Vox Populi - Polemik pagar laut sepanjang 30 kilometer di pesisir Tangerang bukan sekadar perkara infrastruktur, tetapi sebuah gambaran tentang benturan antara kepentingan masyarakat kecil dan dominasi korporasi. Keteguhan Kholid, nelayan asal Desa Kronjo, dalam menentang proyek ini mencerminkan perjuangan masyarakat akar rumput untuk mempertahankan hak atas ruang hidup dan penghidupan mereka.
Dalam wawancaranya, Kholid menegaskan bahwa pagar laut tersebut tidak hanya membatasi akses nelayan kecil terhadap sumber daya laut, tetapi juga diduga melanggar aturan hukum. Sebagai bukti, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid mengonfirmasi bahwa area pagar laut telah memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang terbit atas nama beberapa perusahaan besar. Hal ini mengundang pertanyaan tentang keabsahan prosedur dan dampak sosial-ekonomi yang diabaikan.
Keadilan yang Terkikis
Pagar laut ini adalah representasi dari ketimpangan dalam tata kelola ruang laut di Indonesia. Proyek yang diduga menguntungkan korporasi besar dengan mengatasnamakan nelayan kecil ini mencerminkan lemahnya perlindungan negara terhadap masyarakat pesisir. Bagaimana mungkin nelayan dengan pendapatan harian pas-pasan mampu membangun pagar sepanjang itu? Tentu, ini bukan hasil swadaya, sebagaimana disindir Kholid bahwa klaim tersebut patut dipertanyakan kesehatan logikanya.
Kehadiran sertifikat HGB di area yang seharusnya menjadi ruang publik menambah daftar panjang persoalan agraria di Indonesia. Jika benar ditemukan pelanggaran, seperti penerbitan sertifikat di luar batas garis pantai, maka ini bukan sekadar masalah administrasi, melainkan juga pelanggaran terhadap hak masyarakat pesisir.
Pembongkaran Bukan Akhir
TNI Angkatan Laut telah membongkar pagar tersebut, namun masalah utama belum selesai. Pembongkaran hanyalah langkah awal untuk mengembalikan keadilan bagi masyarakat kecil. Pemerintah, khususnya Kementerian ATR/BPN, memiliki tanggung jawab besar untuk menindaklanjuti pelanggaran hukum dan memastikan transparansi dalam tata kelola ruang laut.
Langkah tegas diperlukan terhadap oknum-oknum yang terlibat dalam penerbitan sertifikat tanah tersebut. Jika ditemukan cacat hukum, pembatalan sertifikat harus segera dilakukan tanpa kompromi. Negara tidak boleh kalah dalam melindungi masyarakat kecil dari hegemoni kepentingan ekonomi raksasa.
Harapan di Tengah Polemik
Kasus ini seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki kebijakan tata ruang laut yang lebih inklusif dan berkeadilan. Nelayan kecil seperti Kholid membutuhkan dukungan nyata, bukan sekadar wacana. Perlindungan terhadap hak atas ruang laut harus menjadi prioritas, karena mereka adalah tulang punggung ekonomi pesisir dan penjaga ekosistem laut.
Kesimpulan
Polemik pagar laut Tangerang adalah pelajaran tentang pentingnya keberpihakan pada rakyat kecil. Suara Kholid menjadi simbol harapan bahwa perjuangan masyarakat akar rumput masih relevan dan mampu memengaruhi kebijakan. Kini, saatnya pemerintah membuktikan keberpihakan terhadap keadilan sosial dan memastikan bahwa laut tetap menjadi milik bersama, bukan monopoli segelintir pihak.