Mohon tunggu...
Mahatma Chryshna
Mahatma Chryshna Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

"Dunia ditandai kata, alangkah sepinya dunia tanpa kata. Kata memaksa kita untuk berbicara, dan sekarang kita paksa kata untuk mengartikulasikan kita." Berkata-kata !

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berbuat Baik: Menyuap Tuhan? atau "Ra Ana Eleke?"

17 September 2010   17:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:10 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bila demikian, untuk apakah kita berbuat baik ? Demikian pertanyaan teman di sebelahku saat kuliah.

Selama ini, dia sering berpikir bahwa perbuatan baik yang dia perbuat, semata dilakukan agar mendapatkan sesuatu semacam pahala dari Allah. Saat memberi bantuan pada orang lain, dia berpikir bahwa bantuannya adalah suatu pijakan untuk membangun surga bagi dirinya. Semakin banyak bantuan yang diberikan, semakin banyak juga pahala yang didapatkan.

Ketika kuliah kemaren, dia cukup bergulat saat ada tema bahwa Tuhan tidak dapat disuap. Hal ini mungkin suatu pembenaran untuk menyelamatkan konsep Tuhan. Ketika Tuhan suka dan dapat disuap dengan perbuatan baik manusia, banyak ketidakadilan yang muncul. Orang kaya dengan banyak harta tentu lebih banyak suap yang bisa diberikan pada Tuhan lewat sumbangan atau karya amalnya. Itu baru satu bagian saja. Bila Tuhan bisa disuap dan diatur manusia, apakah masih bisa disebut Tuhan ?

Motif yang paling laris bagi tindakan baik adalah imbalan di masa datang, di dunia setelah kematian. Banyak orang mengira bahwa motif semacam iniadalah motif agama karena melibatkan kepercayaan akan surga, neraka, hidup setelah kematian dan Tuhan.Benarkah ? semudah itulah ?Bila demikian, sangat mudahlah para atheis teoritis macam Marx akan kembali mengkritik agama. Agama mudah menjadi pelanggeng ketidakadilan sosial.

Ada motif lain yaitu karena Tuhan menyuruh, atau karena diperintah Allah. Pertanyaanku, bagaimana caranya tahu bahwa Tuhan yang menyuruh ? Siapa bisa memastikan manaperintah dari Tuhan sendiri, mana perintah dari yang bukan Tuhan ? Bila sama-sama mengatakan mendapatkan perintah Tuhan, mengapa ada perang agama ? Bukankah manusia juga tak luput dari kepentingan, dan kepentingan itu sendiri yang sering mempengaruhi tafsir. Siapa bisa menafsir dengan tepat apa kehendak Tuhan ? Masalahnya,adakah suatu motif yang lebih universal bagi manusia untuk berbuat baik terhadap sesamanya ?

Aku ingat lagu yang dinyanyikan oleh Chrisyefeat. Ahmad Dhani “jika surga dan neraka tak pernah ada”.Jaminan surga bagi suatu perbuatan baik mungkin dapat dikatakan sebagai iming-iming bagi umat beragama untuk melakukan kebaikan. Dengan jaminan dan iming-iming tersebut, nilai moral atau norma suatu agama memiliki daya dorong sehingga dapat dilaksanakan. Chrisye menekankan bahwa penyembahan kepada Allah layak dilakukan semata karena memang Allah layak disembah. Masihkah banyak orang menyembah Allah bila tidak ada Surga dan Neraka ? demikian pertanyaan Chisye.

Senada dengan pergumulan Chrisye, bagaimana bila dilekatkan pada suatu tindakan atau perbuatan baik ? Masihkah banyak orang akan berbuat baik bila keselamatan itu adalah suatu Rahmat yang pemberiannya tidak tergantung manusia tetapi tergantung Allah. Suka-suka Allah, demikian orang muda mengatakan. Suka-suka Allah, akan memberikan rahmat keselamatan kepada manusia. Itu adalah Hak Prerogatif Allah sebagai Allah.

Saat sampai di sini, pertanyaan temanku di atas menjadi sangat relevan. Bila tidak ada surga dan neraka serta imbalan di masa mendatang, untuk apa kita berbuat baik ? Ini pertanyaan yang juga telah digumuli oleh banyak pemikir humanis.

Saya ingat dengan kebijaksanaan Jawa. Sebagai orang Jawa yang hidup dalam kebudayaan Jawa, di saat kecil, saya dididik oleh simbok dengan sangat Jawa. Banyak tata hidup yang dianggap Njawani yang diajarkan dengan perkataan maupun dengan perbuatan.Saat aku bertanya, mengapa saya harus berbuat baik, simbok hanya mengatakan, “Ora ana eleke, wis dilakoni bae!” ( Tidak ada jeleknya, sudah dijalankan saja). Mungkin simbokkujuga tidak tahu bagaimana harus menjawab, tetapi jawaban itu, cukup menenangkan aku yang masih kecil bahwa melakukan suatu kebaikan itu tidak ada jeleknya.Jawaban itu menghilangkan motif imbalan dalam suatu perbuatan baik, dan menurutku sekarang, sangat Kantian. Di sisi lain, jawaban ini cukup universal karena juga menyangkut manusia secara umum yang ingin mencoba untuk hidup bersama tanpa merasa mendapat perintah dari Tuhan.

Aku sendiri, saat ini juga mencoba mencari jawaban yang cukup memuaskan, tidak sekadar bahwa sesuatu itu tidak jelek maka kulakukan. Aku sendiri setuju bahwa Tuhan tidak bisa disuap dengan perbuatan baik manusia demi surga manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun