Episode kasus Hambalang makin menuju klimaks. Meski porsi beritanya sedikit berkurang oleh maraknya isu bakso oplosan daging babi maupun kasus nikah siri Bupati Garut, lanjutan drama Anas dan partainya masih layak disimak. Pasca pemecatan Ruhut Sitompul dari DPP Partai Demokrat, nuansa politik tanah air semakin panas. Situasi saat ini mengingatkan publik tanah air pada kondisi politik nasional khususnya yang terjadi dalam tubuh politik Partai Golkar sepuluh tahun lalu. Tepatnya saat sang ketua umum terjerat kasus Buloggate jilid II yang merugikan keuangan negara 40 miliar rupiah.
[caption id="attachment_214911" align="alignright" width="275" caption="Ada Ruhut di acara Akbar dan puluhan ulama Tenggamus Lampung (foto liputan6.com)"][/caption]
Sekedar kilas balik ke tahun 2002, pada 7 Januari Jaksa Agung MA Rachman mengumumkan di media, “Keppres 5 Januari memerintahkan kami untuk memeriksa Pak Akbar sebagai tersangka.” Meski sudah menjadi tersangka, Akbar tetap bisa menunaikan ibadah haji pada Februari 2002. Akhirnya Akbar tetap mendekam di rumah tahanan Kejakgung setelah melalui drama penahanan yang alot.
Sidang perdana kasus Buloggate II pada 25 Maret 2002 digelar di PN Jakarta Pusat Jalan Gajah Mada Harmoni. Sebelum sidang, Akbar mengganti tim pengacaranya yang semula beranggotakan Ruhut Sitompul (baru dipecat dari DPP Demokrat), Hotma Sitompul, dan Tommy Sihotang menjadi Amir Syamsuddin (kini Menteri Hukum dan HAM KIB II), Denny Kailimang, Martin Pongrekun, dkk. Berkat lobi tim kuasa hukumnya, Akbar Tanjung tidak ditahan dan tetap dapat memimpin rapat-rapat DPR kala itu.
[caption id="attachment_214913" align="alignleft" width="300" caption="Mantan koordinator tim kuasa hukum Akbar dalam kasus Buloggate II (foto wikipedia.org)"]
Awal tahun berikutnya, majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan PN Jakarta Pusat. Koordinator Tim Pengacara Akbar, Amir Syamsuddin langsung menyatakan akan melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Akhirnya publik dapat menyaksikan akhir babak drama kasus Buloggate II tersebut. Tepat pada 4 September 2003, Akbar Tanjung divonis bebas oleh hakim agung di tingkat kasasi. Sebelum putusan dibacakan, dia sempat berujar di hadapan puluhan ulama saat gelar doa di Lapangan Talang Padang, Kabupaten Tenggamus Provinsi Lampung, “Jika saya dianggap bersalah, vonis hakim pasti diboncengi kepentingan politik tertentu."
Sakti, entah ulamanya atau Akbarnya. Yang pasti, Akbar bisa menghirup udara bebas dan tetap memimpin Partai Golkar hingga digantikan oleh Jusuf Kalla pada 2004.
Jauh sebelum vonis bebas itu, dalam tubuh Partai Golkar terjadi perkembangan yang sangat menarik. Mayoritas pemimpin partai itu kompak mendukung pemimpin umumnya. Bahkan kekompakan itu didemonstrasikan secara luar biasa. Misalnya ketika ada yang berujar, mereka tetap rela dipimpin Akbar andaikata nanti proses hukum tetap memaksanya masuk penjara. Bahwa mereka tetap kompak adalah sudah seharusnya. Harus dicatat, Bung Akbar telah berkorban demi partai. Banyak pihak berpendapat, ada indikasi dana Rp 40 miliar yang seharusnya untuk membantu kaum melarat dijadikan dana partai dan bukan untuk memperkaya diri. Namun hal itu tak pernah dibuktikan secara hukum.
Kini, tahun 2012 hampir berakhir. Babak selanjutnya masih penuh misteri. Apakah Anas akan dijadikan tersangka menyusul Andi Mallarangeng. Logika masyarakat tentu berpikir, menteri saja bisa kenapa ketua umum partai sulit. Atau besan presiden saja bisa dijebloskan ke penjara, mungkinkah anak kandung presiden juga bisa, mengingat namanya sering disebut-sebut Sang Burung Nazar (Muhamad Nazarudin).
Jika mencermati siapa Anas Urbaningrum, sosok dan kariernya yang cukup cemerlang, publik mungkin akan membandingkannya dengan sosok Akbar Tanjung di atas. Keduanya memiliki banyak kemiripan, kecuali klaim nilai kerugian negara, kalau Akbar ‘hanya’ Rp40 miliar, Anas mencapai 1,2 triliun rupiah. Akbar-Anas sama-sama pernah menjadi ketua umum PB HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), Akbar-Anas juga pernah menjadi ketua umum partai besar di zamannya, keduanya cukup dekat dengan ring satu istana, keduanya sama-sama kalem, dan entah kabar ini benar atau tidak keduanya memiliki akar jaringan yang kuat. Konon, sering disebut-sebut sebagai HMI-connection yang memiliki tujuan jangka panjang terhadap kepemimpinan nasional.
Momentum kasus Buloggate II dan kasus Hambalang juga hampir mirip, yaitu mendekati pemilihan umum tingkat nasional. Bahkan, selepas lolos dari jerat kasus yang menimpanya, Akbar Tanjung sukses memenangkan Partai Golkar pada pemilu 2004, termasuk memasukkan nama Jusuf Kalla menjadi RI-2 mendampingi Ketua Umum Dewan Pembina Partai Demokrat saat itu. Sejarah bisa saja terulang, seandainya Anas bisa lolos dari kasus Hambalang, nasib Partai Demokrat pada pemilu 2014 barangkali bisa sama dengan Partai Golkar yang mengalahkan PDI Perjuangan pada 2004 lalu.
Dan yang mesti diingat, masyarakat Indonesia terutama yang di akar rumput (grassroot) sangat mudah melupakan skandal-skandal yang menimpa elit-elitnya. Apalagi jika nanti sosok SBY juga berperan aktif salam pemilu 2014, bisa dipastikan kekuatan Partai Demokrat masih cukup signifikan untuk menguasai politik tanah air. Wallahua’lam. [caption id="attachment_214916" align="alignright" width="285" caption="Ada Ruhut juga bersama Anas, cuma beda baju (foto okezone.com)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H