Ketika jalan-jalan di Singapura atau di negeri lain, ada sebuah pameo yang agak menohok ulu hati kita sebagai bangsa yang bermartabat. Ketika ada orang yang membuang sampah di jalan, tidak disiplin berlalu-lintas, atau sekedar menyerobot antrian, mereka akan berkata, “Woi, jangan kayak orang Indonesia dong!”
…
Ada ungkapan yang mungkin sangat berarti bagi para jurnalis, fotografer, atau kaum professional yang berkutat dengan lensa, yaitu “Sebuah foto/gambar jauh lebih bermakna dari sejuta kata”. Namun jika ditanyakan kepada penulis Pipiet Senja, tentu jawabannya bisa berbeda.
…
Dari koleksi perpustakaan abadi bernama google, mari kita buktikan apakah “foto lebih bermakna dari sejuta kata dan benarkah pameo satir yang beredar di negeri manca tentang bangsa kita?”
Mari kita merenung sejenak…
[caption id="attachment_47235" align="aligncenter" width="300" caption="antrian beras era Orde Lama"][/caption]
Rupanya budaya antri telah lama kita kenal sejak zaman dulu
[caption id="attachment_47237" align="aligncenter" width="300" caption="antrian warga di rumah Ponari"][/caption]
Fenomena dukun cilik asal Jombang, Jawa Timur. Sejak dibukanya praktek pengobatan sudah mengambil korban empat nyawa melayang dan 13 luka-luka terinjak-injak rekan seperjuangannya
[caption id="attachment_47239" align="aligncenter" width="300" caption="antrian warga menunggu jatah minyak tanah"][/caption]
Antrian warga untuk memperoleh minyak tanah mencapai puluhan meter, bak jamur di musim hujan, menjalar ke seluruh penjuru Nusantara, tidak mengenal kaya atau miskin (tentu lebih banyak yang miskin), terjadi karena kelangkaan gas untuk tabung 3 kg hasil program konversi minyak tanah ke gas.
[caption id="attachment_47241" align="aligncenter" width="300" caption="antrian warga menunggu jatah bensin"][/caption]
Tidak mau kalah dengan mereka yang mengantri minyak tanah, kaum berpunya pun rela duduk berjam-jam di atas kendaraannya di depan pompa bensin guna mendapat beberapa liter BBM.
[caption id="attachment_47242" align="aligncenter" width="300" caption="antrian warga menunggu jatah BLT"][/caption]
Mereka yang benar-benar miskin dan memiskinkan diri rela bercampur berdesak-desakan demi selembar uang seratus ribu rupiah. Mereka cukup antusias menunggu jatah Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari petugas pos yang sudah mereka anggap seperti dewa penolong.
...
Ternyata budaya disiplin tidak hanya dominasi kaum kurang mampu saja, kumpulan foto berikut menggambarkan bagaimana sisi lain kehidupan manusia atas kecintaannya kepada dunia.
[caption id="attachment_47243" align="alignleft" width="270" caption="antrian warga menunggu jatah uangnya"][/caption] [caption id="attachment_47244" align="alignright" width="270" caption="antrian warga menunggu jatah HP Esia"] antrian warga Inggris di depan ATM
Ketakutan manusia akan kehilangan harta terpentingnya membuat mereka rela berdiri berjam-jam di depan sebuah mesin yang bisa mengeluarkan uangnya. Ternyata bangsa kita tidak ingin kalah dengan saudaranya di Inggris Raya sana.
[/caption]
Antrian masyarakat ibukota menantikan HP ESIA Gayaku di EX Plasa pada 25 November 2009.
[caption id="attachment_47249" align="aligncenter" width="300" caption="antrian warga Medan di Sun Plaza"][/caption]
Tak mau kalah juga dengan saudara sebangsanya di ibukota negara sana, masyarakat Medan, Sumatera Utara rela berpeluh keringat (dalam ruangan ber-AC, mungkinkah?) di Sun Plaza, salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Medan karena terbuai pesta diskon di sana.
[caption id="attachment_47248" align="aligncenter" width="300" caption="antrian warga menunggu jatah sepasang alas kaki"][/caption]
Kemarin Sabtu, 2 Januari 2010 kehebohan juga melanda warga di depan gerai sepatu Charles and Keith, Jakarta.
...
Semoga saja foto terakhir ini dapat menyadarkan kita akan pentingnya sebuah kedisiplinan, sehingga mereka rela meregangkan nyawa demi menepis anggapan buruk bangsa ini di mata dunia, “Ini lho kami, bangsa yang sangat disiplin, gemar sekali mengantri!”
[caption id="attachment_47251" align="aligncenter" width="298" caption="gelimpangan mayat setelah terinjak-injak ribuan saudaranya"][/caption]
Pagi itu pada hari Senin, 15 September 2008 di sebuah kelurahan bernama Purutrejo, Kecamatan Purworejo, Kota Pasuruan, mata dan nurani kita terbelalak oleh tewasnya 21 anak bangsa demi selembar uang dua puluh ribuan yang tentu tidak ada artinya bagi sebagian anak bangsa di bagian lain negeri ini yang sedang mengantri pula di ruangan-ruangan dingin ber-AC, bukan di bawah guyuran rintik hujan dan teriknya matahari.