[caption id="attachment_39570" align="alignleft" width="300" caption="proses pengosongan rumah dinas TNI di Tasikmalaya (27/10/2009) "][/caption] Belakangan ini marak diberitakan di media massa tentang kericuhan saat pengosongan rumah dinas eks-anggota TNI/purnawirawan. Terakhir (17/12/2009) terjadi di Komplek AD Jl. Kesatrian, Matraman, Jakarta Timur, rumah dinas yang sudah ditempati Ibu Septiani anak mantan anggota TNI berpangkat Brigadir Jenderal selama 43 tahun. (Sumber) Tidak hanya terjadi di Ibukota saja, di daerah-daerah pengosongan rumah dinas TNI juga selalu diwarnai kericuhan. Sebelumnya (27/10) di Tasikmalaya eksekusi berlangsung panas, personel Kodim 0612 Tasikmalaya yang memasang papan di depan rumah dinas guna meminta penghuni meninggalkan rumah mendapat perlawanan. Papan yang telah terpasang dicabut. Adu mulut sesama anggota TNI AD tak terelakkan. (Sumber) Peran media terutama televisi di sini cukup membentuk opini publik mengenai keabsahan eksekusi tersebut. Karena disertakan visual dramatis berupa tangisan para penghuninya, pengosongan yang tujuan utama sebenarnya adalah untuk menyediakan tempat bagi anggota TNI yang masih aktif, seolah-olah menjadi suatu pelanggaran HAM. Begitulah media, tidak semuanya memberitakan secara berimbang, masih ada tendensinya. Sebagai orang awam opini kita otomatis akan menolak pengosongan rumah dinas TNI tersebut. Lalu, bagaimana seharusnya kita menyikapinya? Sejak era Presiden SBY, penertiban aset-aset negara mulai digencarkan, sesuai dengan misinya untuk memberantas korupsi dan transparansi keuangan negara. Sebagai langkah awal, pada tahun 2007 Presiden menerbitkan Keppres No.17 tentang Penertiban Barang Milik Negara (BMN). Aset negara yang selama ini tidak jelas juntrungnya mulai diinventarisasi dan dinilai, diwujudkan oleh Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani Inderawati dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 120 tahun 2007 tentang Penatausahaan Barang Milik Negara. Aplikasi dari PMK tersebut adalah dengan dilaksanakannya penertiban berupa inventarisasi dan penilaian aset negara yang berada di wilayah hukum Republik Indonesai, baik aset yang berada di wilayah NKRI maupun wilayah kedaulatan Indonesia di luar negeri yaitu berupa kedutaan dan konjen-konjen di seluruh dunia. Tak pelak, aset TNI pun termasuk di dalamnya. Sebagai pelaksana tugasnya adalah Ditjen Kekayaan Negara, Departemen Keuangan RI. Kembali ke permasalahan tadi, adakah hukum yang mengatur masalah rumah dinas TNI? Jawabnya pasti ada! Semua itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 40 tahun 1994 tentang Rumah Negara sebagaimana telah diubah dengan PP No.31 tahun 2005 untuk menyempurnakannya. Pada pasal 1 ayat (1) dijelaskan pengertian rumah negara adalah bangunan yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta penunjang pelaksanaan tugas Pejabat dan/atau Pegawai Negeri. Mengenai siapa yang bertanggung jawab diterangkan dalam ayat 4 yaitu Menteri Pekerjaan Umum. Lho di situ kok cuma menyebutkan Pegawai Negeri saja, bukankah penghuninya seorang TNI, apakah bisa disamakan? Jelas bisa, itu dijelaskan pada Pasal 15 ayat (3) Bab Pengalihan Status. Ayat tersebut juga sekaligus menjelaskan bagaimana keabsahan pengosongan rumah dinas yang penghuninya bukan anggota TNI aktif lagi. Isi ayat itu berbunyi :
(3) Rumah Negara Golongan II yang tidak dapat dialihkan statusnya menjadi Rumah Negara Golongan III adalah : a. Rumah Negara Golongan II yang berfungsi sebagai mess/asrama sipil dan ABRI.
b. Rumah Negara Golongan II yang mempunyai fungsi secara langsung melayani atau terletak dalam lingkungan suatu kantor, rumah sakit, sekolah, perguruan tinggi, pelabuhan udara, pelabuhan laut, dan lab/balai penelitian.
Artinya secara eksplisit status kepemilikan rumah dinas tersebut tidak boleh dialihkan ke penghuninya karena termasuk sebagai mess ABRI (sekarang TNI). Dalam PP tersebut dijelaskan pengertian Rumah Negara Golongan I, II, dan III yaitu terdapat pada Pasal 1 ayat (5), (6) dan (7). Secara garis besar disimpulkan begini, rumah negara golongan I contohnya yaitu rumah dinas menteri, ketua komisi, ketua DPR, ketua MPR, dan pejabat-pejabat negara lainnya. Golongan II contohnya rumah dinas kepala kantor operasional di setiap daerah, rumah dinas kepala seksi, rumah dinas pelaksana, mess/asrama, dan sejenisnya. Sedangkan rumah negara golongan III yaitu yang tidak termasuk golongan I dan II yang dapat dijual kepada penghuninya. Misalnya rumah dinas yang terkena tata ruang, terkena bencana, tidak layak huni, untuk ditukar guling, dan dialihkan haknya kepada penghuninya. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 14. Saat dikonfirmasi media yang meliput eksekusi di Matraman kemarin, penghuni dan keluarganya merasa pantas menolak pengosongan itu karena telah mempunyai bukti kepemilikan berupa berita acara hibah dari pemilik pertama tanah sebelum menjadi tanah negara. Jika itu alasannya, seharusnya pihak Kodam Jaya mengklarifikasi status tanah tersebut ke BPN Jakarta Timur. Namun, seandainya para penghuni tidak sanggup membuktikan dokumen legal, sudah sewajarnya penghuni dengan legowo meninggalkan rumah dinas demi hukum dan kepentingan negara. Bukankah jiwa patriotisme sudah tertanam pada diri mereka, seperti yang diajarkan orang tuanya yang jenderal itu? Ternyata alasan lain yang menjadi dasar penolakan eksekusi tersebut karena selama 43 tahun menghuni rumah dinas itu mereka telah merawat dan memeliharanya dengan biaya sendiri. Jika itu alasannya memang itu kewajiban setiap penghuni rumah negara seperti tercantum dalam PP tadi pada pasal 10 yang bunyinya :
(1) Penghuni Rumah Negara wajib : a. membayar sewa rumah; b. memelihara rumah dan memanfaatkan rumah sesuai dengan fungsinya (2) Penghuni Rumah Negara dilarang : a. menyerahkan sebagian atau seluruh rumah kepada pihak lain; b. mengubah sebagian atau seluruh bentuk rumah; c. menggunakan rumah tidak sesuai dengan fungsinya.
Sekarang sudah terang benderang, rumah negara bukanlah rumah warisan yang bisa diturunkan kepada anak cucunya, karena ia hanya melekat saat orang yang bersangkutan sedang menjabat. Dan media seharusnya berimbang dalam menyikapi hal tersebut, tidak perlu didramatisisasi, dikriminalisasi, atau dipolitisisasi seperti yang sedang marak belakangan ini. Terima kasih telah membacanya, semoga bermanfaat bagi kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H