Mohon tunggu...
Minami
Minami Mohon Tunggu... pegawai negeri -

@maharsiana

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengenal Keluarga Mertua Dian Sastro

18 Mei 2010   17:08 Diperbarui: 4 April 2017   16:31 490156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_144228" align="alignleft" width="300" caption="Sah? Sah... (foto kompas.com)"][/caption]

Di kompasiana tampilan terbaru, delapan postingan saya dimasukkan ke ruang “Gosip”, sub-domain kolom “Hiburan”. Saya tidak akan komplain, biarlah daripada capai membahasnya lebih baik saya tambahi sekalian rubrik tersebut dengan menulis postingan ini. Toh, kita memang suka berita seputar artis, meski kadang tidak rela dibilang penikmat gosip yang belakangan diperhalus bahasanya menjadi infotainment.

Oke, sebelumnya saya ucapkan “selamat menempuh hidup baru” untuk Mbak Dian Sastrowardoyo yang baru saja melangsungkan pernikahan dengan Mas Maulana Indraguna Sutowo. Bicara tentang Dian Sastro, semua pasti sudah tahu sosoknya, apalagi sejak kemunculannya di layar lebar dalam film fenomenal Ada Apa Dengan Cinta (AADC) tahun 2002 silam. Namun, siapa yang mengenal suaminya, Indraguna Sutowo saya rasa sangat sedikit yang mengetahuinya. Saya sendiri baru mencari sosoknya malam tadi melalui bantuan Mbah Google.

Melihat nama belakang suami Dian, tentu kita diingatkan akan sosok Raja Minyak Indonesia era Soeharto dulu. Siapa lagi kalau bukan Ibnu Sutowo, mantan Dirut Pertamina yang pernah mendapat durian runtuh saat bom minyak dekade 70-an. Pada masanya, kekayaannya bisa disejajarkan dengan penguasa bisnis Indonesia saat ini, siapa lagi kalau bukan Aburizal Bakrie. Kebetulan, Ical baru saja mendapat mantu yang juga seorang artis ternama negeri ini, Nia Ramadhani. Meski kualitas kedua mantu tersebut tidak bisa disejajarkan.

Sungguh, suatu kebetulan yang sangat mirip.

Jika dulu saya pernah mengulas profil Aburizal Bakrie dan sepak terjangnya pada tulisan Review Posisi Kekayaan Bakrie 2007-2009 dan Ramalan 2010, barangkali kini perlu juga saya ketengahkan profil keluarga Sutowo, yang tak lain adalah keluarga mertua Dian Sastro. Siapa tahu kita bisa makin dekat dengan keluarga tersebut, sukur-sukur ikut kecipratan rezeki mereka. Meski tak berharap.

Ibnu Sutowo, Konglomerat Besar Sebelum Era Bakrie

Ibnu Sutowo lahir di Yogyakarta, 23 September 1914 dan meninggal di Jakarta, 12 Januari 2001 (86 tahun). Dia adalah mantan tokoh militer Indonesia yang ikut mengembangkan Permina, perusahaan minyak negara sebelum berubah nama menjadi Pertamina. Ibnu juga pernah menjadi Menteri ESDM di penghujung rezim Soekarno (28 Maret 1966 s.d. 25 Juli 1966).

Selepas pendidikan kedokteran di Surabaya, pada 1940 Ibnu Sutowo bekerja sebagai dokter di Palembang dan Martapura. Setelah masa kemerdekaan, ia sempat bertugas sebagai Kepala Jawatan Kesehatan Tentara se-Sumatera Selatan (1946-1947). Pada tahun 1955, Sutowo ditunjuk sebagai Panglima TT-II Sriwijaya.

Di tahun 1957, A.H. Nasution (saat itu KSAD) menunjuk Sutowo untuk mengelola PT Tambang Minyak Sumatera Utara (PT Permina). Tahun 1968, perusahaan ini digabung dengan perusahaan minyak milik negara lainnya menjadi PT Pertamina.

Harian Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis yang terbit tanggal 30 Januari 1970 memberitakan total simpanan kekayaan Ibnu Sutowo mencapai Rp 90,48 milyar (kurs rupiah saat itu Rp 400/US Dollar). Jika kini US $ 1 = Rp 9.200,- secara hitungan bodoh, nilai tersebut setara dengan Rp 2,08 triliun.

[caption id="attachment_144234" align="alignright" width="217" caption="Raja minyak asli Jogja (wikipedia.org)"][/caption]

Harian itu juga melaporkan adanya indikasi kerugian negara akibat kongkalikong Sutowo dan pihak Jepang mencapai US $ 1.554.590,28. Saat itu, pemerintah Indonesia di bawah Presiden Suharto membentuk tim yang bernama Komisi Empat untuk menyelidiki dugaan korupsi di Pertamina. Tim ini menghasilkan laporan yang menyimpulkan terjadinya beberapa penyimpangan-penyimpangan, sayang tidak ada tindakan hukum apa pun terhadap pelakunya.

