Mohon tunggu...
Minami
Minami Mohon Tunggu... pegawai negeri -

@maharsiana

Selanjutnya

Tutup

Politik

Yth. Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden NKRI

24 Maret 2010   00:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:14 1246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salam hormat dari salah satu warga Anda

[caption id="attachment_101066" align="alignleft" width="279" caption="Gambaran birokrasi (google)"][/caption]

Sebelumnya perkenankan saya telah lancang menulis surat untuk pemimpin negeri ini. Sekedar ungkapan keluh kesah dari seorang rakyat jelata. Mohon kiranya untuk tidak mencurigai saya ingin menjelek-jelekkan kinerja pemerintahan Anda. Justru, kami berkepentingan untuk memantau dan menilai hasil kerja keras Anda dan pembantu-pembantu Anda.

Pak Beye –maaf fonem ini lebih mudah diucapkan dan biasa dipakai di sini, harap maklum- yang kami muliakan.

Banyak kalangan yang menilai kinerja Anda pasca putus hubungan dengan Pak JK sangat lambat, terutama dalam bidang hukum. Banyak kasus hukum yang menyangkut beberapa anggota dewan yang terhormat belum tuntas hingga sekarang, terakhir kasus aliran dana Bank Century. Meski satu per satu borok-borok itu mulai terbuka ke publik, mereka masih belum puas. Rakyat ingin Anda dan KPK serius menuntaskan kasus Century segera, tanpa pandang bulu, seperti terhadap besan Anda sekalipun. Jika Pak Aulia saja bisa dipidana, mengapa orang sekelas Jaksa Ester dan sebangsanya bisa melenggang kangkung menghirup udara bebas. Di sisi lain, nasib ‘pencuri’ biji kakao dan celana dalam sungguhlah tragis.

Dari segi pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan angka positif, namun kenyataannya banyak rakyat di sana yang belum tersentuh pertumbuhan itu. Mereka masih saja sibuk bergelut dengan kemiskinan, kebodohan, dan gizi buruk anak-anaknya. Meski orang tuanya lebih suka membeli rokok daripada susu untuk anaknya, tetap saja yang kami terima dari media berita tentang perut buncit anaknya. Kami paham, mengurus 240 juta kepala tidaklah mudah, namun bukan berarti tidak sanggup khan? Kami selalu ingat janji manismu waktu kampanye dulu.

Tirani Minoritas

Ada seorang warga Pak Beye di sini yang menyebutkan 80 persen warga Anda masih hidup dengan kemiskinan, artinya hanya 20 persen yang benar-benar menikmati hidup berkecukupan. Saya sendiri tidak tahu pasti karena belum pernah menghitungnya, namun kalau melihat keterangan Badan Pusat Statistik di situsnya, angka sebesar itu sangat berlebihan. Tidak ada indikator riil yang menunjukkan sebagian besar masyarakat ini hidup serba kekurangan. Barangkali antrian sandal Crocs di ibukota bisa jadi contoh sebagian masyarakat kita hidup serba kecukupan, entah kalau di belahan lain Nusantara nan luas ini.

Belum lama ini, Direktur Utama PT PLN, Pak Dahlan Iskan menulis di facebook-nya, intinya jangan remehkan suara-suara kecil meskipun mereka hanya 10 persen. Menurutnya, justru yang 10 persen itu bisa menentukan nasib yang 90 persen. Untuk diketahui, beliau tidak sedang membicarakan jumlah populasi pemeluk agama tertentu, namun sedang mengulas jumlah pemilikan saham Blok Cepu.

Rebutan pemilikan saham mayoritas Blok Cepu memang sempat membuat lifting minyak di sana jadi tersendat, Exxon dan Pertamina sama-sama teguh dengan pendapatnya. Pertamina maunya 55 persen saham dikuasainya, sesuai petunjuk peraturan yang berlaku. Exxon maunya dibagi sama 45-45 dengan menyisakan 10 persen untuk pihak ketiga. Pak Dahlan menangkap gelagat licik tersebut, bagaimana kalau yang 10 persen tersebut bisa dikendalikan Exxon dengan berbagai iming-iming dan godaan. Solusinya Pertamina menginginkan 10 persen itu didistribusi ke pemerintah pusat dan pemerintah daerah setempat, sehingga pihak asing tidak diuntungkan posisinya. Siapkah bangsa ini jika akhirnya 55 persen itu jadi dikuasai Exxon sepenuhnya, niscaya pemerintah Pak Beye akan makin dicap agen neolib, meski Anda tidak dilapori masalah 10 persen saham Blok Cepu tersebut.

Baiklah, mari kita lupakan Blok Cepu di sana, kita jalan-jalan ke lingkungan sekitar istana Anda.

Bolehkah kita pinjam mobil Toyota Royal Saloon punya Pak Seskab? Bapak akan saya ajak jalan-jalan keluar istana ke arah utara menyusuri Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada. Di sepanjang kiri kanan Bapak lihat sendiri siapa penguasa wilayah di sana. Sisanya, warga Anda yang 80 persen itu barangkali sedang asyik memilah dan memilih benda elektronik yang dicarinya. Jika sudah puas, mari kita ke arah utara lagi sampai di kawasan Pantai Indah Kapuk. Lihatlah, penghuninya sedang bertelekan di balai-balai mutiara depan rumah, keluarga yang lain juga tengah menikmati kesegaran kolam renang pribadinya. Mereka asyik masyhuk menikmati hasil kerja kerasnya siang itu.

Sudahlah, saya yakin kita akan ngiler dibuatnya. Oke, mari kita lebih ke ujung lagi, ke tepi Laut Jawa nan tenang. Sepanjang tepiannya kita saksikan apartemen-apartemen mewah menjulang ke langit ibukota. Penghuninya sedang kongkow-kongkow di balkon sambil menikmati mentari senja nan elok ini. Entah disadari atau tidak, mereka sedang berdiri di atas daerah resapan air yang sangat dibutuhkan 80 persen warga ibukota di sebelah selatan kawasan itu. Dulu, daerah itu masih berupa genangan air asin penuh sampah metropolitan.

Sudah ya Pak Beye, saya capai. Bukan capai karena berkeliling dengan mobil mewah ini, saya capai melihat ketimpangan nyata di bumi yang kita cintai ini. Inikah yang namakan hegemoni minoritas? Hasil dari konsep kapitalisme sejak era Orde Baru. Yang kaya makin kaya karena gurita uangnya, dan yang miskin tidak bertambah kaya karena tidak memiliki kesempatan untuk menjadi kaya. Mau pinjam ke bank, pasti ditanya punya sertifikat tanah? SK PNS/pensiunan? Beda dengan cukong-cukong kaya ini, tanpa perlu jaminan, letter of credit niscaya keluar dalam hitungan menit. Masalah macet atau bodong nantinya, khan bisa dibikin release and discharge dalam sekejap mata, sudah sering terjadi di era-era sebelum Anda.

Dengan kekuatan modal mereka itu, saya rasa tidaklah sulit bagi yang 20 persen itu mengatur dan bertindak semaunya atas yang 80 persen itu. Bahkan seenaknya mempermainkan Rp 600 triliun uang rakyat dengan pameo pengemplangan dana BLBI. Bukan pemeo lagi mungkin, tapi fakta. Kini sebagian besar penjahat kelas kakap itu tak diketahui rimbanya, sedang berleha-leha di negara “Israel Timur” jiran kita barangkali.

Sekedar Usul, Nggak Usah Diambil Hati Ya Pak Beye…

Defisit APBN kita berapa sich Pak? 50 triliun? 70 triliun? Untuk menutupnya kita utang sana sini, bikin sukuk, obligasi, L/C, ‘bantuan’ luar negeri, dan modus-modus pinjaman lainnya. Apa yang kita jaminkan Pak? Bukan tanah tumpah darah ibu pertiwi khan? Maaf jadi ngelantur.

