Utopia, begitu istilahnya. Merupakan suatu komunitas atau masyarakat khayalan dengan kualitas-kualitas yang sangat didambakan atau nyaris sempurna. Kata ini diciptakan dari bahasa Yunani oleh Sir Thomas More untuk buku Utopia karyanya dalam bahasa Latin yang diterbitkan pada tahun 1516, buku tersebut menggambarkan suatu masyarakat di pulau fiktif di Samudera Atlantik. Cita-cita utopis sering kali memberikan penekanan pada prinsip-prinsip egaliter (kesetaraan) dalam bidang ekonomi, pemerintahan, dan keadilan.
Jauh sebelum itu, cita-cita akan utopis pernah didengungkan oleh seorang filsuf terkenal, yaitu Plato. Dalam dialognya yang berjudul “Republik”, Plato memberikan gambaran mengenai “negara ideal”, yaitu suatu negara bayangan dan ideal yang dinamakan “Negara Utopis”. Singkatnya, Plato percaya bahwa negara hendaknya dijalankan dan diperintah oleh para filosof (orang yang mencintai kebijaksanaan). Plato kemudian menjabarkan penjelasannya ini pada susunan tubuh manusia.
Menurut Plato, tubuh manusia terdiri dari tiga bagian, yakni kepala, dada, dan perut. Untuk setiap bagian ini ada bagian jiwa yang terkait. Akal terletak di kepala, kehendak terletak di dada, dan nafsu terletak di perut. Masing-masing dari bagian jiwa ini juga memiliki “cita-cita” atau “kebajikan”. Akal mencita-citakan kebijaksanaan, kemudian kehendak mencita-citakan keberanian, dan nafsu yang dapat ditahan akan melahirkan kesopanan. Jika ketiga bagian itu berfungsi bersama sebagai suatu kesatuan, maka kita akan menjadi individu yang selaras dan berbudi luhur.
Plato membayangkan sebuah negara yang dibangun dengan cara yang persis seperti tubuh manusia yang terdiri dari tiga bagian itu. Jika tubuh memiliki kepala, dada, dan perut, maka negara mempunyai pemimpin, pembantu, dan pekerja. Dalam hal ini, Plato menginginkan adanya keseimbangan dan kesederhanaan dalam negara yang “baik”, yang ditandai dengan adanya kesadaran dari setiap orang. Dengan kata lain, Plato menganggap bahwa negara yang ideal bergantung pada apakah negara itu diperintah oleh akal atau tidak.
Berbeda dengan Plato, muridnya yakni Aristoteles yang juga merupakan seorang filosof yang berpengaruh, mengemukakan dalam “Etika Nikomakhean” (1095, 18-20) apa yang ia sebut dengan “apa yang baik bagi manusia”. Ia menganggap setiap orang akan sepakat bahwa hal ini terdapat dalam apa yang ia sebut sebagai eudaimonia, istilah ini umumnya diterjemahkan “kebahagiaan” tetapi sebenarnya mempunyai arti yang lebih dari itu.
Eudaimonia (kebahagiaan) merupakan kondisi umum kesejahteraan atau suatu kondisi orang yang hidup dengan baik. Aristoteles percaya, pandangan bahwa yang baik bagi manusia adalah kebahagiaan yang didukung oleh dua pertimbangan, yang pertama, kebahagiaan mempunyai ciri khas suatu tujuan yakni kita mencari hal-hal lain demi kebahagiaan akan tetapi kita mencari kebahagiaan semata-mata untuk diri sendiri. Kedua, kebahagiaan bersifat self-sufficient yakni kebahagiaan bukan hanya dapat didambakan dalam dirinya sendiri tetapi tidak ada yang dapat ditambahkan padanya untuk membuatnya lebih didambakan.
Aristoteles dalam Etika Nikomakhean, dalam kedua versinya adalah untuk menemukan hakikat kebahagiaan. Disini Aristoteles sangat bersandar pada konsepsi alam, dimana manusia pastilah mempunyai maksud atau fungsi. Untuk mengetahui sebaik-baiknya fungsi manusia, kita perlu mempertimbangkan apa yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Apa yang unik dari manusia adalah akal. Dengan demikian, Aristoteles berargumen, tujuan atau fungsi manusia ditemukan di dalam kehidupan yang aktif di bagian jiwa yang rasional.
Bagi Aristoteles, kehidupan yang baik adalah hidup yang didalamnya kita melaksanakan fungsi ini dengan baik, yakni sesuai standar mutu atau kebajikan yang pantas. Dengan demikian, eudaimonia atau kebahagiaan, dapat didefinisikan sebagai “aktivitas yang sesuai dengan mutu yang baik, dan jika terdapat lebih dari satu jenis mutu yang baik maka akan terbentuk sesuai dengan jenis yang paling sempurna”.
Dalam pengertian Aristoteles, negara ada demi kehidupan yang baik. Ia mengklaim bahwa negara adalah suatu bentuk asosiasi atau persekutuan yang berada demi kebaikan tertentu. Negara adalah yang paling tinggi dari semua asosiasi dan harus diarahkan kepada yang paling tinggi dan segala kebaikan. Dengan demikian, tujuan negara adalah untuk memungkinkan warga negara menjalani kehidupan dalam kebajikan atau mutu yang baik.
Bagi Aristoteles, negara haruslah mempunyai tujuan moral yang positif. Aristoteles menyadari dengan baik bahwa setiap negara perlu memberikan keamanan dan stabilitas bagi para warganya. Akan tetapi dalam pandangannya, keamanan dan stabilitas tidaklah cukup. Suatu konstitusi yang baik harus diarahkan kepada kebaikan warga negara. Dengan kata lain, konstitusi harus diarahkan pada hidupnya kebaikan atau kebajikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H