Pada tahun 1975, Pertamina jatuh krisis setelah sebelumnya mendapat keuntungan luar biasa dari bom minyak. Setahun kemudian, Sutowo diberhentikan sebagai Dirut Pertamina, dan meninggalkan utang perusahaan sebesar US $ 10,5 milyar. Di samping utang, dia juga meninggalkan “kota dalam kota” berupa Komplek Pertamina yang terdiri dari rumah sakit, mess pegawai, sekolah, dan fasilitas penunjang lainnya.

Selain itu, menurut Ali Sadikin (mantan Gubernur Jakarta) yang diperiksa terkait penipuan oleh PT Indobuild Co. pada 2005 lalu mengaku pernah ditipu oleh Ibnu Sutowo. Saat dia menjabat Dirut Pertamina, Ali diminta membangun hotel Pertamina di Senayan dengan hak guna bangunan selama 30 tahun. Belakangan, ternyata hotel tersebut dimiliki oleh perusahaan pribadi Ibnu Sutowo dengan nama Hotel Hilton. Kini, hotel tersebut telah berganti nama menjadi Sultan Hotel dan kepemilikan atas nama Pontjo Sutowo, kakak Adiguno Sutowo sekaligus anak kandung Ibnu Sutowo. Perpanjangan HGB dilanjutkan setelah HGB lama berakhir 2002.

Sumber : id.wikipedia.org

Adiguna Sutowo (Mertua Dian Sastro), Penerus Ibnu Sutowo

Kisaran awal 2005 silam, publik Indonesia dikejutkan oleh peristiwa yang cukup menyita perhatian. Menjadi berita besar karena pelakunya diduga anak dari tokoh besar Orde Baru. Hari Minggu (2/1/2005) pukul 15.55 WIB pelaku digelandang masuk tahanan.

Adiguna Sutowo yang diduga sebagai pelaku tunggal penembakan pelayan bar Fluid Club Hotel Hilton, Yohanes Brachmans Haerudy Natong, dimasukan ke ruang tahanan Polda Metro Jaya, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Adiguna mengenakan kaos warna abu-abu dan celana training. Mukanya tampak lusuh dan tertunduk lesu. Dia digelandang setelah menjalani pemeriksaan yang dilakukan oleh Satuan Jatantras Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya secara maraton. Dia diperiksa sejak Sabtu (1/1/2005) malam. Lihat.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang baru menjabat beberapa bulan merasa prihatin dengan peristiwa pada pergantian tahun itu. Ia menginstruksikan aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus ini secara tegas dan transparan. Hal itu dikatakan SBY kepada wartawan dalam jumpa pers di rumahnya, di Cikeas, Bogor, Minggu (2/1/2005) malam. Tampak hadir Menko Polhukam Widodo AS, Menlu Hassan Wirajuda dan Menkeu Yusuf Anwar. "Pemerintah dalam hal ini Kapolri diminta untuk melaksanakan proses hukum terhadap pelaku penembakan di Hotel Hilton. Lakukan proses hukum yang benar dan tepat, lalu tunjukkan dengan akuntabilitas yang tinggi," kata SBY. Lihat.

Siapa Adiguna itu?

Dibanding Pontjo Sutowo, kakaknya, nama Adiguna masih kalah pamor. Bahkan selama ini Adiguna lebih dikenal sebagai pereli nasional. Anaknya, (alm) Adri Sutowo pun menitis darah ini. Nama Adiguna memang tak bisa lepas dari Ibnu Sutowo, eks Dirut PT Pertamina dan pensiunan jenderal bintang tiga era Soeharto.

Dari perkawinannya dengan Zaleha binti Syafe'ie, yang dinikahinya pada 12 September 1943, Ibnu mendapatkan 7 anak. Mereka adalah Nuraini Zaitun Kamarukmi Luntungan, Endang Utari Mokodompit, Widarti, Pontjo Nugroho Susilo, Sri Hartati Wahyuningsih, Handara, dan Adiguna.

Seperti saudara-saudaranya yang lain, si bungsu Adiguna pun berkecimpung dalam bisnis. Dia tercatat sebagai bos perusahaan farmasi PT Suntri Sepuri. Perusahaan yang didirikan pada 1998 ini memproduksi tablet, kapsul, sirup dan suspensi, sirup kering/serbuk injeksi beta laktam. Membicarakan bisnis Adiguna, mau tak mau harus membicarakan bisnis keluarga Ibnu Sutowo. Pasalnya, bisnis Adiguna dibangun bersama-sama dengan anggota keluarganya yang lain.

Keluarga Ibnu Sutowo ketika Orba masih berkuasa, mempunyai sedikitnya 20 perusahaan. Ini termasuk PT Adiguna Shipyard (galangan kapal, pengadaan fiberglass kapal) dan PT Adiguna Mesin Tani (agicultural). Keluarga ini juga pemilik PT Indobuild Co (real estate, hotel) yang menguasai hak pengelolaan lahan di seputar Senayan - lokasi hotel, apartemen dan convention center. Keluarga Ibnu Sutowo lebih dikenal lewat konglomerasi Grup Nugra Santana (bursa saham, pemasaran, manajemen properti, investasi bangunan). Jika dikaitkan dengan masa sekarang, ingatan kita akan tertuju pada Bakrie Grup yang menguasai lantai bursa, dan juga Kalla Grup milik mantan wakil presiden. Keduanya sama-sama pentolan partai Golkar.

Di bawah grup inilah keluarga Sutowo menguasai penjualan dan pemasaran operasional 5 hotel kelas atas: Jakarta Hilton International Hotel, Lagoon Tower Jakarta Hilton International, The Hilton Residence, Patra Surabaya Hilton International dan Bali Hilton International.

Ekspansi besar-besaran dimotori Pontjo Sutowo. Tapi pada 1997, kibaran bisnis keluarga Sutowo melorot. Majalah Swa edisi November 2004 lalu menulis, tragedi Bank Pacific yang dimotori Endang Utari Mokodompit -kakak Adiguna- menyusul bank tersebut dilikuidasi Pemerintah, November 1997, diduga menjadi pemicu memudarnya pamor Grup Nugra Santana. Meski demikian, sebagian sahamnya masih bercokol di Hilton, branding yang akan tetap dipakainya selama 20 tahun sesuai kontrak sejak 1996 silam.

Majalah Swa lewat laporannya bertajuk "Menumpuk Utang di Bank, Terbelit Bisnis Sendiri" menulis bahwa bisnis Grup Nusa Santana tak lagi prospektif. Pengamat ekonomi Wilson Nababan menilai, berbagai proyek properti khususnya hotel yang dibangun Grup Nugra Santana menjadi kartu mati yang sulit dikembangkan lagi. Bisnis kelompok ini di bidang perkapalan seperti Adiguna Shipyard juga mengalami penurunan yang sangat tajam.

Untuk kasus seperti ini, kiranya keluarga Sutowo perlu belajar dari Keluarga Bakrie yang tetap eksis meski badai 2008 menerjang kerajaan bisnisnya. Tentu dengan menggandeng penguasa saat itu, Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla, meski sempat ditentang Menkeu Sri Mulyani yang mengancam mundur dari kabinet SBY.

Adiguna juga merajai media. Pada tahun 1992, Adiguna bersama Soetikno Soedardjo dan Onky Soemarno mendirikan Hard Rock Cafe. Joint venture ini membuahkan group usaha yang dikenal sebagai MRA Group. MRA ini kemudian berkembang pesat dan saat ini memiliki beberapa divisi yang menaungi beberapa unit usaha seperti Zoom Bar & Lounge, BC Bar, Cafe 21, Radio Hard Rock FM (Jakarta, Bandung, Bali), i-Radio, MTV radio, Majalah Kosmo, Majalah FHM , Omni Chanel (TV), dan IP Entertaiment.

Di samping itu Adiguna juga merupakan pemilik Four Seasons Hotel dan Four Seasons Apartement di Bali. Belakangan, Adiguna baru saja membeli Reagent Hotel di Jakarta (yang sekarang berganti nama Four Seasons Hotel). Dia juga memegang dealership Ferrari dan Maserati, Mercedes Benz, Harley Davidson, Ducati, B&0, dan Bulgari. Menurut catatan George Aditjondro, Adiguna sempat memiliki hubungan bisnis dengan Tommy Soeharto di masa jayanya. Keduanya mendirikan PT Mahasarana Buana (Mabua) pada tanggal 5 September 1985. Perusahaan yang beroperasi di Batam ini berdagang dinamit untuk keperluan industri.

Adiguna yang juga anggota Persatuan Menembak dan Berburu Seluruh Indonesia (Perbakin) ini dikenal cukup dekat juga dengan kerajaan bisnis Sudwikatmono. Seperti sohibnya, Tommy Soeharto, Adiguna juga pernah mencicipi sempitnya hotel prodeo di sel Polda Metro Jaya. Keduanya dituduh melakukan kejahatan yang nyaris persis: menembakkan timah panas hingga sang korban tewas.

Sumber : detiknews.com 3 Januari 2005

Nasib Dian Sastro Pasca Menikahi Keluarga Sutowo

Berita menikahnya Dian Sastro kemarin (18/5/2010) cukup membuat kalangan kaum Adam banyak yang “patah hati”, terutama mantan-mantan kekasih Dian sendiri tentunya. Status di jejaring sosial semacam facebook dan twitter seolah menjadi bukti, meski banyak yang sedikit malu-malu. Kemarin, status facebook teman-teman saya pun dijejali berita menikahnya Dian Sastro dan meninggalnya Mama Laurent. Baru malam tadi status berganti menjadi seputar berita gempa bumi di Sukabumi, Jawa Barat. Tidak ada hubungannya barangkali, kalau saya hubungkan tentu akan melahirkan bahan tertawaan kembali.

[caption id="attachment_144232" align="alignleft" width="300" caption="Dulu masih imut-imut (foto blog.diansastrowardoyo.net)"][/caption]

Memang, Dian Sastro memiliki daya tarik lebih dibanding kalangan selebritis lainnya. Selain modal wajah yang rupawan dan meng-indonesia banget, kemampuan intelektualnya juga tidak diragukan lagi. Dian juga tergolong artis berkelas, sangat selektif memilih peran, sepertinya anti-sinetron dan lebih memilih menjadi bintang iklan. Dagangan yang diiklankan pun laris manis di pasaran.

Barangkali hal-hal itulah yang membedakan Dian dengan artis-artis wanita lainnya. Sosoknya mungkin cukup menjadi idaman kaum pria.

Sebagaimana kita ketahui bersama, Dian Sastro adalah alumnus Jurusan Filsafat Universitas Indonesia.

Enam tahun dilewatinya sebagai mahasiswi. Akhirnya, aktris peraih Piala Citra itu lulus juga. Prestasinya pun cukup membanggakan untuk ukuran seorang artis yang sibuknya bukan main.

"Nilaiku 8,57 (A) dari skripsi yang berjudul Beauty Industrial Complex. Puas banget sih karena ini adalah penantian yang cukup lama. Aku bersyukur dengan banyaknya waktu yang dimiliki sehingga mendapatkan hasil maksimal. Bukan ngerjain biar cepet lulus, dapet IP yang kurang bagus. Meski 6 tahun IPK-nya 3,2," kata Dian.

Bahkan, Dian sempat ditawari dosen pembimbingnya untuk menjadi asisten dosen (asdos) pada salah satu mata kuliah. Selain itu, skripsinya sedang disiapkan menjadi sebuah buku dimana Dian bekerjasama dengan wartawan senior Leila S. Chudori sebagai penyunting dan co-writer. Skripsi tersebut menempatkan industri kecantikan dan isu persamaan jender dalam kacamata filsafat, dimana perempuan berlaku sebagai subyek dan obyek. Lihat.

Berbicara tentang materi dalam skripsinya, bolehlah kita bertanya kepada Dian tentang “ideologi kecantikan”. Berbekal kecantikan dan ketenarannya, mungkinkah pernikahannya akan langgeng hingga akhir hayat mereka berdua, menepis anggapan miring masyarakat bahwa pernikahan artis hanyalah “paparan kekayaan dan pembuktian strata sosial” dan tidak berlangsung lama.

Jika biasanya kaum bigos (biang gosip) infotainment menanyakan ke Mama Laurent, sepeninggalnya kepada siapa lagi mereka akan bertanya? Saya rasa, hanya waktu yang mampu menjawabnya.

Kembali ke keluarga Sutowo tadi, jika melihat kadar intelektualitas dan kelas keartisannya, rasa-rasanya mereka memang lebih pintar mencari mantu dibanding konglomerat  satunya yang baru saja  digandeng dan digendong Pak Beye. Mudah-mudahan pengusaha-pengusaha bekas ‘penguasa’ dan sedang ‘menguasai’ jagat politik negeri ini tersebut tidak salah memilih mantu. Semoga nantinya menjadi keluarga sakinah, mawadah, warahmah (samara) sehingga berguna bagi bangsa dan negaranya. Amien…..

Saking ngefansnya, dalam status facebook seorang sahabat saya, dia berencana akan menggelar diskusi dengan tema, “Indonesia Pasca Menikahnya Dian Sastrowardoyo”. Terbuka untuk umum katanya, meski judulnya untuk kalangan terbatas. Barangkali dia terinspirasi tajuk harian Kompas tentang “Ekonomi Indonesia Pasca Sri Mulyani” beberapa waktu lalu.

Meski ini postingan gosip, mudah-mudahan masih ada "sesuatu" di baliknya. Suatu indikasi bahwa kekuasaan dan perusahaan masih membentuk lingkaran setan di negeri ini, dan dunia barangkali, seperti dua sisi keping mata uang. Karena ada larangan menggosip di tempat umum, kita menggosip di rumah ini saja. Salam damai, selamat pagi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun