Mohon tunggu...
Mahatma Chryshna
Mahatma Chryshna Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

"Dunia ditandai kata, alangkah sepinya dunia tanpa kata. Kata memaksa kita untuk berbicara, dan sekarang kita paksa kata untuk mengartikulasikan kita." Berkata-kata !

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sakit, Pesakitan dan Kompasiana

28 Mei 2011   03:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:07 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alasan sakit adalah cara lama yang digunakan oleh para pejabat untuk mangkir dari proses persidangan. Begitu banyaknya pemberitaan tentang cara ini, tetapi tetap saja digunakan oleh para pejabat saat terlibat kasus hukum (calon pesakitan). Cara ini memang legal karena diatur dalam undang-undang. Yang menjadi pertanyaan saya adalah, undang-undang yang mana yang menjadi dasar ? Selama ini, publik akan maklum, walau tetap geram, bila muncul alasan sakit karena “merasa tahu” bahwa alasan sakit memang legal diajukan dalam proses peradilan. Apakah memang begitu adanya ? Sebagai orang yang awam dalam hal hukum (seperti kebanyakan warga Negara “yang baik” sehingga perlu penasehat hukum), saya belum merasa puas dengan asumsi tersebut. Apa dasar hukumnya ?

Setelah hampir 1 jam mencari produk hukum yang mengaturnya, akhirnya saya mendapat sedikit pencerahan. Penjelasan yang saya dapatkan kebanyakan mendasarkan diri pada Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal 113 UU tersebutmengatur mengenai ketidakhadiran tersangka karena alasan yang sah. Alasan yang sah inilah yang sering diterjemahkan dengan adanya surat keterangan sah dari dokter. Dengan surat keterangan tersebut, seorang tersangka bisa beralasan bahwa dirinya sedang sakit sehingga sah untuk tidak bisa diperiksa lebih lanjut.Walau belum sepenuhnya puas, pencarian akan dasar hukum ini kuhentikan demi pencarianku yang lain.

Sebagai warga Negara yang sama di hadapan hukum, saya merasa terbela haknya dengan adanya pasal 113 ini karena Negara melindungi warganya yang sakit selama pemeriksaan. Di sini, Negara membela kemanusiaan warganya. Akantetapi, mencermati penggunaan pasal tersebut di antara pejabat yang tersangkut kasus korupsi (calon pesakitan) memberikan nuansa lain yaitu bahwa mereka ingin mangkir dari penyelidikan dan menyusun strategi atau ingin membuat lupa banyak orang sehingga tidak banyak orang menyimak kasus mereka. Mengapa begitu cepat muncul dugaan kebohongan atas alasan sakit para pejabat yang tersangkut kasus korupsi ? Bukankah sebenarnya penggunaan pasal tersebut sah-sah saja ?

Di sini, muncul salah satu kecenderungan hukum (bila dibedakan dengan nilai/nilai moral) yaitu kecenderungan minimal danhal itu berarti reduksi. Tak bisa dipungkiri bahwa dalam perumusan suatu produk hukum, ada suatu nilai yang ingin dijunjung tinggi. Pelaksanaan nilai tersebut dalam produk hukum, seringkali bertabrakan dengan pelaksanaan nilai lain. Suatu nilai yang digendong oleh hukum menjadi terbatas dan minimal.Hukum mengatur dan membatasi agar suatu nilai bisa tercapai, keadilan misalnya. Oleh karena itu, pelaksanaan hukum secara legal-pun (penggunaan alasan sakit) bisa dirasakan sebagai suatu pencederaan rasa keadilan. Tugas hukum itu bisa saja tersandung oleh hukum itu sendiri karena (seperti penyelidikan Derrida atas teks Walter Benjamin) di dalam hukum terkandung kemungkinan untuk meniadakan hukum itu sendiri. Memang terkesan agak rumit tetapi sedikit contoh akan bisa menjelaskan kecenderungan tersebut.

Contoh paling mudah dalam kecenderungan ini adalah adanya hak untuk mengadakan mogok. Hak untuk mogok yang diatur oleh hukum ini, dalam bentuknya yang paling ekstrem akan menghasilkan suatu perombakan hukum (bila bukan suatu revolusi). Perombakan hukum adalah suatu tindak penentangan hukum untuk membuat hukum baru. Oleh karena itu, hukum memiliki peluang/ celah untuk dihancurkan yang muncul dari dalam dirinya sendiri. Bila dimasukkan dalam pasal tentang alasan sakit di atas, bisa dilihat bahwa Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana yang menjungjung tinggi asas keadilan bisa jadi tidak terlaksana karena adanya celah untuk mangkir dari tindakan hukum.Sampai di sini, nampak bahwa hukum memang tidak bisa mengatur segalanya. Tetapi, sampai sekarang, hanya hukumlah satu-satunya alat yang layak dijadikan pegangan bersama, betapapun ada masalah di sana sini. Adakah pegangan lain sebagai warga Negara, yang bisa menghasilkan perasaan sebagai warga Negara tanpa kesamaan di hadapan hukum ?

Alasan sakit memang sah untuk diajukan.Sekarang menjadi tugas penegak hukum untuk menggunakan pasal lain dalam meneliti  alasan tersebut sesuai dengan pasal penyelidikan yang ada. Hukum dilawan dengan hukum. Selain itu, aktor lain yang terlibat yaitu dokter perlu semakin otonom serta tidak mudah mengeluarkan surat keterangan pesanan yang tidak sesuai dengan keadaan si sakit. Bila akhirnya semua harapan akan penegakan hukum tidak lagi bisa dipercayakan kepada penegak hukum, kepada siapakah kita akan percaya ? Ada banyak cara, tidak perlu menjadi ekstremis dan laskar penegak hukum. Kejengkelan yang muncul bisa diluapkan lewat usaha pribadi mencari pendasaran sendiri, seperti misalnya melakukan jurnalisme warga seperti yang dilakukan Kompasiana.

Berani mencoba ?

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun