsi gagasan tersebut akan menghasilkan manusia-manusia konsumeristik, serakah, mendewakan uang, pasar dan benda. Contoh-contoh kasus seperti itu nampaknya terus mengalami peningkatan, sebab pengembangan pariwisata Bali akhir-akhir ini mengarah kepada pariwisata spiritual, agrowisata atau wisata alam. Hal ini memerlukan kawasan bernilai ekologis atau spiritual tinggi yang pada umumnya terkait dengan keberadaan suatu pura dan atau kepercayaan lokal tentang kawasan angker. Â Begitu pula pembangunan vila yang menuntut areal yang sepi sehingga memberikan jaminan privacy yang tinggi kepada penghuninya. Oleh sebab itu, peluang pengerusakan alam berlabel pariwisata baik di masa kini maupun di masa yang akan datang sangat besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H