Dari pengamatan saya ke kantor-kantor polisi, kejaksaan, pengadilan, pajak, bea cukai, dan sebagainya, rupanya ada modus-modus unik yang menjadikan APBN kita tidak mencukupi tanpa bergantung pada utang. Modus-modus itu membuat target penerimaan pajak dan PNBP tidak tercapai, kalau pun tercapai itu belum lah optimal.

Ambillah contoh di kantor pajak, tapi ini kisah lama sebelum ada reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan, termasuk kisah Gayus Tambunan yang menghebohkan dunia perpajakan kini. Bisa jadi dia adalah sisa-sisa modus lama, sama dengan bosnya yang sering dapat hibah, kabarnya sudah mencapai Rp 36 miliar (running text metrotv).

Seandainya Pak Beye mau menyamar jadi wajib pajak, pura-puralah jadi pengusaha. Sebelum 31 Maret ini, isilah SPT sesuai kehendak Anda. Kalau petugas fiskus komplain karena datanya tidak wajar dengan tongkrongan kendaraan Anda, bilang saja harta yang lain milik perusahaan. Nanti kalau perusahaannya giliran ditanya ini aset siapa, paling-paling dijawab milik Anda sebagai penguasa perusahaan. Ujung-ujungnya kongkalikong-lah kalian. Pajak yang harusnya dibayar Rp 1 milyar, cukup dibayar setengahnya saja ke negara, yang Rp 250 juta masuk oknum petugas, dan Anda pun masih ‘untung’ Rp 250 juta. Coba hitung kalau orang-orang seperti Anda jumlahnya ratusan ribu. Gampang khan mengetahui penyebab defisit negara.

Gayus Halomoan Tambunan, lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) tahun 2000 adalah salah satu dari puluhan ribu petugas pajak yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara, merupakan adik kelas politisi PKS, Muhammad Misbakhun dan junior jauh Ketua BPK saat ini, Hadi Purnomo. Sama seperti mantan bosnya, siapa yang sanggup menahan liur ‘hidangan’ enak bernama setoran uang pajak (PPh, PPN, PBB, PPN BM, Bea dan Cukai, dsb). Lihatlah, untuk pegawai negeri selevel golongan III A sudah bisa membeli rumah mewah beserta kolam renang pribadi di kawasan elit Kelapa Gading dan apartemen di komplek Cempaka Mas, Jakarta (Indopos Rabu 24 Maret 2010).

Masih ingin tahu penyebab-penyebab yang lain? Yuk kita jalan-jalan ke daerah-daerah kekuasaan Anda. Kita datangi kantor-kantor pemerintah daerah. Baik di kantor gubernur, kantor bupati, kantor walikota, maupun satker-satker di bawahnya. Lihatlah berapa yang kerja beneran dan berapa yang asyik membaca koran dan main game di komputer, atau yang bersenda gurau seenaknya. Kerjaan sedikit, tapi dikeroyok ramai-ramai. Ujung-ujungnya birokrasi berantai, tak akan berputar kembali jika tidak diberi sedikit ‘percikan oli’.

Masih di sana. Berpura-puralah jadi pemohon tender proyek kegiatan daerah. Ikuti tender proyek pembuatan atau pemeliharaan jalan barangkali. Lihat, apa saja yang mereka permainkan, dana APBN yang milyaran itu hanya menjadi bancakan para pejabat daerah. Jika ingin menang tender, siapkan fee 20 persen untuk ‘si raja kecil’ di sana. Perkara jalan jadi atau tidak, itu urusan nanti, yang penting fulus..fulus…semua bisa diakali dengan..? akal bulus...

Langkah Tepat

Harian Media Indonesia kemarin (23/03/2010) melansir keputusan Pak Beye untuk tidak menonaktifkan Menteri Keuangan saat ini. Bagi saya yang selalu menikmati dagelan-dagelan politik bernama Opera van Senayan, langkah Anda tersebut ibarat keteguhan moral menjunjung tinggi profesionalisme dan integritas. Anda tidak mudah terjebak tuntutan-tuntutan dari mereka yang terus mengancam daging empuk bernama kekuasaan. Saya yakin bau busuk para politisi Senayan itu telah tercium hingga ke Istana, maklum jaraknya tidak jauh-jauh amat, anginnya pun tercium ke mana-mana, termasuk ke rumah-rumah masyarakat awam yang makin lama makin sadar adanya konspirasi busuk itu.

Kini, bau busuk itu justru berbalik arah menuju Senayan. Satu per satu anggota-anggota fraksi di sana mulai digiring ke kubangan lumpur bernama runtuhnya harga diri dan rasa malu yang tidak kepalang. Mereka yang berteriak sok suci, sok bersih, menuding sana sini..eh malah mereka sendiri yang terjerembab ke dalam lumpur itu. Aliran dana Bank Century juga kian lama kian terbuka, ada yang mengalir ke sana, ada yang mengalir ke situ, dan yang paling heboh digunakan untuk pemulusan jalan menuju deputi bank sentral negara. Waduh, kok bisa ya Pak?

Demikianlah suara kami, suara sebagian besar bangsa ini, namun minoritas di kompasiana sini. Kebenaran memang belum terungkap, namun arahnya sudah mulai terbaca dan tercium dari dapur-dapur gubuk reyot warga Anda. Rakyat yang namanya selalu dibawa para anggota dewan yang terhormat. Mereka memanfaatkan kami, tapi kami tidak mendapat apa-apa, selain ampas dan bau busuk mereka.

Tidak salah memang internasional menjuluki kita sebagai negara terkorup se-Asia Pasifik. Apa mau dikata, semua sektor publik dikuasai mereka yang bermental korup. Tidak di kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga permasyarakatan, raja-raja daerah, anggota dewan pusat dan daerah, dan semacamnya. Wajar, mereka masuk ke sana juga tidak gratis kok, ikut pemilihan kepala desa saja butuh ratusan juta rupiah, yang katanya sebagai “ongkos demokrasi”. Solusi terbaik hanyalah segera reformasi total pada birokrasi-birokrasi korup itu.

Saya sendiri sangat respek dengan gebrakan Sri Mulyani mereformasi Kementerian Keuangan. Saya salut dia mampu menjungkalkan Hadi Purnomo dari kursi empuknya sebagai Dirjen Pajak tahun 2006 lalu. Meski saya masih satu almamater dengan Hadi Purnomo, Misbakhun, dan Gayus Tambunan, saya malu dengan mereka seandainya memang diputus bersalah. Saya dukung langkah Menteri Keuangan untuk tidak melindungi bawahannya yang korup.

[caption id="attachment_101068" align="alignright" width="300" caption="Birokrasi identik dengan 'si hijau' itu (google)"][/caption]

Syukurlah saya lulus dari sekolah instansi ‘basah’ tersebut saat birokrasinya sudah baik, meski masih ada borok yang tertinggal. Kini, limpahan ‘hibah’ menggiurkan tadi sudah bukan budaya lagi. Saat ini saya bahagia dengan Si Supri yang selalu mengantar kemana pun saya mau. Tidak dengan Innova atau Land Cruiser hasil kongkalikong. Terima kasih Bu Ani, Allah akan melindungimu selalu. Meski dituduh agen asing lah, agen neolib lah, namun Anda mampu mengubah mindset jajaran Anda yang selama ini menghamba pada materi, meski tidak semua. Sekarang birokrasi institusi Anda sudah mampu berbicara di mata internasional (masuk tujuh kementerian terbersih dan penanganan akuntansi pemerintah terbaik). Bukan sekedar cuap-cuap di televisi seperti para pendahulumu dan pengamat apalah itu namanya.

Oya terakhir Pak Beye, jangan lupa tirani media juga akan menentukan arah kecenderungan masyarakat. Siapa yang menguasai media, dialah yang menguasai publik.

Salam damai dari rakyat jelata, kaum marjinal yang selalu diombang-ambing sebuah tirani

Tulisan terkait :

Mega dan Kwik di Ujung Tanduk Bantengnya

Review Hutang Indonesia Dibanding Hutang Negara Lain

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun