[caption id="attachment_39044" align="alignleft" width="134" caption="sosok panglima besar yang bersahaja"][/caption] Tidak dapat dipungkiri nama besarnya telah meruntuhkan reputasi besar pemenang Perang Dunia I dan II, hanya disokong oleh laskar dan tentara yang belum lama teruji di medan perang, namun semangat dan teladan yang ia contohkan turut melecut pasukan dan rakyat Indonesia menumpas segala bentuk ketidakadilan dan penindasan di bumi Nusantara. Peristiwa Palagan Ambarawa yang terjadi pada tanggal 12 hingga 15 Desember 1945 adalah salah satu yang ikut mencatatkan namanya dalam lembaran emas sejarah perjuangan bangsa, meningkatkan bargaining posisition Indonesia di mata dunia, dan membuat ciut nyali musuh ketika mendengar namanya, serta menjadi inspirasi arek-arek Suroboyo dalam mengusir musuh yang sama di bagian tubuh lain bayi mungil Indonesia, semua tahu ia adalah Panglima Besar Jenderal Sudirman. Pahlawan besar yang sampai akhir hayatnya berintegritas tinggi pada perjuangan dan keutuhan negaranya, tidak mau meninggalkan pasukannya, tidak mau menikmati fasilitas mewah, apalagi jabatan politik. Patut diingat juga bahwa sebelum terjun ke militer yang mengharumkan namanya, ia hanyalah guru pada sekolah swasta di sebuah kampung di Cilacap. Semangat itu akhirnya abadi dengan diperingatinya setiap tanggal 15 Desember sebagai Hari Juang Kartika, pengganti nama Hari Infanteri yang mungkin dianggap terlihat lebih segmentatif. Melihat situasi politik yang berkembang saat ini, perlu kiranya kita menengok kembali amanat Panglima Besar Jenderal Sudirman saat peringatan kemerdekaan Indonesia yang ketiga tanggal 17 Agustus 1948, saya nukilkan dari berbagai sumber kata-kata beliau yang menggema ke setiap penjuru buni Indonesia, semangat yang mampu mempertahankan eksistensi bayi bernama NKRI di peta dunia… “Sebagai negara, kita telah cukup mempunyai panca indera. Negara ada, pemerintah ada, tentara ada, dan rakyat pun ada. Kalau kita sekarang tidak mempunyai keinginan untuk terus merdeka, samalah artinya dengan bayi jang tidak mau menjadi manusia sempurna. Bayi akan tetap tinggal menjadi bayi, digendong dan ditimbang. Ia lebih dahulu lumpuh sebelum tumbuh.” Terima kasih Panglima, semoga mereka mendengarkanmu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H