Mohon tunggu...
Mahardy Purnama
Mahardy Purnama Mohon Tunggu... Guru - Pecinta Sejarah

Pecinta Sejarah dan Sastra. Suka nonton sepakbola dan koleksi buku.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dilema Guru Ngaji TPA Terima Santri Baru yang Tidak Mau Diturunkan Iqro'nya

20 Mei 2024   11:49 Diperbarui: 20 Mei 2024   11:55 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Santri TPA Al Muttaqin Wajo (koleksi pribadi)

Sebagai guru 'ngaji TPA (Taman Pendidikan Al-Quran)  saya sangat menikmati mengajar anak-anak santri di masjid dekat rumah. Banyak anak mulai dari tingkat TK, SD, sampai SMP datang mengaji dan saya tidak pernah membatasi jumlah santri yang mendaftar. Sayang kan anak-anak sudah semangat dan serius ingin belajar mengaji tapi kita tolak.

Hanya saja saya jadi dilema bagi saya, ketika ada anak santri baru yang sebelumnya pernah belajar mengaji di tempat lain atau hanya diajar oleh orangtuanya di rumah datang belajar ke saya. Beberapa dari mereka datang langsung membuka iqro yang jilidnya tinggi seperti jilid 5 dan 6 atau ada yang sudah Al-Quran. Sementara bacaannya masih belepotan. Pengucapan hurufnya masih banyak yang keliru seperti 'dza' yang dibaca 'za' (zay) atau 'tsa' yang mereka baca sama dengan 'sa' (sin). Panjang pendeknya huruf juga masih belum baik. Sebagian anak masih kesulitan membedakan 'tho' dengan 'zho' atau 'sho' dengan 'dho'.

Permasalahan itu saya pikir seharusnya sudah dituntaskan dari jilid satu sampai jilid 3. Apalagi yang sudah sampai di tingkat Al-Quran tapi masih belum belum paham soal nun mati atau tanwin bertemu dengan huruf 'ba' (iqlab), belum paham qolqolah dan sebagainya yang saya rasa semuanya seharusnya sudah dikuasai saat masih di Iqro.

Santri yang saya dapati seperti ini biasanya karena sudah lama sekali tidak mengaji atau tetap mengaji tapi cuma diajar oleh orangtuanya yang juga bukan ustadz-ustadzah yang paham makharijul huruf dan ilmu tajwid.

Permasalahan muncul ketika saya sebagai pengajar yang sudah cukup berpengalaman mengajar anak-anak santri TPA meminta anak yang baru datang mengaji ke saya untuk turun ke jilid yang lebih rendah seperti dari Iqro jilid 4 saya minta turun ke jilid 2. Bagus kalau sang anak santri langsung bersedia, tapi beberapa dari mereka biasanya menggelengkan kepala menolak untuk turun jilid. Barangkali alasannya malu sama teman yang lain sebab bagi mereka turun jilid Iqro ibaratnya turun kelas. Apalagi yang sudah Al-Quran, berat rasanya bagi mereka untuk turun lagi ke Iqro'.

Sebagai pengajar saya jadi dilema, jika mereka tetap dilanjutkan naik ke jilid lebih tinggi tapi nanti akan muncul kesulitan bagi saya dan juga santri karena pasti santri akan mendapatkan pembahasan dan hukum yang baru lagi. Sementara pembahasan atau hukum-hukum tajwid yang lama mereka belum paham. Tapi, jika saya menurunkan santri ke jilid yang lebih rendah mereka akan sedih, dan bisa jadi mereka tidak bersemangat lagi datang mengaji ke saya. Yah, baguslah kalau mereka mencari guru mengaji lain yang lebih baik. Tapi kalau mereka kehilangan semangat untuk belajar mengaji dan tidak mau lagi belajar kepada guru manapun, bagaimana? Kasihan ke santrinya.

Beberapa waktu lalu, seorang teman ikut membantu saya mengajar TPA di masjid. Dia berhadapan dengan santri yang Iqro 4-nya sudah hampir tuntas dan segera naik ke Iqro 5. Tapi Karena si santri benar-benar masih terbata-bata akhirnya teman saya memintanya kembali ke Iqro 2. Belum selesai semua santri bubar mengaji, saya lihat ponsel saya masuk satu pesan di Whats App. Tahu nggak dari siapa? Yup, dari ibu santri yang tadi diturunkan ke Iqro 2 oleh teman saya! Sang ibu bertanya mengapa anaknya jauh sekali diturunkan dari Iqro 4 ke Iqro 2? Apa salah anak sayaaaaa! (Kata yang terakhir ini dari saya).

Akhirnya saya jelaskanlah baik-baik kepada si ibu tentang kendala anaknya di Iqro 4. Saya sampai meyakinkan beliau, "Percaya sama kami para pengajar, Bu!"

Dan yang perlu diketahui, bukan saya yang menurunkan anak Ibu!

Nah, maksud saya begini, kami pengajar TPA ingin mencetak generasi yang paham Al-Quran dengan baik makharijul huruf-nya serta benar tajwidnya. Tujuan kami menurunkan santri yang baru mengaji kepada kami ke jilid lebih rendah bukan agar mereka lama khatam Iqro'nya melainkan semata-mata agar mereka bisa memperbaiki bacaan, agar tidak kesulitan nanti ke depannya. Ini yang perlu diperhatikan oleh para orangtua yang memindahkan anaknya ke guru mengaji yang baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun