Mohon tunggu...
Minami
Minami Mohon Tunggu... pegawai negeri -

@maharsiana

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Pembredelan Akun dan Pembredelan Buku (Edited)

5 Januari 2010   18:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:37 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Menurut pelajaran sejarah yang saya pelajari sejak zaman SD sampai SMA, negara kita katanya menganut sistem Demokrasi Pancasila, kebetulan masa sekolah saya dulu pada masa Orde Baru dengan gambar foto presiden di ruangan kelas tidak pernah berubah, hanya gambar wakilnya yang diganti tiap lima tahun. Kalau orang tua saya sekolahnya masih di era Orde Lama yang katanya otoriter namun masih disebut juga masa demokrasi, Demokrasi Terpimpin.

Sesuai asal katanya, secara singkat demokrasi dapat diartikan pemerintahan (kratos) yang dipimpin oleh rakyat (demos) atau kedaulatan di tangan rakyat. Dengan pengertian negara diatur oleh suara rakyat, bukan oleh raja, ratu, atau pun kaisar seperti halnya di negara yang menganut sistem kerajaan atau kekaisaran.

Bagaimana praktek demokrasi di Indonesia?

Kita sepakat mengakui Pancasila sebagai dasar negara bersama UUD 1945 sebagai konstitusinya. Inti demokrasi dalam sistem negara kita termaktub dalam sila ke empat Pancasila yang berbunyi ''Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan". Secara pribadi saya sering bertanya-tanya, sebagai rakyat apakah sekarang kita sudah dipimpin oleh wakil kita dengan hikmat kebijaksanaan ataukah malah dipimpin oleh permusyawaratan jahat dengan memanfaatkan nama kita?

Namun, bukan itu inti tulisan saya kali ini. Mengambil foto dari tulisan Kang Pepih

Di media massa sering kali kita mendengar istilah demokratis, secara leksikal kurang lebih artinya bersifat / berciri demokrasi (KBBI). Sehingga jika sesuatu bertentangan dengan arus utama (mainstream) rakyat atau suara terbanyak maka boleh dikatakan tidak demokratis. Ambil contoh saat pemilihan ketua RT, ternyata ada calon yang menggunakan cara-cara otoriter agar dirinya terpilih, misalnya dengan menekan pemilih, memanipulasi data, mengancam, dan sebagainya. Tentu dia akan dianggap tidak demokratis.

Baru-baru ini yang sempat muncul di media adalah kasus ‘pembredelan’ buku karangan George Junus Aditjondro berjudul “Membongkar Gurita Cikeas”. Tak lama setelah peluncuran perdana buku tersebut langsung hilang di pasaran sehingga dianggap ada upaya penghilangan secara paksa oleh pihak yang berwenang. Boleh jadi kegusaran masyarakat itu disebabkan oleh kasus sebelumnya yaitu pembredelan lima buku oleh Kejaksaan Agung pada tanggal 23 Desember 2009 karena dianggap mengganggu ketertiban umum. (lihat http://www.goodreads.com/topic/show/260646-cabut-kewenangan-kejaksaan-agung-melarang-buku-was-lagi-pelarangan-b). Kebijakan Kejagung itu langsung disambut Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) selaku penerbit salah satu buku yang dibredel berjudul “Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto” karya John Roosa dengan sebuah pernyataan sikap yang berisi dua tuntutan yaitu pencabutan surat keputusan Kejagung dan pencabutan semua aturan hukum yang mengekang kebebasan berekspresi dan hak mendapatkan informasi kepada pemerintah dan DPR selaku wakil rakyat.

Dalam hal ini, pemerintah dianggap tidak demokratis karena tidak sesuai arus utama rakyat yang menginginkan kebebasan berekspresi dan mendapatkan informasi.

Bagaimana praktek demokrasi di Kompasiana?

Beberapa waktu lalu saya menyempatkan membaca ulasan atau ‘pernyataan sikap’ dari seorang admin Kompasiana. Pada tagline tulisan admin, Pepih Nugraha menulis http://blog.kompasiana.com/2010/01/04/mengapa-admin-kompasiana-membekukan-akun-ftr/ yang ternyata disambut positif oleh para kompasianer, kecuali kompasianer Faizal Assegaf selaku penggagas FTR tentunya. Di sini saya cuma mau menyoroti masalah tersebut dipandang dari pengertian demokrasi seperti yang saya paparkan di awal tadi. Demokrasi di kompasiana berarti kedaulatan ada di tangan kompasianer, bukan di tangan admin. Maaf saya menganalogikan admin sebagai raja atau kaisar, sekedar mencocokkan dengan ulasan awal tadi. Jadi kalau admin sudah ‘membredel’ akun FTR tersebut sebagai ulangan atas kasus yang sama pada akun Ceritapuri (lihat http://new-media.kompasiana.com/2009/11/10/dengan-tidak-hormat-kompasiana-bekukan-akun-ceritapuri/) apakah itu tandanya admin sudah menggunakan kekuasaannya untuk melampaui sistem demokrasi kita, maksudnya demokrasi kompasiana ???

Jika harus merunut pada sila ke empat Pancasila tadi, kita belum tahu bagaimana arus utama kompasianer saat ini karena belum pernah dilakukan survei suara mereka layaknya sebuah pemilu dalam Demokrasi Pancasila. Bisa jadi mainstream di kompasiana ini menolak pembekuan kedua akun tersebut, namun jika melihat tanggapan positif pada tulisan ‘pembredelan’ akun FTR, mustahil arus utama di kompasiana ini pendukung FTR.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun